Dwi Hartanto |
JAGAD intelektual dan media di tanah air
sontak heboh. Seseorang yang mengaku ilmuwan muda dan sempat dielu-elukan
masyarakat, ternyata tak lebih dari seorang pembual yang merekayasa informasi
dirinya hanya demi sanjungan dan ucapan “wow.” Sepekan terakhir, berbagai
peristiwa yang mengungkap kebohongan itu bermunculan. Mulai dari dicabutnya
gelar kehormatan dari Kedutaan Indonesia di Belanda, sidang komisi etik di satu
kampus, hingga munculnya pernyataan resmi di atas kertas bermeterai.
Anak muda bernama Dwi Hartanto itu segera
menjadi bulan-bulanan media massa. Dia dihabisi dan dituding sebagai pembual
yang menimbulkan kehebohan. Dia dianggap sebagai biang dari semua histeria,
yang kini dianggap sebagai hal memalukan bagi banyak kalangan. Anak muda itu
dinyatakan bersalah dan harus menanggung semua akibat. Padahal, dia tak
sendirian.
Dia berada dalam satu ekosistem media dan
masyarakat yang ikut berkontribusi pada kebohongan skala berjamaah. Dia memang
sukses mengecoh banyak orang, akan tetapi banyak orang justru menikmati
kebohongan itu dan menangguk untung dari kehebohan itu.
Memang, anak muda itu berbohong. Tapi
kebohongannya tidak akan menimbulkan skala heboh dan besar jika tidak diliput
secara massif oleh banyak media. Kebohongan itu hanya akan menjadi obrolan
lepas di warung kopi, jika saja tak ada satu program khusus televisi, dengan host cantik
dan cerdas, yang kemudian ikut menyiarkan “prestasi” hebat anak muda itu.
Cobalah hitung dengan seksama, berapa banyak pendapatan media dan stasiun
televisi dari orkestra kebohongan yang melibatkan mereka?
Jika hari ini semua media seakan
“membantai” anak muda itu, maka boleh jadi itu untuk menutupi rasa malu sebab
telah ikut membesarkan si anak muda itu, menyebarkan kebohongan itu ke banyak
titik, tidak melakukan cek dan ricek atas semua fakta. Hari ini, kita nyaris
tak menemukan satupun berita yang isinya pengakuan salah dari media sebab telah
ikut berkontribusi pada kebohongan yang direproduksi secara massal.
Marilah kita bersama-sama membuat
pengakuan. Bahwa ada satu aspek paling penting dari disiplin media yang hilang,
yakni disiplin verifikasi. Mahaguru jurnalistik, Bill Kovach, menyebut
verifikasi sebagai sesuatu yang membedakan antara jurnalisme dengan hiburan
(entertainment), propaganda, fiksi, atau seni. Infotainmen fokus pada apa yang
paling bisa memancing perhatian. Propaganda akan menyeleksi fakta atau
merekayasa fakta, demi tujuan sebenarnya, yaitu persuasi dan manipulasi.
Sedangkan jurnalisme berfokus utama pada apa yang terjadi, seperti apa adanya.
Disiplin verifikasi tercermin dalam
praktik-praktik seperti mencari saksi-saksi peristiwa, membuka sebanyak mungkin
sumber berita, dan meminta komentar dari banyak pihak. Disiplin verifikasi
berfokus untuk menceritakan apa yang terjadi sebenar-benarnya. Dalam kaitan
dengan apa yang sering disebut sebagai “obyektivitas” dalam jurnalisme, maka yang
obyektif sebenarnya bukanlah jurnalisnya, tetapi metode yang digunakannya dalam
meliput berita.
Kata Bill Kovach, ada sejumlah prinsip
intelektual dalam ilmu peliputan: (1) Jangan menambah-nambahkan sesuatu yang
tidak ada; (2) Jangan mengecoh audiens; (3) Bersikaplah transparan sedapat
mungkin tentang motif dan metode Anda; (4) Lebih mengandalkan pada liputan
orisinal yang dilakukan sendiri; (5) Bersikap rendah hati, tidak menganggap
diri paling tahu.
Dalam kasus Dwi Hartanto, semua media
hanya fokus pada apa yang diucapkan anak muda itu, tanpa mau berlelah-lelah
untuk mencari informasi seberapa benar apa-apa yang dikatakannya? Mengapa tak
ada yang sekadar iseng mengecek melalui Paman Google, apakah pada lomba sains
tertentu, si anak muda itu benar mendapatkan award tertinggi? Atau hal paling
mudah. Pernahkah ada orang yang iseng-iseng mengetik nama anak muda itu di web
kampusnya, sekadar memastikan nama lengkap dan profesinya di situ?
Dalam pandangan saya, anak muda itu hanya
sekadar mencari panggung. Dia ingin tampil dalam sorot kekaguman dan apresiasi
banyak orang. Dia tak punya sesuatu yang bisa dibanggakan. Dia lalu merekayasa
fakta-fakta demi mengecoh banyak orang. Dia mengarang cerita serupa fiksi, yang
seketika menghebohkan. Kebohongannya mengecoh banyak orang termasuk media
massa, hingga akhirnya tampil di televisi.
Anak muda itu benar-benar jeli sebab
melihat ada hasrat nasionalisme dan kebanggaan berlebihan pada bangsa. Pada
bangsa yang masyarakatnya merasa inferior dan hanya bisa menyaksikan perlombaan
sains bangsa lain, kisahnya akan segera menghebohkan. Kita telah lama krisis
kisah hebat mengenai pencapaian di panggung dunia, sehingga saat ada anak muda
yang konon tampil ke depan, kita sontak membanggakannya, tanpa sikap kritis dan
upaya mengecek kembali. Media langsung heboh dan menyiarkannya. Pembaca
berdatangan. Jumlah iklan akan bertambah.
Namun, anak muda itu seorang amatiran. Dia
bukan pembohong profesional. Tidak sehebat para pembohong di dunia politik yang
bisa merekayasa informasi ala kerja-kerja spin doctors. Di era
millenium seperti ini, tampil bohong di media ibarat menjadikan diri sebagai
sasaran dari sejumlah pemburu yang sedang mengintip dengan senjata. Banyak
orang yang bisa mengecek identitas dirinya dan melacak informasi ke kampus-kampus
yang diklaimnya. Dia pikir berbohong di era digital seperti ini sama dengan
membual di warung kopi, di mana orang tak mungkin mengecek seberapa benar
informasi itu.
Jika dia memang pembohong profesional, dia
akan menolak tampil di media. Mungkin dia akan mengontrol publisitas sebab
media massa disaksikan banyak pihak termasuk para ilmuwan. Hasrat tampil hebat
di panggung telah membuatnya lupa bahwa banyak orang yang mengenalnya, dan
setiap saat bisa membuka lakon yang dimainkannya. Pada titik ini, dia
tersandung oleh imajinasi akan kehebatan dan popularitas, serta decak kagum. Ia
pembohong bodoh, yang seolah tak paham bahwa media massa adalah panggung yang
bisa dilihat dan dicek banyak orang seketika. Saat banyak orang mulai melacak
pengakuan-pengakuannya, banyak hal tersingkap.
Dalam beberapa sisi, anak muda itu
mengingatkan saya pada seorang pembual paling mengagumkan yakni Dr Karl May.
Pengarang kisah Winnetou Kepala Suku Apache. Di penjara, Karl May
membual di hadapan para narapidana penjara tentang pertemuannya dengan
Winnetou, Kepala Suku Indian Apache. Ia malah menggambarkan bagaimana padang
perburuan prairie, pertarungan tangan kosong, hingga nasib suku Indian yang
sekarat. Karl May bercerita seakan-akan dirinya yang disebut Old Shatterhand, seorang
petarung di alam perburuan liar itu. Belakangan, ketahuan kalau dirinya tak
pernah ke padang suku Indian. Bahkan gelar Doktor yang dipasang di depan
namanya adalah palsu.
Bedanya dengan Dwi Hartanto adalah sejak
awal kebohongan Karl May dianggap sebagai fiksi yang menarik untuk dituliskan.
Salah satu penerbit di Jerman bisa mencium bau uang yang banyak dari
kisah-kisah itu jika ditulis dan disebarkan. Kisah Winnetou ditulis dan
disebarkan. Orang terbius dengan petualangan dan persahabatan di padang perburuan.
Kisah itu mempesona dunia, menginspirasi banyak orang, jua membasahi imajinasi
orang-orang akan pentingnya memanusiakan semua orang.
Beda lainnya adalah penampilan sosok Dwi
Hartanto cukup meyakinkan. Dia seorang mahasiswa program doktoral di kampus
bergengsi itu. Istilah-istilah teknis yang dikeluarkannya cukup membuat kita
terperangah. Dia punya akses dan kuasa pada perbendaharaan istilah sains yang
membuat banyak orang kehilangan nalar dan sikap kritis. Bagi saya, tanpa perlu
menyebut prestasi hebat itu, Dwi Hartanto sudah bisa menjadi sosok inspiratif.
Tak mudah menjadi mahasiswa dan bisa belajar di kampus teknologi terbaik di
dunia itu. Apa daya, dia ingin sesuatu yang berlebih.
Saya malah berharap kisah yang dituturkan
Dwi Hartanto dikemas menjadi fiksi, yang nantinya akan laris-manis. Ceritanya
tentang Lethal Weapon from the Sky akan mengalahkan kisah Digital
Fortress dari Dan Brown. Kisahnya tentang pengembangan pesawat militer
generasi terbaru sangat layak tampil di layar film dan menambah khasanah kisah
yang menggetarkan kita semua.
Nah, dengan melihat betapa amatirnya
kebohongan itu, serta betapa bodohnya media yang menelan informasi itu
bulat-bulat, janganlah kita ikut-ikutan membunuh karakter anak muda itu.
Biarlah ini menjadi pelajaran berharga baginya untuk setia pada proses dan
menghargai capaian-capaiannya, tanpa harus membuat glorifikasi. Anak muda itu
masih punya peluang untuk menjadi yang terbaik, sepanjang dia bisa belajar dari
kasus ini, dan menjadikannya pengalaman berharga untuk setia pada tahapan
menjadi ilmuwan besar.
Di sisi lain, marilah kita berrefleksi dan
merenungi mengapa kita menjadi bagian dari kebohongan massif dari media-media
kita yang setiap saat meneror kita, melalui layar televisi, lembaran media
massa, hingga layar ponsel kita semua.
Marilah kita menertawakan diri sendiri.
0 komentar:
Posting Komentar