Mahathir Mohamad |
NAMPAKNYA, isu SARA tengah hangat di
mana-mana. Setelah Gubernur Anies Baswedan berpidato dan menyebut kosa kata
pribumi yang memicu reaksi, kini mantan Perdana Menteri Malaysia, Mahathir
Mohamad, menuai hal yang sama. Mahathir menyebut Perdana Menteri Datuk Seri
Najib Razak sebagai lanun (perompak) Bugis, lalu memintanya kembali ke tanah
Bugis. Pernyataan Mahathir memicu protes. Media-media di Malaysia membesarkan
peristiwa ini. Bahkan, etnik Bugis di Malaysia menggelar protes dan menuntut
permintaan maaf.
Pertanyaan penting yang pantas diajukan
adalah bagaimanakah persepsi tentang Bugis yang sudah menyejarah di Malaysia?
Apa hikmah yang bisa dipetik dari pernyataan Mahathir yang memicu protes keras
dan reaksi spontan dari orang Bugis di Malaysia sana? Bagaimana memahami
diaspora dan gerak orang Bugis yang menurunkan raja-raja di tanah Malaysia?
***
MULANYA acara itu adalah pertemuan yang
diprakarsai Himpunan Rakyat Sayangi Malaysia bertajuk Sayangi Malaysia
Hapuskan Kleptokrasy, pada 14 Oktober silam. Mantan Perdana Menteri
Malaysia, Mahathir Mohamad, berpidato dengan semangat yang berapi-api. Ia
mengecam tindakan Perdana Menteri Najib Razak yang disebutnya melakukan korupsi
uang rakyat.
“Negara kita hari ini dipimpin oleh penyamun,
pencuri, perompak. Mungkin karena dia berasal dari lanun Bugis. Entah macam
mana dia sesat sampai ke Malaysia. Pergi baliklah ke Bugis. Kerana kamu adalah
bencana. Pencuri. Mencuri duit kita. Untuk kesenangan hidup mewah dirinya dan
keluarganya. Termasuk istrinya Rosmah,” kata Mahathir. (selengkapnya bisa
dilihat DI SINI).
Pernyataan Mahathir memicu reaksi keras.
Media Malaysiakini.com melansir reportase mengenai protes keras dari
Peratuan Bugis Johor. Salah satu pemimpin organisasi ini, Md Sah Daeng Matatah,
mengatakan, pernyataan Mahathir telah menghina masyarakat Melayu Bugis di
seluruh Malaysia, termasuk keluarga diraja.
"Tidak patut Tun Mahathir cakap
begitu. Itu dah rasis. Berapa ramai orang Melayu Bugis di sini? Sultan Melayu
ramai dari keturunan Bugis di Johor, Selangor, Perak, Kelantan dan ramai lagi.
Orang Bugis bukan lanun. Itu (lanun) digelar oleh orang putih. Kita (Bugis)
adalah pahlawan dan ini juga disebut dalam sejarah," katanya.
Kata Md Sah, sebagai seorang senior,
Mahathir tak sepatutnya menghina suku bangsa orang lain. "Jangan hina
orang Bugis. Tak patut dia cakap seperti itu. Dia sepatutnya jaga mulut.
Patutnya sebagai orang yang sudah tua, dia kerap pergi ke masjid, sepatutnya
dia bertaubat di hujung usia ini," katanya.
“Jika tidak tahu tentang Bugis baik jangan
disebut sebab ia soal maruah kami. Orang Bugis yang berada di negara ini bukan
sahaja duduk di Johor tetapi sampai ke Sabah dan Sarawak ada orang Bugis,”
katanya.
Mantan pengurus Persatuan Bugis Johor,
Lokman Talib menyebut perkataan lanun Bugis yang disebut Tun Mahathir sebagai
keterlaluan. “Kenapa tidak suka dengan seseorang itu, bangsa dan keturunannya
disebut-sebut, malah dikatakan pula lanun.
Perlu diingatkan ramai Sultan Melayu di
negara ini berketurunan Bugis. Jadi saya minta supaya dia segera buat
permohonan maaf sebab perkara ini sudah melibatkan maruah seluruh orang Bugis,”
katanya.
Media Sinar Harian yang terbit di
Malaysia, melaporkan Persatuan Bugis Johor telah membuat laporan ke polisi demi
menuntut Mahathir atas pernyataannya yang dianggap rasialis itu. Pemimpin
organisasi ini, Datuk Awang Mohamad, mengatakan Mahathir mengguris hati
masyarakat Bugis di Malaysia dan nusantara.
Reaksi serupa juga muncul dari Persatuan
Asosiasi Bugis di Kota Tinggi. Pemimpinnya Abd Kader Baso mengancam akan
melaporkan Mahathir ke Kepolisian Kota Penawar, Kota Tinggi, Johor. Mahathir
didesak segera meminta maaf kepada masyarakat Bugis karena telah melukai hati orang
Bugis. Perilakunya dinilai sama sekali tidak mencerminkan seorang negarawan.
Harian The Star juga mengutip
pernyataan organisasi Persatuan Rumpun Bugis Malaysia yang mengecam Mahathir.
Pengurus organisasi itu, Tasman Matto, mengatakan, Mahathir tidak seharusnya
mengucapkan kalimat itu. “Bagaimana jika kami bertanya pada dia dari mana dia
berasal?”
demonstrasi yang dilakukan orang Bugis di Putrajaya |
Warga Malaysia mafhum kalau nenek moyang
Mahathir berasal dari Kerala, India. Mahathir sendiri mengakui asal-usulnya dan
kerap hadir di berbagai kegiatan yang menghimpun masyarakat keturunan India.
Sebagai negara yang turut dibangun para imigran yang telah beranak pinak,
sepantasnya Mahathir memahami keragaman etnik itu. Idealnya, dia menghargai
asal-usul seseorang, tanpa harus melakukan diskriminasi berbasis ras.
Setelah pernyataan itu memicu reaksi,
Mahathir coba mendinginkan situasi. Kepada media ia mengatakan tidak bermaksud
menghina orang Bugis. Yang dikatakannya adalah lanun Bugis yakni perompak Bugis
sebagai nenek moyang Najib.
Pernyataan Mahathir memang politis.
Konteksnya adalah ada tuduhan terhadap Najib melakukan korupsi. Demonstrasi
telah beberapa kali digelar demi memprotes Najib. Pernyataan Mahathir
disampaikan dalam satu orasi politik yang isinya memprotes korupsi yang diduga
dilakukan Najib. Hanya saja, pernyataan itu kemudian menyerempet isu etnik yang
segera memicu protes dari berbagai kalangan orang Bugis di Malaysia.
Reaksi Indonesia
Dari Indonesia, reaksi protes juga
bermunculan. Pakar filologi Universitas Hasanuddin, Profesor Nurhayati Rahman,
turut membagikan link pernyataan Mahathir di media sosial. Nurhayati
juga menulis dalam akun media sosialnya, "Luar biasa penghinaannya ke
orang Bugis. Padahal Mahathir selama ini dikenal sebagai salah satu tokoh Asia
Tenggara yang sangat bijak."
Reaksi juga muncul dari beberapa budayawan
Bugis. Di antaranya adalah Idwar Anwar yang menyebutkan silsilah beberapa Raja
di Malaysia yang merupakan keturunan Bugis. Kata Idwar, seharusnya Mahathir
paham sejarah Melayu yang banyak dipengaruhi oleh keturunan Bugis. Idwar
menyebut bangsawan dari Luwu yang membangun Malaysia, di antaranya adalah Opu
Daeng Cellak yang kemudian menjadi Raja Selangor pertama.
Kontribusi orang Bugis pada dunia Melayu
juga ditunjukkan lewat sosok Raja Ali Haji, seorang sastrawan yang perannya
sangat penting. Ia adalah ulama, sejarawan, dan pujangga abad 19 sekaligus
pencatat pertama dasar-dasar tata bahasa Melayu yang digunakan Malaysia. Raja
Ali Haji adalah keturunan Opu Dg Cellak asal Luwu. Raja Ali Haji juga
sekaligus cucu dari Raja Haji Fisabilillah, Yang Dipertuan Muda IV dari
Kesultanan Lingga-Riau (sekarang bagian Malaysia) sekaligus saudara Raja Lumu,
Sultan pertama Selangor-Malaysia.
Ditambah lagi fakta bahwa dari sembilan
raja yang pernah memerintah di Malaysia, pada umumnya merupakan keturunan dari
Kerajaan Luwu. Salah satunya pemangku Kerajaan Selangor yang merupakan
keturunan dari Kerajaan Luwu.
Tebaran Hikmah
TERLEPAS dari kontroversi pernyataan
Mahathir, setidaknya ada dua hikmah yang bisa dipetik dari peristiwa ini.
Pertama, pernyataan Mahathir secara
eksplisit menyampaikan begitu kuatnya pengaruh etnik Bugis di peta politik
Malaysia. Dengan menyebut asal-usul Nadjib, ia menegaskan kekuatan etnik Bugis
yang bisa menaikkan seorang warganya hingga ke tampuk pemerintahan tertinggi di
negara itu.
Kedua, pernyataan Mahathir juga
menunjukkan adanya prasangka (stereotype) terhadap orang Bugis yang dianggap
sebagai lanun, bajak laut, atau perompak (pirates). Prasangka ini dahulu
disematkan oleh para pedagang Eropa yang dahulu kerap bentrok dengan para
pelaut Bugis di lautan Pasifik.
Akademisi Universitas Hasanuddin, Andi
Ahmad Yani, mengatakan para pedagang Eropa kerap menyebut para bajak laut Bugis
itu sebagai “Boogeyman” yang sering menjadi mimpi buruk bagi pedagang,
sekaligus menjadi horor yang dibisikkan ke anak-anak kecil di Eropa. “Boogeyman”
disebutkan tak kenal takut, menyeramkan, dan penuh keberanian.
Akademisi Malaysia, Zuraidah Ghaniat yang
menulis buku tentang Bugis di Malaysia mengakui adanya anggapan tentang bajak
laut ini. Zuraidah yang mengaku sebagai keturunan Bugis yang telah lama menetap
di Malaysia, mengakui anggapan tentang Bugis di Malaysia sebagai petarung yang
berani dan bajak laut yang efektif. Baginya, selama berabad-abad, orang Bugis
adalah penjelajah lautan di Asia Tenggara. Orang Bugis punya dominasi di
lautan.
Zuraidah Ghani dan buku mengenai Bugis yang ditulisnya |
Zuraidah melakukan riset tentang Bugis
dengan tujuan untuk mengingatkan generasi muda Malaysia akan asal-usulnya, agar
tidak lupa pada budayanya sendiri. Dia menghabiskan waktu selama 10 tahun untuk
riset tentang sejarah Bugis, filosofi hidup, dan pentingnya Bugis dalam
kebudayaan Melayu di Johor dan Selangor, serta keluarga kerajaan.
Namun, anggapan bajak laut ini dibantah
oleh peneliti Christian Pelras, yang menyebutnya sebagai prasangka yang justru
keliru dan tak berakar. Kata Pelras, yang menulis buku The Bugis ini,
anggapan keliru tentang Bugis telah lama ada di masyarakat sebab Bugis adalah
suku bangsa hebat yang justru tak banyak dikenali. Salah satu informasi yang
keliru itu ialah anggapan bahwa orang Bugis adalah pelaut sejak zaman dulu
kala. Makanya, tak tepat jika mereka disebut sebagai bajak laut (pirates).
Anggapan keliru ini bersumber dari
banyaknya perahu Bugis yang pada abad ke-19 terlihat berlabuh di berbagai
wilayah Nusantara, dari Singapura sampai Papua, dan dari bagian selatan
Filipina hingga ke pantai barat laut Australia. Anggapan ini, menurut Pelras,
adalah keliru karena ”dalam kenyataan sebenarnya orang Bugis pada dasarnya
adalah petani”, sedangkan aktivitas maritim mereka baru benar-benar berkembang
pada abad ke-18.
Dalam hal perahu Phinisi yang terkenal dan
dianggap telah berusia ratusan tahun, bentuk dan model akhirnya sebenarnya baru
ditemukan antara pengujung abad ke-19 dan dekade 1930-an. Demikian pula halnya
dengan predikat bajak laut yang diberikan kepada orang Bugis, sama sekali
keliru dan tidak berdasar.
Walau Pelras menyangkal ciri kepelautan
manusia Bugis seperti di atas, ia tetap mengakui adanya ciri-ciri khas yang
melekat pada manusia Bugis. Salah satu ciri terpenting manusia Bugis ialah
”mampu mendirikan kerajaan-kerajaan yang sama sekali tidak mengandung pengaruh
India”. Yang kedua ialah tanpa mendirikan kota sebagai pusat aktivitas mereka.
Di bidang kesusastraan, orang Bugis juga
memiliki tradisinya sendiri, baik sastra lisan maupun tulisan. Catatan yang
ditunjukkan oleh Pelras untuk hasil sastra Bugis itu ialah La Galigo. Karya
sastra ini merupakan perpaduan antara sastra lisan dan tulisan dan merupakan
salah satu epos sastra terbesar di dunia.
***
PERNYATAAN Mahathir disampaikan dalam
konteks politik. Reaksi atas pernyataan ini tak perlu berlebihan. Kalaupun
banyak orang Bugis di Malaysia yang ingin berlanjut ke ranah hukum, maka itu
juga harus dilihat dalam konteks politik. Boleh jadi, iklim politik negeri itu
dipengaruhi oleh iklim politik di sini, yang mudah tersinggung oleh satu
pertanyaan, lalu buat demo berjilid-jilid.
Terlepas dari peristiwa yang tengah hangat
di negeri jiran sana, satu hikmah yang juga tak boleh dilupakan adalah semakin
hangatnya diskusi mengenai Bugis di Malaysia. Banyak orang yang mulai melacak
asal-usulnya, menelusuri siapa nenek moyangnya, lalu berusaha membangun kembali
jaringan kekerabatan yang nyaris punah.
Diskusi ini harus terus dimulai demi
memahami diaspora Bugis serta jejaknya di banyak peradaban Asia Tenggara. Yang
harus diperkuat di masa mendatang adalah kajian serta riset mendalam tentang
Bugis dan semua suku bangsa lain sehingga di ranah akademisi tetap menjadi tuan
di negeri sendiri. Indonesia harus memperkuat studi tentang masyarakatnya
sendiri agar pengetahuan itu tidak lantas berpindah ke negara lain.
Jika tidak dikelola dengan baik, maka
kekayaan intelektual, yang merupakan pusaka dan warisan dari nenek moyang, yang
seharusnya berguna untuk memperkaya kearifan di jaman kini, akan menjadi milik
bangsa lain. Pada titik itu, kita hanya bisa gigit jari.
BACA JUGA:
0 komentar:
Posting Komentar