INILAH puasa pertamaku di Kota Jakarta. Puasa yang begitu indah hingga terasa ada getar yang memenuhi ruang-ruang kalbuku. Puasa yang indah karena dilakukan saat aku lagi punya fokus mencapai sesuatu. Lagi mendekati Tuhan untuk bermanja-manja dengan harapan agar ada rahmat dan karunia. Puasa ini berbeda bagiku.
Untuk pertama kalinya aku menjalani puasa dengan penuh keprihatinan. Menjalani puasa dengan semangat yang lagi pasang naik untuk mencicipi indahnya religiusitas.
Barangkali aku agak berlebihan. Saat di Makassar setahun lalu, puasa juga berat. Namun aku sangat kuat karena aku berada di tengah orang-orang yang mencintaiku. Ada Kak Tia, Kak Syam, hingga Dwi. Semuanya memancarkan cinta yang mengalir bagai sungai. Tak henti-henti.
Di sini, aku harus belajar untuk menyimpan semua kenangan itu sebagai sesuatu yang berdenyut di hatiku. Aku harus merangkum semuanya menjadi getar yang membuatku harus tetap bertahan di tengah pekatnya Kota Jakarta.
Aku menjalani sahur di rumah kos-kosan teman-teman asal Makassar. Di sana, ada keramaian khas anak muda yang riuh dan menyambut puasa dengan gegap gempita. Semuanya senang dan tiba-tiba menjadi anak kecil lagi yang begitu menyambut Ramadhan.
Aku makan sahur dalam suasana yang begitu ramai bersama teman-teman. Menunya sangat sederhana yaitu nasi, indomie, serta ikan sardens. Menu itu dikemas dalam suasana yang begitu ramai. Kami saling mengganggu dan mengerjai. Suasana riuh tercipta ketika ada teman yang diolok-olok dan menimpalinya dengan lelucon segar.
Usai sahur, tiba-tiba saja semuanya langsung berwudhu. Tiba-tiba saja semua laki-laki memakai sarung dan songkok ala haji. Kami mengaji di lantai dua rumah itu dengan suara yang dikeraskan.
Suasananya begitu indah. Rumah itu menjadi pekat dengan aroma religiusitas. Sesuatu yang lama tak terlihat di situ. Aku yakin, warga di sekitar situ agak heran menyaksikan tingkah kami yang tiba-tiba saja berubah.
Kami seakan larut dalam arus besar yang melihat Ramdhan dengan begitu romalistis. Mungkin kami memaknai Islam dengan begitu simbolik. Seakan-akan indahnya Islam direduksi menjadi perkara yang sifatnya ritual belaka.
Tapi, semuanya tidaklah sesederhana itu. Ada suasana emosi yang sukar untuk didefinisikan. Ada aspek psikologis yang sukar untuk dijabarkan dalam teks. Namun rasa itu benar-benar ada dan berdenyut dalam batin kami.
Sebuah keindahan religiusitas yang lahir dari kesadaran akan adanya sesuatu yang begitu perkasa di luar diri kami. Kesadaran kalau ziarah material kami begitu menjauh dari upaya untuk merengkuh indahnya pelukan dan atmosfer keberadaan-Nya. Perjalanan kami begitu jauh dan menjauhi-Nya.
Kami ingin pulang. Kami ingin kembali mereguk indahnya cawan karunia-Mu. Meski kami malu dengan semua dosa dan angkara yang kami sebar di bumi ini.
Entah kenapa, aku dan teman-teman tiba-tiba menjelma jadi anak kecil. Aku tak bisa lupa ketika menjalani puasa di masa kecil. Bagaimana hebohnya bapakku membangunkan aku dan selalu meledek kalau aku tak kuat berpuasa. Sehari sebelum puasa, rumahku seakan berbenah seolah ada hajatan besar.
Bapakku mulai mengecat rumah, ibu mulai memasak yang enak-enak. Kakakku Ismet dan aku membersihkan rumah. Tia dan Atun ikut mengelap kaca hingga bersih hingga tak nampak debu di situ. Puasa menjadi kenduri kultural yang sangat langka dan disambut meriah.
Aku masih ingat menu kesukaanku saat itu. Nasi dengan ikan cakalang yang udah dibakar dan ditumis dengan santan. Wow, menuliskannya saja sudah membuatku tiba-tiba lapar dan rindu dengan masakan ibuku.
Usai sahur, bersama saudara, aku langsung menuju Masjid Nurul Abidin yang terletak di kompleks Depag. Di sana, kami salat berjamaah.
Usai itu, kami lalu jalan subuh menuju pelabuhan,. Entah kenapa, warga kampungku suka menjalani ritual jalan subuh di saat usai salat berjamaah. Massa menyemut menuju kawasan itu. Ada pertemuan dengan saudara-saudara yang lain sembari mempererat kembali benag silaturahmi yang sudah mulai berjauhan.
Malam hari jadi begitu meriah. Tak bosan-bosannya aku ke masjid untuk salat jamaah dan bermain-main bersama kawanku.
Ramadhan benar-benar menjadi momentum untuk kembali pada hakekat beragama yaitu peneguhan secara eksistensial kalimat Ilahi dan menjadikannya sebagai ruh atau nafas dalam bertindak.
Sebuah keindahan yang hadir bagai oase bagi batin yang kian jauh dari spiritualitas. Yah, keindahan yang saat ini mulai kusarasakan lagi. Thanks God....
Search
Pengunjung Blog
...
Tentang Saya
blogger l researcher l communication practitioner l lecturer l teacher l IFP Fellow l ethnographer l anthropologist l academia l historian wanna be l citizen journalist l Unhas, UI, and Ohio Mafia l an amateur photographer l traveler l a prolific author l media specialist l political consultant l writerpreneur l social and cultural analyst l influencer l ghost writer l an avid reader l father l Kompasianer of the Year 2013 l The Best Citizen Reporter at Kompasiana 2013 l The 1st Winner of XL Awards 2014 l The 1st Winner of Indonesian Economic Essay Competition 2014 l
0 komentar:
Posting Komentar