Kisah Yang Terpenggal

ADA begitu banyak kisahku yang terpenggal dan tidak sempat ditulis di blog ini. Entah kenapa, belakangan ini aku kesulitan membuka koneksi internet. Padahal, aku mengalami begitu banyak kejadian selama dua minggu ini. Mulai dari masa krisisku akan keuangan yang teratasi, hingga masa pertama perkuliahan. Terakhir, aku justru memutuskan hengkang dari kantorku karena ada perbedaan hal yang sangat prinsipil.

Tapi biarlah kuurai semuanya satu per satu. Agak sulit untuk menguraikan semuanya di vlog ini. Yah, setidaknya buhul persoalan menjadi terburai. Itu saja.

Masa krisisku berlalu karena pertolongan dewi penolongku yaitu Dwi. Lagi-lagi, ia memberikan pertolongannya.

Di hari ketika aku benar-benar tak punya uang, ia tiba-tiba saja punya uang dan bisa mencari jalan untuk mengirimkannya kepadaku. Ah, aku salut juga dengan upaya kerasnya. Meski bantuannya tak seberapa, namun itu justru sangat membantuku sehingga masa sulitku teratasi.

Minggu lalu, kuliah perdana akhirnya digelar juga. Aku tiba di kampus UI di Depok lebih cvepat dari pada jadwal kuliah umum yaitu pukul 10.00 WIB.

Aku langsung menuju Pusat Antar Universitas (PAU) Fisip di lantai tiga. Di situ, kursi telah diatur rapi sedemikian rupa. Aku duduk dan mulai kenalan dengan dua orang teman. Satu namanya Marco dan satu lagi cewek yang namanya Mitha.

Penampilan Marco terlihat sangat serius. Ia mengenakan kaca mata tebal. Bajunya kemeja yang licin sebagai tanda habis diseterika. Ia selalu membawa tas berwarna hitam sebagaimana layaknya mahasiswa yang serius. Ia mahasiswa program doktor. Gelar masternya didapatkan dari universitas yang paling beken di Belanda yaitu Leiden Unibersity. Saat ini, Marco menjadi dosen di Universitas Lambung Mangkurat, Banjarmasin, Kalsel.

Sedangkan Mitha penampilannya justru beda jauh dengan Marco. Wanita ini terlihat agak menor dengan dandanan yang cukup mencolok. Ia memakai perias wajah. Pakaiannya adalah kemben berwarna putih yang ditutupi dengan jaket dari bahan jeans. Aku sempat memperhatian kalau ia mengenakan rok payung dengan bahan batik yang unik serta memakai sepatu dengan bahan yang sama. Dandanannya mengingatkanku pada trend yang lagi menjamur di kalangan wanita Jakarta.

Rupanya, Mitha lahir di tahun 1980 dan baru saja lulus dari Fakultas Psikologi di satu universitas swasta di Jakarta. Aku merasa nyambung saat ngobrol dengannya. Semoga dia bisa jadi teman baik dan membantuku dalam kuliah kelak.

Sebelum kuliah umum, aku diberitahu kalau kuliah umum akan dibawakan Dr Celia Loew seorang dosen di University of Washington, satu universitas yang cukup berpengaruh di dunia.

Kuliahnya cukup menarik, tentang globalisasi yang kemudian membawa implikasi besar bagi kehidupan manusia. Tak hanya merubah pola dan cara manusia berkomunikasi, tapi juga telah merubah lanskap dunia sosial dan bergeser dari bounded society menjadi the borderless society. Pada titik tertentu, globalisasi telah mengubah bangunan teoritis pengetahuan.

Dari sisi antropologi, terdapat perubahan orientasi pengetahuan sebagai respon terhadap dinamika globalisasi. Jika dulunya, sungguh mudah membedakan barat dan timur, kini justru jadi sukar. Dunia mengalami proses homogenisasi kultural secara perlahan-lahjan sehingga sukar membedakan berbagai kategori.

Yang menarik adalah ternyata globalisasi bukan melulu perkara yang sifatnya homogen. Di banyak tempat. Sebagai sebuahperistiwa kultural, globalisasi justru direspon dengan konteks lokalitas. Semua tempat justru merespon satu fenomena dengan cara yang berbeda-beda. Aspek lokalitas ini menjadi bahsan yang penting dan mendominasi diskusi.

Aku merasa, wacana ini sudah pernah kudengar dan bukan menjadi sesuatu yang asing. Beberapa tahun lalu, aku sudah pernah buat tulisan ttg the end of science sebagai akibat dari pergeseran lanskap dunia sosial. Perubahan ini juga kian kencang ketika hadir yang disebut paradigma baru sains yang sifatnya holistik.

Sains tidak lagi dilihat sebagai perkara yang parsial dan terpisah-piisah ala teori Newtonian. Kini, sains ,ulai dilihat dalam persepektif baru sebagai sesuatu yang integral dan holistik.

Di sela-sela kuliah umum, tiba-tiba Mitha mengajakku untuk masuk kuliah tentang Antropologi Psikologi. Kebetulan, aku juga mengambil mata kuliah itu. Mata kuliah ini divawakan oleh Prof James Danandjaja.

Aku pernah mengikuti kuliah dari James saat di Unhas dulu. Kuliahnya selalu menarik karena banyak mengangkat tema seksualitas dan aspek psikologi.Kuliah itu hanya diikuti oleh lima peserta mata kuliah. Itupun, dua di antaranya adalah program doktoral, sedang lainnya adalah mahasiswa magister sepertiku.

Usai kuliah itu, selanjutnya aku menuju ruangan lain untuk mengikuti kuliah tentang metode penelitian yang dibawakan oleh Dr Iwan Tjitradjaja. Peserta mata kuliah ini cukup banyak sebab semua mahasiswa baru program magister dan doktoral hadir di situ.

Ada sesi perkenalan di mana masing-masing memapoarkan latar belakangnya. Aku melihat kalau umumnya peserta mata kuliah ini bertampang serius. Agak beda dengan aku yang terkesan santai saja.

Saat kuliah, Iwan memberika silabus perkuliahan. Aku tersentak juga karena semua buku panduan justru disajikan dalam bahasa Inggris. Artinya, aku harus terbiasa membaca berbagai teks asing selama kuliah. Kayaknya aku harus banyak membaca biar bisa dikenal baik sama Pak Iwan.

Waktu di Makassar, Kak Yahya beberapa kali bilang kalau Pak Iwan itu sangat cerdas dan punya pengetahuan yang spesifik di bidang antropologi ekologi. Apalagi, ia punya banyak proyek penelitian. Ah, aku tak punya banyak pretensi kecuali kuliah saja dengan baik.

Aku akan melanjutkan kisah tentang keluar dari pekerjaan dalam tulisan lain.

0 komentar:

Posting Komentar