Istana Bogor yang terletak di Kebun Raya Bogor |
TAK pernah sedikitpun saya berniat untuk
singgah di gedung tinggi warna merah yang terletak di dekat Kebun Raya Bogor
itu. Namun saat seorang teman mengajak ke situ, saya akhirnya berkunjung dan
menelusuri beberapa lantai di gedung itu. Ternyata gedung ini serupa lorong
waktu ke masa silam, yang menunjukkan betapa banyaknya catatan berharga masa lalu
yang hendak merengkuh dunia melalui sains.
Di gedung ini tersimpan begitu banyak
koleksi dan catatan para ilmuwan zaman kolonial Belanda. Menelusuri koleksi dan
arsip di situ, saya berhadapan dengan detail-detail pengamatan, kekayaan
pengumpulan data, ketekunan, serta keseriusan untuk mencatat segala hal penting
yang serupa berlian bagi dunia ilmu pengetahuan.
Ternyata, kisah-kisah zaman kolonial tak
melulu berisikan pertempuran, adu taktik,
dan adu siasat di medan laga. Tapi juga terdapat kisah penjelajahan para
peneliti dan ilmuwan yang mencatat rapi semesta manusia, flora, hingga fauna
lalu menyimpannya dalam ribuan lembar buku-buku. Di situ juga ada kisah tentang
para pustakawan yang menyimpan semua arsip penjelajahan akademik itu lalu
menghamparkan karpet merah pengetahuan untuk generasi penerus yang kelak akan
menafsir lingkungannya.
Yuk, mari berkunjung ke Bibliotheek ’s
Land Plantentuin te Buitenzorg, yang kini bernama Pusat Perpustakaan dan
Penyebaran Teknologi Pertanian (Pustaka) di Jalan Juanda Bogor.
***
SEORANG ibu berjilbab hijau menyambut
ramah kedatangan saya dan teman-teman di Pustaka. Ia berbicara dengan aksen Jawa yang kental. Ia menyapa semua pengunjung satu per satu, serta menanyakan
berasal dari mana. Saya sangat yakin ibu ini berasal dari Jawa Tengah, tapi
tidak tahu persis dari daerah mana. Giliran saya memperkenalkan diri, saya
menyebut berasal dari Solo. Dia tersentak lalu mengejar dengan pertanyaan dalam
bahasa Jawa yang kira-kira bermakna, “Solo mana?” Saya menjawab “Solo-wesi.”
Dia langsung tertawa lepas.
Ibu itu memakai baju seragam pegawai
negeri sipil Kementerian Pertanian RI. Pustaka adalah perpustakaan di bawah
payung kementerian itu. Makanya, koleksi pustaka sangatlah spesifik, yakni
sebatas tema-tema biologi, tumbuhan, komoditas pertanian, dan sejenisnya.
Pustaka diklaim sebagai perpustakaan biologi dan pertanian tertua di Indonesia.
Posisinya tepat di depan Kebun Raya Bogor itu diklaim sebagai induk dari semua
perpustakaan di lingkup kementerian itu. Pustaka juga membina perpustakaan lain
yang berada di lingkup kementeriannya.
Ibu ini berusia sekitar akhir 40-an tahun.
Kepada kami semua, ia menyebut dirinya seorang “Jelita.” Saat kami bingung, ia
menyebut kepanjangannya yakni “Jelang lima puluh tahun.” Ternyata ia pandai
pula bercanda.
Pustaka berdiri sejak bulan Mei 1842.
Pendirian itu berawal dari pembelian 25 judul buku milik Jacqies Pierot yang
disarankan oleh J.K. Hasskarl, Assistan Hortulanus ’s Land Plantentuin dan M.
Diard, anggota dari Natuurkundige Commissie. Pada awal pendiriannya, Pustaka
merupakan bagian dari Kebun Raya Bogor yang memiliki fungsi menyediakan
literatur bidang botani untuk para peneliti tamu yang melakukan penyelidikan
botani daerah tropis. Pada tahun 1850, secara resmi menjadi sebuah perpustakaan
dengan nama Bibliotheek ’s Land Plantentuin te Buitenzorg.
Di dekat pintu masuk, saya melihat gambar
J.K Hasskarl yang ditahbiskan sebagai pendiri perpustakaan ini. Tak jauh dari
situ, terdapat rak-rak kaca yang memajang sejumlah buku-buku tua. Saya menyukai
aroma dari buku-buku tua yang terpajang di dekat pintu masuk. Saya lama
memperhatikan satu buku yang memperlihatkan gambar bunga yang dibuat dengan
sangat detail. Di zaman ketika teknologi fotografi belum ditemukan, para
ilmuwan menyiasatinya dengan gambar yang sangat detail dan rapi. Dahulu, para
ilmuwan bekerja sama dengan para seniman. Makanya, buku-buku tak hanya
menyimpan deskripsi dan uraian akademis, tapi juga detail-detail gambar.
Melihat satu buku tua bergambar
bunga-bunga, saya teringat pada Alfred Russel Wallace (1823-1913), seorang ahli
biologi, penjelajah, antropolog, juga geografer terpandang dari Inggris.
Peneliti yang kemudian disebut bapak biogeografi itu melakukan penjelajahan di
Sungai Amazon, kemudian ke Kepulauan Nusantara. Dia mencatat dan menggambar
semua detail-detail tumbuhan dan flora di Nusantara yang kemudian diterbitkan
dalam buku Kepulauan Nusantara. Di buku itu, ia menulis catatan harian tentang
perjumpaannya dengan orang-orang di berbagai kerajaan di Nusantara.
Dia lalu menulis laporan dan publikasi
yang mengejutkan dunia bilologi, khususnya klasifikasi hewan dan tumbuhan. Dari
Ternate, ia menulis satu surat terkenal kepada muridnya Charles Darwin (penemu
teori evolusi) yang kemudian menginspirasi lahirnya teori evolusi. Dalam dunia
ilmiah, surat itu disebut “A Letter from
Ternate.” Saat saya ke Ternate beberapa tahun silam, Walikota Ternate
bercerita bagaimana nama Ternate mendunia gara-gara surat itu. Makanya, ia
hendak membangun Observatorium Wallace di sana. Entah, apa sudah terealisasi
ataukah belum.
Catatan-catatan dan lukisan khas di
buku-buku karya Wallace, saya temukan di beberapa buku yang dipamerkan di
bagian depan. Sedemikian detailnya beberapa gambar, sampai-sampai saya bisa
melihat benang sari dan bagian dalam bunga dengan jelas pada ilustrasi buku
yang ditulis tahun 1700-an. Ternyata, beberapa buku di situ lebih tua dari buku
karya Wallace. “Koleksi buku tertua di sini adalah dibuat tahun 1615,” kata ibu
yang menjadi tour guide kami. Hah?
Saya membayangkan akhir tahun 1500-an dan
awal 1600-an adalah saat-saat periode akhir Kerajaan Majapahit yang pernah
menguasai seluruh Nusantara. Boleh jadi, peradaban kita masih dalam era
mitologis dan kepercayaan tentang dunia-dunia magis dan kesaktian mandraguna.
Padahal, pada era itu, Belanda telah memiliki banyak saintis dan biolog yang
menulis rapi tentang daratan Hindia Belanda. Ilmu dan pengetahuan mereka telah
melesat lebih jauh. Mungkin ini juga alasan mengapa mereka yang daratannya tidak
lebih luas dari Jawa Barat itu bisa mengalahkan ratusan kerajaan Nusantara.
Buku-buku berusia tua ini masuk dalam
kategori koleksi antiquariat. Saya menduga nama ini diambil dari kata anti dan
aqua (air). Sebab musuh utama dari buku tua adalah kelembaban, yang disebabkan
uap air. Buku itu akan cepat rontok saat terpapar uap air. Di Pustaka, terdapat
banyak ruangan yang diatur suhunya sehingga tidak lembab. Dengan demikian,
koleksi antiquariat ini bisa berumur lebih lama.
Jumlah koleksi yang ada di Pustaka dan
sudah terdata sampai dengan saat ini ini seluruhnya berjumlah 6.715 eksemplar.
Jumlah tersebut belum termasuk calon koleksi antiquariat yang penyimpanan masih
tergabung dengan koleksi buku. Koleksi tua ini merupakan aset negara yang
harus dipertanggungjawabkan keberadaannya, dipelihara dan dimanfaatkan untuk
kepentingan masyarakat luas. Namun karena berbagai kondisi yang disebabkan oleh
iklim, hama maupun manusia dari waktu ke waktu akan menyebabkan timbulnya
kerusakan pada koleksi, maka diperlukan upaya preservasi dan konservasi yang
lebih baik lagi di masa mendatang.
Di satu ruangan koleksi antiquariat, saya
membuka beberapa buku. Di antaranya adalah Herbarium Amboinese, buku yang
berukuran besar dan terbit tahun 1750. Buku ini berisikan semua tumbuhan yang
ada di Ambon pada periode tersebut. Saya juga melihat buku yang tebalnya lebih
2.000 halaman berjudul Flora von Tjibodas. Dari judulnya bisa saya tebak kalau
buku ini menyajikan tumbuhan di Kebun Raya Cibodas.
gambar bunga yang sangat detail |
buku tebal mengenai tumbuhan di Cibodas |
Herbarium Amboiense |
Tak semua buku menyajikan tumbuhan. Banyak
buku yang justru menyajikan kebudayaan. Saya sempat memperlihatkan buku
mengenai Medan di masa kolonial pada kawan Inang Saragih yang berasal dari
Pematang Siantar. Dia terkagum-kagum membuka buku itu yang menyajikan
gambar-gambar, pakaian adat, rumah tradisional, serta kehidupan sosial orang
Batak di zaman itu.
Hingga akhirnya saya tiba di lantai
sembilan gedung itu. Di sini, saya memasuki ruangan yang lantainya terbuat dari
kayu. Pegawai Pustaka menunjukkan bagaimana cara merawat buku tua. Buku itu
dijilid ulang lalu dilapisi dengan kertas khusus sehingga bisa bertahan lama.
Di situ, saya juga melihat scanner yang digunakan untuk men-scan semua dokumen
lalu menyimpannya dalam format digital. Rupanya, upaya untuk berpacu melawan
penuaan pada buku haruslah dibarengi strategi yang canggih. Tunas-tunas ilmu
dan pengetahuan dalam buku itu harus dirawat pula dalam format digital agar
maknanya bisa melintasi zaman ke zaman.
***
TAK terasa, saya berkunjung selama dua jam
di perpustakaan ini. Kata pegawainya, pengunjung di sini tak hanya peneliti
dari berbagai universitas dunia yang mencari bahan untuk memperkaya
analisisnya. Tapi juga sering dikunjungi anak-anak. Di lantai satu, ada kids
corner yang merupakan area anak-anak. Kata pegawainya, beberapa TK dan SD
sering datang ke tempat itu untuk bermain. Malah ada ruangan untuk memutar
film. Semua fasilitas itu gratis.
Kesan saya, perpustakaan ini keren.
Buku-buku disimpan di lemari yang bisa mengatup, anti api. Jika ada kebakaran,
semua buku akan tetap aman. Semua lemari canggih itu didatangkan dari Jerman.
Upaya merawat buku tua juga patut diacungi jempol. Saya berharap digitalisasi
yang dilakukan bisa menyelamatkan semua khasanah pengetahuan di berbagai buku.
Sayangnya, gedung yang megah dan keren ini
sepi dari pengunjung. Saat saya berkunjung, saya tak melhat ada satupun orang
yang singgah dan membaca. Mungkin karena saya datang di bulan puasa. Tapi saya
rasa perpustakaan ini kurang promosi. Buktinya, saya yang tinggal tiga tahun di
Bogor dan setiap saat melintasi gedung ini malah tidak tahu kalau ada
perpustakaan sekeren ini.
semua teks dipindai dan disimpan dalam fotmat digital |
alat scanner |
ruangan untuk memindai semua buku |
Di tanah air, perpustakaan hanyalah
menjadi tempat menyimpan buku dan membaca. Padahal di luar negeri, perpustakaan
adalah tempat meeting point bagi semua komunitas. Banyak aktivitas warga yang
dilakukan di perpustakaan. Semua segmen usia punya kegiatan positif di
perpustakaan. Dengan cara itu, peradaban dan aktivitas yang dibangun selalu terkait
buku-buku dan pengetahuan.
Kendala lain karena banyak koleksi yang
berbahasa Belanda. Andaikan ada software di HP yang bisa meng-scan semua naskah
lalu menerjemahkan dari bahasa Belanda ke Indonesia, pasti akan sangat berguna.
Jika sotware itu ada, saya akan bisa membaca semua koleksi berharga di situ.
Di perpustakaan itu, saya menafsir ulang
beberapa teks sejarah yang pernah saya baca. Ternyata kolonialisme itu bukan
saja aspek ekonomi dan politik penguasaan satu negeri, tapi juga terdapat aspek
ilmu pengetahuan yang juga berjalan beriringan. Dalam buku karya Rudolf Mrazek
berjudul Engineers of Happy Land,
telah dipaparkan bagaimana kedatangan para insinyur di tanah jajahan yang
membangun jalan kereta api, menghadirkan listrik, dan teknologi di Nusantara
periode kolonial. Penjajahan punya dimensi luas, tak hanya pertempuran.
Di perustakaan ini, saya mengenang para
ilmuwan yang pernah datang dan berkarya di sekitar Kebun Raya Bogor. Para
ilmuwan itu datang bersamaan dengan para kolonialis, lalu melakukan riset-riset
yang hasilnya akan dinikmati warga dunia. Para ilmuwan berjalan dalam kutub
berbeda dengan para penakluk. Para ilmuwan merawat peradaban, menyempurnakan
pemahaman manusia atas alam semesta, kemudian membuat kehidupan lebih indah
bagi semua warga.
Hari ini, kita hanya bisa mengenang mereka
melalui ilmu pengetahuan yang tumbuh dan menyebar aroma pengetahuan dan
keindahan di sekitar kita.
4 komentar:
Kereeen kali ni tulisannya, ikut jg kemarin muter2, tapi kok ga ada ide bikin tulisan yg serenyah ini klo dibaca...mantap bang Yus, lanjutkan !!
mantap inang. komenmu sebelumnya tak sengaja terhapus.
Posting Komentar