Dikunjungi Orang Urdu



MESTINYA hari ini, aku pergi buka puasa dengan teman-teman sesama warga Makassar perantauan di Jakarta. Namun, tiba-tiba temanku Eka Sastra membatalkan rencana buka puasa bersama. Ia mengatakan,”Mas Yus, saya minta maaf karena membatalkan buka puasa hari ini. Ada buka puasa bersama di rumah Wapres Jusuf Kalla yang digelar DPP Golkar. Saya takut tidak datang karena nanti dituduh tidak loyal. Hehehe.”

Ah, Eka. Sekian tahun kita menjadi sahabat, ternyata segala pertimbangan politik telah meruntuhkan segala persahabatan yang pernah dibangun. Ketika ada janji dengan politisi atau ada kegiatan politik, maka seluruh bangunan pertemanan akan mudah dinafikan. Mungkin inilah ironi atau pilihan untuk menekuni dunia politik. Ikatan pertemanan menjadi mudah dilepaskan ketika ada kepentingan yang lebih besar. Mungkin betul juga kata Adi, kita terkadang gampang sekali kagum melihat mereka yang punya duit serta kekuasaan besar. Kita jarang kagum kalau melihat mereka yang hidup pas-pasan, namun memiliki intelektualitas yang tercerahkan. Itulah ironi dunia.

Karena tak ada rencana buka puasa, aku akhirnya memilih bertahan di kamar saja. Aku hanya bisa membaca dan mengetik tulisan untuk blog ini. Di saat aku hendak menuntaskan paragraf di atas, tiba-tiba kudengar ada yang mngetuk pintu kamarku. Aku membuka pintu, dan di depan kamarku ada sekitar enam orang pria yang memakai baju gamis panjang dan mengenakan topi kain yang dipakai untuk shalat. Mereka sama-sama mengenakan sarung, dan aku mengenali kalau mereka memakai dandanan khas penganut Jamaah Tablig. Mereka memberi salam dan bertanya apakah aku seorang Muslim.

Setelah aku mengiyakan, seorang di antaranya lalu memperkenalkan rekannya yang berasal dari India. Ternyata, di situ ada dua orang yang wajahnya agak berbeda. Dua orang itu memelihara jenggot yang panjang, kemudian di dahinya ada dua lingkaran berwarna hitam, sebagaimana yang sering dimiliki mereka yang rajin shalat. Aku lalu menyapa warga India itu dengan bahasa Inggris, namun ternyata ia tak pandai dan hanya menggelengkan kepala. Seorang di antaranya lalu mengatakan kalau temannya itu tak bisa bahasa Inggris, hanya bisa bahasa Urdu. Aku lalu terdiam. Si orang India itu lalu melontarkan beberapa nasehat yang intinya untuk perbanyak amal dan selalu mengingat kematian.

Dulu, sewaktu di Makassar, aku selalu menghindari penganut Tablig yang datang di rumah. Mereka memang sedang berdakwah, namun cara mendatangi setiap rumah itu kuanggap kurang simpatik. Aku juga merasa kurang cocok dengan sikap hidup mereka yang meninggalkan duniawi demi menggapai akhirat. Bagiku, itu semacam pelarian begitu saja dari masalah. Namun, aku selalu berpikir, jangan-jangan mereka bahagia dengan segala pilihannya. Bukankah, kebahagiaan sejati selalu didapatkan ketika seseorang berhasil mengerem keinginan dan mengendalikan nafsunya? Aku tak tahu persis jawabannya.

Yang kutahu, mereka melakukan itu dengan keyakinan kalau setiap orang mesti melakukan dakwah untuk mengingatkan umat Islam lainnya. Mereka meyakini, dakwah itu adalah kewajiban bagi setiap orang Muslim. Pernah pula kudengar seorang penganut Tablig yang meninggalkan bayinya yang masih merah, demi melaksanakan kewajiban dakwah. Sikap ini kutentang habis-habisan sebab manusia juga butuh dunia dan melakukan sesuatu tidak hanya berbasis agama. Bukankah mencintai anak kita yang baru lahir adalah bagian dari agama?

Yang kusaluti dari kelompok ini adalah mereka punya vitalitas yang besar untuk membangun gerakan sosial. Di banding kaum kiri yang mengklaim dirinya selalu membasis, para penganut tablig justru memiliki kontribusi yang jauh lebih besar dalam membangun networking dan jaringan hingga pelosok perkampungan. Mereka lebih mampu menyentuh grass root atau masyarakat akar rumput. Jika di lihat dari sisi ekonomi, mereka juga punya kemampuan untuk membangun basis ekonomi yang kokoh dan menjaga agar modal hanya begerak di kelompoknya dan tidak bergerak ke kelompok lain. Caranya adalah dengan membangun perkampungan Islami, di mana semua kebutuhan disediakan oleh anggota komunitas. Ada yang membuka toko, ada anggota jamaah yang bergelar dokter kemudian membuka praktek di situ. Ada juga yang berprofesi lain di situ. Prinsipnya adalah modal atau uang yang mereka miliki hanya berputar di kelompok itu, dan tidak berpindah ke kelompok lain. Dengan cara ini, mereka melawan hegemoni kapitalisme....

0 komentar:

Posting Komentar