Hengkang ke DPR RI

HARI-hari ini agak berat kurasakan. Sejak lima hari lalu, aku resmi menyandang status sebagai jobless alias pengangguran. Untunglah, aku mengisi waktu dengan membaca berbagai bahan kuliah.

Dari sisi finansial, tampaknya sudah ada sedikit perbaikan. Ternyata, aku masih punya honor dari Kompas sebesar Rp 415.000. Jumlah itu dihitung berdasarkan biaya transportasi ketika ke Makassar hingga fee berita yang memang belum kuambil.

Itupun dana dari Kompas itu sudah kugunakan untuk melengkapi buku yang harus dibaca berdasarkan silabus perkuliahan. Beberapa hari lalu, Ismet menelepon. Entah kenapa, aku masih bertahan untuk tetap tidak meminta uang. Meskipun, danaku juga terbatas alias pas-pasan. Yah, mungkin untuk lain kali.

Persoalan yang menderaku adalah karena sekarang ini aku masih berstatus pengangguran. Memang sih, untuk bulan ini aku masih bisa hidup, meski dengan duit pas-pasan. Tapi bulan depan, aku pasti kesulitan kalau tidak segera dicari jalan untuk mengantisipasi itu.

Terus terang, aku senang bekerja di PT Visual System Multimedia (VSM). Di situ aku bisa belajar banyak hal. Sebuah dunia yang begitu asing bagiku. Entah kenapa, aku selalu merasa kalau dunia itu sangat prospektif. Aku punya feeling kalau perusahaan itu bisa besar kelak di kemudian hari.

Hanya saja, itu tergantung pada bagaimana bos perusahaan itu bisa mengelola hari ini untuk masa depan. Di perusahaan yang bergerak di bidang IT itu, aku kebagian tugas untuk mengelola media serta training.

Sejak awal bekerja, aku benar-benar membangun sebuah sistem baru. Betapa sebuah perusahaan yang bergerak di bidang IT tiba-tiba saja hendak membuat media. Ada banyak prosedur yang masih harus dipelajari bersama.

Aku menjadi bos dari seorang sahabat sejak masa kuliah yaitu Iwa Ahmad Sugriwa. Namanya mengingatkan pada seorang raja kera dalam epos klasik Ramayana yaitu Prabu Sugriwa. Dikisahkan kalau Sugriwa punya saudara yaitu Subali. Keduanya lalu bertempur untuk memperebutkan siapa yang bakal menjadi raja kera.

Kembali ke soal pekerjaan. Saat masuk perusahaan itu, aku sudah negosiasi minta gaji Rp 3,5 juta. Jumlah itu disetujui. Entah kenapa, saat terima gaji justru jumlah yang aku terima hanya mencapai setengahnya. Setelah aku tanya sama wakil direktur, katanya jumlah itu sudah final. Aku agak stress mendengarnya. Terpaksa aku memutuskan untuk keluar.

Besoknya, bos perusahaan itu beberapa kali meneleponku. Ia minta maaf atas kejadian itu dan berjanji akan membayar gaji itu sesuai dengan perjanjian. Tapi aku udah terlanjur kecewa dan memilih tetap keluar.

Dalam keadaan luntang-lantung dan tak punya kerjaan, aku serba bingung. Kembali aku mendatangi gedung DPR, tempat di mana aku pernah diajak menjadi staf ahli. Aku datang lagi untuk menanyakan peluangku yang dulu sempat kutolak.

Dengan wajah penuh malu, aku datang menyapa. Untunglah, gayung bersambut. Aku tetap diterima bekerja di tempat itu, meskipun pekerjaannya sendiri tak begitu kugemari.

Rencananya, aku akan mengisi posisi staf ahli pada Panitia Ad Hoc III DPR RI yang menangani persoalan pendidikan dan kesehatan. Aku merasa bidang ini tidak baru bagiku. Setidaknya, aku pernah menjadi peneliti pada dua bidang ini.

Sebagai staf ahli, tugasku adalah menyiapkan berbagai draft, undang-undang serta berbagai instrume lain yang terkait persoalan kebijakan yang menjadi rekomendasi dari Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Tugasku adalah menyiapkan semua bahan-bahan itu.

Kelihatannya, pekerjaan itu cukup keren. Tapi sebenarnya biasa saja. Malah, aku lebih suka menyebut pekerjaan itu sebagai "Pembantu Ahli". Sebab pekerjaannya benar-benar sebagai pembantu dari anggota DPD yang lebih banyak tak memahami persoalan yang sesungguhnya terjadi.

Setidaknya, inilah gambaran dari bobroknya istem di negeri ini. Mereka yang justru mengemban tugas membawa aspirasi rakyat justru hanya bisa berleha-leha. Sementara anak buah dan staf ahli bekerja keras untuk bisa mengemas pencitraan mereka menjadi lebih baik.

Aku selalu memikirkan kuliah. Aku tak bisa bayangkan bagaimana menjalani perkuliahan dengan tingkat kesibukan yang begitu padat. Kalau kesibukannya seperti ini, aku bakal gagal menjadi cum laude di Universitas Indonesia (UI). Sesuatu yang hingga kini menjadi impianku.

Aku bertekad untuk serius menjalani perkuliahan di kampus UI. Bagaimanapun, kuliah di S2 jelas sangat berbeda dengan S1. Segalanya beda. Inilah waktunya untuk serius dan mendalami rimba teoritis yang begitu pekat.

Beberapa teman wartawan di DPR justru menyarankan agar aku enjoy saja. Katanya, curriculum vitae-ku pasti akan cantik. Itu bisa menjadi nilai tawar bagiku untuk melanjutkan karier ke jenjang yang lebih tinggi. Ah, persetan dengan itu. Aku cuma mau kuliah dan bisa belajar dengan lebih baik daripada sebelumnya.

0 komentar:

Posting Komentar