DI Bandara Sukarno-Hatta, saya melihat
lelaki itu. Dia duduk di sudut ruangan, agak terpisah dari orang-orang. Matanya
sipit, kulitnya terang, rambutnya lurus. Saat ditanya petugas bandara, ia
tampak tidak memahaminya. Ketika beberapa patah kata keluar dari mulutnya, langsung
saya menebak kalau dia berasal dari Cina.
Dalam beberapa penerbangan ke Kendari, Sulawesi Tenggara, saya selalu bertemu dengan banyak orang Cina. Bahkan saat meninggalkan Kendari
pun, saya bertemu banyak warga dari negeri tirai bambu itu. Mereka selalu
datang dalam rombongan. Mereka selalu kesulitan dalam berkomunikasi dengan
petugas bandara. Mereka tak bisa bahasa Inggris, hanya bisa bahasa mandarin.
Selama beberapa tahun terakhir, banyak
warga Cina hilir mudik di Sulawesi Tenggara. Kata seorang kawan, ada pabrik
baja dan stainless steel yang dibuka di Morosi, perbatasan antara Sulawesi
Tenggara dan Sulawesi Tengah. Pabrik itu adalah investasi Cina di Indonesia.
Demi membangun pabrik itu, banyak pekerja didatangkan, bahkan pekerja kasar pun
didatangkan dari negeri itu.
Situasinya memang agak dilematis.
Perusahaan itu mengantongi ijin sejak eranya Presiden SBY. Rupanya, manual book ataupun guidance untuk mesin-mesin pabrik itu dibuat dalam aksara Cina. Praktis, hanya warga
dari negeri itu yang bisa memahaminya. Mungkin, alasan itu pula yang membuat
migrasi banyak karyawan Cina di sana. Dari sisi sosial, tak banyak interaksi dengan warga setempat. Yang ada adalah tatap curiga pada mereka.
Lelaki yang saya lihat di bandara itu agak
berbeda dengan rombongan warga Cina yang pernah saya temui. Lelaki ini
mengenakan jas dan tampak sangat rapi. Tampilannya mengesankan dirinya warga
kelas atas, yang berbeda dengan penampilan warga Cina lainnya yang sering saya
saksikan. Saya hanya menyaksikannya dari jauh.
Tak lama kemudian, suara nyaring memancar
dari pengeras suara. Semua penumpang diminta naik pesawat. Saya lalu memanggul
ransel dan menuju pesawat. Tak lupa, saya juga mengeluarkan buku. Dua jam
perjalanan akan saya isi dengan membaca buku.
Entah, apakah kebetulan, posisi duduk saya
di kursi bagian belakang, bersisian dengan lelaki Cina itu. Saya dan dia hanya
diantarai oleh lorong yang dilaui pramugari dan semua penumpang. Saat melirik
ke arahnya, dia pun memandangi saya. Kami sama-sama tersenyum. Saya lalu
menyapanya dalam bahasa Inggris. Dia menjawab dengan bahasa mandarin. Kami tak
saling mengerti.
Saat pesawat hendak bergerak, dia
mengambil lembar panduan yang menayangkan petunjuk pemakaian pelampung. Aksara
petunjuk itu terdiri atas bahasa Indonesia, bahasa Inggris, dan bahasa Jepang.
Saya menyapanya lalu menunjuk aksara Jepang, sembari berkata dalam bahasa
Inggris, "Apa kamu mengerti tulisan ini?” Ia menggeleng. Setidaknya, kami mulai
berkomunikasi.
Saat pesawat lepas landas, saya kembali
mencoba berkomunikasi dengannya. Lagi-lagi problem bahasa. Terpaksa komunikasi
kami lakukan dengan gerak tangan. Dia menunjuk gambar kopi dan makanan. Setelah
itu menunjuk harga yang tertera 50.000 rupiah. Saya menjelaskan kalau itu
adalah harga yang harus disiapkannya saat memesan makanan itu. Dia lalu membuka
dompet, lalu menunjukkan uangnya yang sebesar 100 ribu rupiah. Saya katakan,
dia bisa memesan dua porsi makanan itu.
Saat pramugari melintas, dia menunjuk
gambar itu lalu berbicara dalam bahasa mandarin. Pramugari itu langsung paham
dirinya hendak memesan menu tadi. Lelaki itu mengeluarkan dua lembar uang
seratus ribu, lalu menunjuk ke arah saya. Rupanya dia juga ingin memesan menu
yang sama buat saya. Meskipun saya menolak, dia tetap ngotot agar saya mau
menerima kebaikannya. Menu pesanannya datang. Saya menikmatinya lalu
mengucapkan terimakasih.
Sesuai makan, dia lalu
mengeluarkan beberapa roti dari tas kecil yang dibawanya. Kembali ia memberikan
saya roti itu. Saya melihat bungkusnya ditulisi aksara mandarin. Artinya roti
itu dibawanya dari Cina. Saya mau saja menikmatinya. Menjelang pesawat mendarat, kembali
dia mengeluarkan bingkisan. Isinya adalah berbagai jenis camilan dari Cina,
mulai dari roti, kue, permen, dan berbagai jenis coklat. Biarpun saya menolak,
dia tetap ngotot agar saya menerimanya.
Saat itu saya merenung. Semuanya bermula
dari senyuman dan sapaan. Tak ada ruginya tersenyum dan menyapa orang lain.
Boleh jadi, orang lain memang ingin disapa, meskipun tak saling memahami
bahasa. Bisa saja saya bertindak serupa penumpang lain yang cuek dan
mengabaikannya. Perjalanan itu akan berlangsung biasa-biasa saja, tanpa ada
kejadian luar biasa. Namun saat saya tersenyum dan menyapanya, dunia berubah.
Dia menawarkan keramahan, dan memberi saya banyak kebaikan.
Dalam hidup, ada banyak orang lalu lalang
yang melintas di hadapan kita. Kita sering abai dan tidak peduli pada mereka.
Namun cobalah tersenyum pada mereka. Dunia yang tadinya kaku akan berubah
menggembirakan. Cobalah menyapa, barangkali dunia akan menawarkan banyak hal baik untukmu. Berawal dari senyum, selanjutnya terbangun komunikasi, dan
terakhir saling berbagi kebaikan.
Saat tiba di Bandara Halu Oleo, Kendari,
saya masih jalan bersisian dengan lelaki itu. Saya menyebut beberapa kata yang
mungkin dipahaminya. Saya menyebut Morosi hingga Kendari. Dia tak memberi
respon. Saat saya sebut Beijing, matanya berbinar. Dia lalu menjabat tangan
saya dengan hangat. Dia lalu menyebut dirinya datang dari Beijing. Di depan bandara, kami berpisah.
Di luar sana, Kendari tengah disapa gerimis.
0 komentar:
Posting Komentar