Puasa dan Embun Spiritualitas


LEBARAN datang juga. Puasa digenapkan. Aku berhasil melewati seluruh ujian puasa, tanpa batal. Namun, untuk persoalan ibadah shalat, jujur kuakui masih bolong. Namun, setidaknya, aku sudah berusaha membasahi nurani ini dengan embun spiritualitas. Mencoba menetesi dahaga religius dengan puasa dan kalam Ilahi. Aku sama sekali tak merasakan lapar. Kelaparan bukanlah hal yang luar biasa bagiku. Aku sudah terlampau perkasa untuk merasai cobaan bernama lapar. Bagiku, lapar adalah bagian dari riak kecil yang menggelora dalam baris-baris perjalanan hidupku. Sesuatu yang tidak lagi menjadi kejutan.

Di bulan ini, aku senantiasa membaca doa-doa yang kerap didengungkan Imam Ali yaitu Kumayl, Jausyan Kabir, hingga Tawassul. Ketiga doa yang berasal dari khasanah tradisi ahlul bayt ini kuharapkan bisa membuka pintu rezeki dan takdir bagiku. Doa ini menimbulkan optimisme untuk berusaha dan bekerja. Namun, doa ini juga membangkitkan ketakutan dan horor. Pernah satu malam, aku begitu tergetar saat membaca Jausyan Kabir. Aku mengalami kepasrahan serta ketakutan yang berkelindan dan menghantui pikiran seluruh elemen sarafku. Tiba-tiba, aku takut dengan semua dosa yang telah berkarat di dalam jiwaku. Aku bergidik bila mengingat timbunan dan daftar dosa yang terus bertambah. Di tengah, rasa ketakutan itu, aku melafalkan sebaris harapan, “Ya Allah, aku takut azab-Mu. Tapi tubuh ini terus saja menambah daftar azab yang bakal kau timpakan padaku. Terus saja mengotori bumi-Mu dengan dosa. Tolonglah aku......“

Setiap puasa, aku selalu ingat mama di kampung. Ia melihat Ramadhan sebagai pelecut semangat ibadah. Ramadhan menjadi sumber energi yang memompa seluruh gairah serta hasratnya untuk berdoa dan membangun tangga menuju langit. Ramadhan, baginya, bukan sekedar seremoni atau perayaan ibadah seperti yang dipamerkan televisi dan pamflet di mal. Mama melihat Ramadhan sebagai momen kesunyian dan menenggelamkan diri dalam syair Ilahi. Ia akan berjarak dengan dunia sosial dan tak lalai beribadah. Aku suka cemburu melihat mama berusaha menggapai kasih Allah.

Minggu terakhir puasa, aku sempat menelepon mama. Ia bilang: tinggal empat juz lagi, maka ia akan khatam Qur’an hingga ketiga kalinya. Aku memuji mamaku atas usahanya yang dahsyat untuk mengisi bulan ini. Di saat bersamaan, aku serasa ingin menampar wajahku sendiri sebagai tanda rasa maluku yang dalam karena sebagai anaknya, aku tak mampu mencapai sejumput saja dari pencapaiannya. Aku malu karena seakan hanya berjalan di tepi pantai pencarian makna, sementara mamaku sudah menyelam pada samudera makna spiritualitas yang dalam. Aku ingin menuju ke situ, namun entah kenapa, kakiku begitu malas bergerak. Ada sesuatu yang menggelayut kakiku hingga berat untuk kulangkahkan.

Ah, setidaknya aku sudah berusaha dengan caraku sendiri dan selanjutnya, Allah yang akan menilainya. Kalimat “sudah berusaha“ ini selalu saja menjadi pleidoi dari kemalasan yang terus mendera setiap jejak langkahku. Ah, aku malu.


0 komentar:

Posting Komentar