Membaca Ulang Iksaka Banu



Sembari menunggu keberangkatan pesawat singa, saya membaca kembali buku kumpulan cerpen Semua untuk Hindia yang ditulis Iksaka Banu, yang direkomendasikan Prof Ariel Heryanto. 

Kesan saya tak berubah sejak pertama membelinya pada bulan Mei 2014. Buku ini tidak membahas sejarah yang hitam putih. Penulis, dengan berani, mengurai kisah dari sudut pandang orang Belanda yang dicap nista oleh sejarah kita. Ia melihat peristiwa dari sudut berbeda. Siapapun bisa berpotensi jahat, tanpa memandang warna kulit dan asal bangsanya.

Buku ini membentang sketsa watak manusia yang penuh warna. Di setiap kumpulan, ada manusia baik dan ada manusia jahat. Tergantung kita melihatnya dari sudut mana. Namun jika kita membebaskan diri dari segala prasangka, kita akan melihat semua sudut sama saja. Selalu ada dinamika. Selalu ada gejolak. Selalu ada kebaikan, juga kejahatan. 

Kolonialisme dan rasisme memang tengik. Tapi keduanya bukan sesuatu yang mudah dituding dan dijelaskan bentuknya. Keduanya tersimpan sebagai endapan pikiran dalam diri seseorang. Siapapun bisa kolonialis dan rasis sepanjang hanya mengakui eksistensi dirinya, tanpa membuka ruang untuk mereka yang posisinya berbeda. 

Atas dasar itu, saya tak henti mengagumi Mandela. Saat dia terpilih sebagai Presiden Afrika, setelah menjalani penahanan selama 27 tahun di Pulau Robben, Mandela tak lantas memusuhi, juga tidak membalas dendam pada orang kulit putih. Ia menawarkan permaafan, rekonsiliasi, dan menatap masa depan yang lebih cerah. 

Ia mengatakan, "Saya telah berjuang melawan supremasi kulit putih. Saya juga telah berjuang melawan supremasi kulit hitam." Yang dilawannya adalah sesuatu yang tumbuh bak parasit di kepala orang yang merasa memonopoli kebenaran. Ia menegaskan bahwa supremasi dan sikap merasa benar bisa tumbuh di mana-mana, dan menjangkiti siapapun. Ketika jadi pemimpin, ia tak membalas dendam. Ia memaafkan, tapi tak melupakan, sebab keping sejarah itu bisa saja tumbuh di masa depan. 

Saya pun terkenang Pramoedya Ananta Toer. Kata Pramoedya, kemerdekaan bukanlah hasil tempur di medan laga dengan senapan menyalak. Kemerdekaan bermula dari ide-ide kebebasan yang berkecambah pada pikiran yang terbuka dan peka dengan situasi terjajah. Kemerdekaan adalah akumulasi dari kerja banyak pihak, termasuk sejumlah kulit berwarna, kulit kuning, dan juga kulit putih yang menyemai ide-ide progresif. 

Dari sudut jendela yang di sana nampak pesawat singa, saya memikirkan banyak pertanyaan yang tak juga usai. Saya membayangkan betapa banyaknya belukar dogma dan sulur-sulur masa silam yang harus ditebas oleh anak bangsa. Saya membayangkan Ibu Pertiwi, yang entah apakah sedang bersusah hati ataukah bersuka hati. Semoga saja air matanya tak berlinang. Mungkin saja dia sedang lara, merintih, dan berdoa.




0 komentar:

Posting Komentar