Yang Menakjubkan di Desa Kita



SEBUAH baliho terpampang di dekat masjid yang terletak di Desa Bonemarambe, Mawasangka Timur, Kabupaten Buton Tengah. Baliho itu berisikan laporan pertanggungjawaban atas penggunaan kas desa yang bisa dilihat siapa saja. Pengurus desanya mengumumkan secara terbuka, berapa dana yang mereka terima, digunakan untuk apa saja, serta berapa kas desa yang masih tersisa. Baliho itu sengaja dipasang dekat masjid, sebab masjid adalah simbol kearifan dan kejujuran.

Melalui baliho berukuran besar, warga bisa melihat lalu lintas uang yang masuk ke kas desa. Saya membayangkan baliho itu akan dilihat petani jambu mente, aparat desa, tukang sayur, tukang becak, sopir angkot, ibu Posyandu, penjual obat, pedagang pasar, hingga nelayan kecil yang setiap hari melaut. Semua pihak bisa tahu persis berapa dana yang mengucur ke desa itu, lalu digunakan untuk apa saja.

Seorang sahabat memosting baliho itu untuk dsebarkan di media sosial. Saya membayangkan warga desa akan mendiskusikan isi baliho itu di warung-warung kopi, lapak penjual sayur, sambil mempertanyakannya secara kritis. Mungkin saja, mereka akan menodong kepala desa dengan pertanyaan, mengapa begini dan mengapa begitu. Mungkin juga mereka punya banyak ‘amunisi’ untuk ditanyakan saat musyawarah desa.

Baliho itu nampak sederhana, namun bagi saya luar biasa. Saya langsung merefleksi ke dalam diri. Di kota-kota, yang katanya menjadi pusat peradaban, berapa banyak transparansi kita saksikan? Apakah kita pernah melihat anggaran daerah diumumkan terbuka ke hadapan publik? Apakah kita pernah menyaksikan detail satu Rincian Anggaran Belanja (RAB) proyek secara terbuka? Apakah kita pernah melihat laporan keuangan dari para bos di instansi tempat kita bekerja? Apakah kita menyaksikan kejujuran dari banyak pejabat tentang berapa anggaran yang mereka terima dan digunakan untuk apa saja? Apakah ada ketua umum partai politik yang secara terbuka mengumumkan keuangan partainya, serta digunakan untuk apa saja?

Tak hanya di Desa Bonemarambe, Buton Tengah, seorang sahabat pernah menunjukkan saya foto baliho penggunaan dana desa di satu desa di Jeneponto.  Isinya lebih informatif dan lebih sederhana dibandingkan dengan baliho di Buton tengah. Dalam baliho itu, jelas terpampang semua anggaran desa beserta penggunannya.



Kita memang berada pada era clean government yang ditandai oleh transparansi dan keterbukaan. Tapi berapa banyak organisasi yang bersedia membuka semua anggaran agar diketahui oleh semua anggotanya. Yang banyak terjadi adalah anggaran sengaja disembunyikan demi memudahkan proses kolusi dan kongkalikong di balik layar.

Zaman memang terus bergerak. Kota-kota tumbuh dengan segala kemegahannya, Tapi, kearifan dan kejujuran tetap tumbuh dari desa-desa. Saatnya menyerap beberapa praktik baik di desa-desa itu, lalu membawanya menjadi nilai dan transparansi di semua organisasi di berbagai wilayah. Saatnya berguru pada bagaimana keikhlasan warga desa mengumumkan dana yang diterimanya, serta kejujuran untuk mengumumkannya ke hadapan publik.

Meskipun saya yakin kalau akan ada banyak pertanyaan terkait baliho ini. Tapi setidaknya, di situ kita banyak melihat harapan kuat bagi bangsa ini. Di situ kita melihat embun yang tak banyak kita temukan di berbagai lapis organisasi, yang diharapkan bisa membawa bangsa ini ke arah cita-cita proklamasi.


Peminggiran Desa

SEJAK dahulu, desa selalu menjadi korban dari berbagai kebijakan. Pada masa kolonial, desa dipaksa menjadi instrumen untuk eksploitasi sumberdaya alam dan manusia demi kepentingan penjajah. Pada masa Orde Lama dan Demokrasi Liberal, desa menjadi ajang rebutan pengaruh dari berbagai partai dan politik aliran yang menyebabkan harmoni di tingkat desa terganggu. Pada masa Demokrasi Pancasila, desa diberi peran sebagai sasaran pembangunan, tanpa warganya memahami apakah gerangan tujuan pembangunan itu. Mereka tak pernah dilibatkan dan didengarkan aspirasinya. Desa menjadi perpanjangan pemerintah.

Zaman memang berganti. Namun entah kenapa, berbagai pendekatan pembangunan selalu saja berasal dari kota, dan diharapkan akan dijalankan oleh orang desa. Bisa dikatakan bahwa kaum kota dan terpelajar itu merasa dirinya lebih tinggi sebab menguasai ilmu pengetahuan. Pandangan ini memang sangat bias dengan kepentingan modernis yang kemudian berkontribusi pada peminggiran masyarakat desa.

Di tahun 1979, sosiolog Robert Chambers mengidentifikasi sebab-sebab yang menyebabkan desa mengalami keterpinggiran. Salah satu hal tersebut adalah konstruksi pengetahuan kita tentang desa. Sebagaimana dikatakan Robert Chambers (1979), desa telah menjadi korban penjungkir-balikan (putting the last first) dari pihak luar desa (outsiders) yang mengaku serba tahu tentang desa. Mereka, para outsiders ini, sering merasa lebih tahu dan merekayasa desa. Pengetahuan warga desa lalu diabaikan dan tak pernah mendapat porsi yang semestinya, yakni sebagai mercusuar bagi masyarakat untuk melangkah maju. Padahal, pengetahuan orang-orang kota itu justru memiliki banyak bias, di antaranya adalah (1) bias ruang, (2) bias proyek, (3) bias personal, (4) bias musim kering, (5) bias diplomatis, dan (6) bias profesional.

Menarik untuk ditelaah tentang bias ruang, bias proyek, dan bias personal. Jika dilihat secara spasial, kota lebih diuntungkan oleh pembangunan. Pembangunan selalu menekankan pada aspek fisik dan pemenuhan kebutuhan masyarakat kota. Infrastruktur diprioritaskan hanya di level kota. Program pembangunan pun hanya diarahkan ke wilayah itu. Ini juga ditambah fakta bahwa cara-cara berpikir dalam koridor ekonomi makro justru lebih permisif pada pembangunan manufaktur dan sektor industri demi mempercepat laju pembangunan. Ini sama dengan memberi ruang yang amat besar bagi kemajuan kota, dan semakin dihilangkannya desa.

Selanjutnya, bias proyek. Di banyak tempat, pembangunan hanya dilihat sebagai proyek yang menyerap anggaran. Ketika anggaran terserap, maka pembangunan dianggap berhasil. Padahal, di banyak tempat, cara berpikir ini justru tidak memperhatikan aspek kontinutas atau sustainabilitas dari satu kegiatan. Ketika satu proyek dibangun, para perencana sering abai untuk melihat seberapa bermanfaatkah apa yang telah dibangun tersebut. Ataukah proyek itu hanya sekadar menghabiskan anggaran, tanpa melihat seberapa bergunakah proyek tersebut?


Inspirasi Desa

MESKPUN demikian, desa-desa selalu memancarkan mata air nilai yang mengisi celah dari egoisme dan keangkuhan orang kota. Di desa selalu saja ada pelajaran berharga tentang bagaimana menata satu kawasan dengan basis kultural serta kearifan masyarakatnya.

Di Desa Bonemarambe, Buton Tengah, kita bisa melihat kejujuran warga desa dalam menyampaikan informasi tentang penggunaan anggaran. Padahal, di kota-kota transparansi ini adalah sesuatu yang langka disebabkan ketamakan untuk mengeruk semua sumberdaya finansial. Pada desa-desa, kita menemukan mutiara peradaban berupa kejujuran yang kini menjadi barang mahal.

Tak bisa dipungkiri ada juga aparat desa yang tidak jujur dan menilep keuangan. Biasanya, tipe aparat desa seperti ini tak akan bertahan lama. Jika hukum tak bisa memberi sanksi, maka sanksi sosial jauh lebih menyakitkan sebab dampaknya lebih besar. Bisakah anda bayangkan bagaimana perasaan anda saat tdak ditegur seisi desa hanya karena ada indikasi anda berbuat curang kepada mereka?

Dalam satu dialog dengan warga desa, saya menemukan alasan yang cukup menghentak. Mereka tidak ingin berbuat curang sebab takut siksaan neraka. Saya tertegun. Kearifan seperti ini sudah jarang saya temukan di kota-kota. Banyak orang yang berpikir jangka pendek, berfoya-foya dengan uang yang bukan haknya, sebab merasa akhirat adalah sesuatu yang terlampau jauh. Banyak yang berpikir bahwa kekayaan, didapat dengan cara apapun, adalah cara tercepat untuk menggapai surga. Dan banyak yang tak sabar untuk segera ke sana.






0 komentar:

Posting Komentar