Research Day di Fisip UI

SELAMA beberapa hari aku rajin ke kampus UI meski bukan waktu kuliah. Selain untuk mengurus kartu anggota perpustakaan, aku juga datang hendak mengikuti presentasi tentang Research Day.

Sekitar 100 penelitian terbaik baik di jenjang s1, s2, maupun S3 dipresentasikan. Terasa betul kalau kampus ini benar-benar diarahkan pada dunia riset, sesuatu yang selama ini diabaikan oleh banyak kampus di Indonesia.

Tak hanya itu, ada pula ajang seminar yang menghadirkan berbagai topik penting. Aku benar-benar merasakan pekatnya aroma intelektualitas di kampus UI. Tradisi ini jelas bisa merangsang siapapun untuk belajar keras dan mencintai dunia ilmiah.

Semua presentasi itu dilakukan di beberapa tempat yang strategis. Ada pula pameran yang menghadirkan beberapa perusahaan besar. Kampus Fisip UI benar-benar berbenah.

Aku menghadiri beberapa presentasi yang kuanggap penting. Mulai dari riset antropologi berupa identitas Betawi yang kian mengalami pengaburan, hingga analisis ideologi terhadap buku PPKN bagi siswa SMA.

Khusus analisis ideologi ini, aku segera teringat pada risetku ketika menyusun skripsi dulu. Secara metodologis, sama persis caranya. Yaitu sama-sama menggunakan analisis wacana kritis dari Norman Fairclough.

Analisis ini melewati tiga tahapan mulai dari teks, produksi teks, hingga socio cultural practice. Ujung dari analisis ini adalah melakukan pembongkaran atas ideologi yang ada di balik sebuah teks.

Hebatnya, penelitian itu dilakukan oleh mahasiswa S1 dan cewek lagi. Ia begitu jago menguraikan temuan-temuannya. Di antaranya adalah ada rekayasa politik identiitas hingga dominasi negara yang begitu besar.

Namun yang lebih hebat adalah presentasi riset kemarin. Dipanel tiga orang peneliti dengan tema yang begitu menggugah dan inspiratif.

Yang pertama adalah riset tentang gay, selanjutnya riset tentang lesbian, terakhir adalah riset tentang waria se Kota Jakarta. Nah, yang terakhir inilah yang paling menantang.

Ketiga-tiganya berasal dari latar belakang antropologi. Riset mereka sungguh mengejutkan sebab didasari atas observasi serta analisis yang sangat kuat.

Ketiga-tiganya, membutuhkan pendekatan yang intens serta merupakan kerja yang tidaklah ringan. Namun, jujur saja kalau riset tentang waria jauh memiliki tingkat kerumitan dibandingkan dengan riset tentang lesbi atau gay.

Sang peneliti bercerita tentang begitu sulitnya dia memasuki dunia waria. Butuh pendekatan yang intens agar bisa diterima di komunitas itu. Ia juga harus siap untuk berlelah-lelah saat melakukan observasi demi menganalisis kebudayaan waria itu.

Saya sangat salut dengan kegigihan itu. Sampai-sampai, saya langsung berbisik sama teman saya dan berkata,"Luar biasa ya. Saya bayangkan betapa beratnya melakukan itu," kataku.

Sepanjang perjalanan pulang di kereta, aku selalu berpikir, apa yang kelak akan kuriset. Apakah tentang agama lokal ataukah tentang ideologi. Ah, nanti aja deh. Toh, masih lama waktunya.

Semoga kelak, aku juga bisa mempresentasikan hasil riset serupa. Insya Allah... semoga Tuihan memberi jalan lempang.

0 komentar:

Posting Komentar