Mengeja Timur dari Buritan PERAHU

tiga buku yang dibuat tim Ekspedisi Maritim Timur Nusantara

SETIAP anak yang menemukan mainan paling diingininya, selalu akan bersorak kegirangan. Setiap pembaca buku yang disodorkan buku yang selalu ingin dibacanya pasti akan berreaksi serupa. Mainan dan buku adalah jendela untuk memasuki dunia imajinasi. Mainan dan buku adalah dua kepak sayap yang membawa pikiran beterbangan.

Di hadapan saya ada dummy atau draft tiga buku yang sungguh menarik. Ketiganya berada dalam satu bundel bertuliskan Ekspedisi Maritim Timur Nusantara, yang ditulis anggota tim ekspedisi. Buku pertama berjudul Pesan dari Buritan berisikan catatan perjalanan mengarungi samudera untuk menelusuri jejak perahu kecil para pelaut tradisional Buton yang berlayar ke timur Nusantara, di tanah-tanah eksotik Taliabu lalu ke tanah Maluku Utara dan Maluku Kepulauan. Dua buku lainnya adalah Menatap Halaman Timur dan Hore adalah kumpulan foto-foto menarik tentang pelayaran itu, serta sketsa para pelaut.

Pelayaran itu dimulai dari Wakatobi, yang sejak lama telah berkarib dengan semesta maritim, Di tanah itu, kita masih bisa menyaksikan perahu-perahu ramping yang gesit membelah lautan, kapal-kapal kayu berukuran besar yang masih hilir-mudik di lautan, juga bisa bertemu para nakhoda hebat yang bahkan di tengah gelombang raksasa pun masih bisa tersenyum sembari menghisap rokok kretek.

Saya menyukai buku ini karena beberapa sebab. Pertama, buku ini lahir melalui proses yang tidak mudah. Penulisnya mesti mengarungi samudera, melakukan perjalanan, lalu mencatat semua yang disaksikannya di perjalanan itu. Penulisnya menelusuri rute kuno pelayaran orang Buton yang terhenti akibat modernisasi sektor pelayaran. Pelayaran itu ditempuh dengan perahu kecil yang disebut bangka.

Kedua, data-data yang disajikan penulisnya menjadi bernilai karena data itu adalah data first hand reality. Penulisnya tidak sedang mengutip berbagai literatur, melainkan langsung memasuki jantung realitas, mencatat segala hal penting, lalu membagikannya kepada orang banyak.

Kerja itu menjadi begitu bernilai sebab penulisnya sekaligus melakukan ekspedisi, pengamatan terlibat, merasakan langsung bagaimana degup jantung para pelaut saat menyaksikan samudera, mengalami urat nadi lautan yang kadang kala penuh gelora, dan kadang kala tenang saat lembayung senja berarak di kejauhan.

Ketiga, ekspedisi ini menyajikan begitu banyak mutiara-mutiara berharga berupa pengalaman, kesaksian serta perjumpaan budaya. Membaca buku ini saya bisa merasakan bahwa para pelaut Buton datang berperahu ke kawasan timur tidak sekadar berdagang kopra, tapi juga bertukar budaya, menyebar silaturahmi, serta meninggalkan banyak jejak persahabatan. Banyak di antara pelaut itu yang menepi ke darat, lalu menikah dengan warga setempat. Mereka menjadi jangkar dari pertukaran budaya, serta menyisakan jejak-jejak pada jalur pelayaran tradisional itu. Banyak tradisi yang masih bisa dikenali akar kebudayaannya. Buku ini menjadi pintu masuk untuk mengeja kawasan pesisir di timur Indonesia.

rute ekspedisi

Keempat, cara penulisnya menggambarkan keadaan mengingatkan saya pada metode etnografi yang sering ditempuh para antropolog. Cara penulisan di buku ini menempatkan para penulis dan peneliti sebagai pembelajar yang datang ke lapangan untuk menyerap kearifan. Mereka membuang jauh-jauh segala bias dan keangkuhan orang kota dan orang luar, demi satu ikhtiar belajar dari masyarakat yang ditemuinya di perjalanan.

Pada bagian awal, penulisnya menggambarkan ekspedisi itu dibumbui oleh jejak sejarah yakni kelapa, pelayaran rakyat, dan perdagangan antar pulau. Kesemuanya adalah samudera di pelupuk mata perekonomian rakyat di timur Nusantara. Berkat pelayaran dan perdagangan kelapa itu, masyarakat di timur saling bertaut, lalu membentuk sabuk yang mengikat banyak budaya. Laut adalah ruang luas bagi mereka untuk bertegur sapa.

Membaca perjalanan lintas pulau yang bergerak mengikuti jalur perdagangan kopra itu mengingatkan saya pada kerja-kerja Celia Lowe, seorang antropolog asal University of Washington. Dia menulis tentang bagaimana ikan bius diperdagangkan dari Pulau Togean hingga pasar global di Hongkong.

Dalam buku Wild Profusion, Celia menelusuri perjalanan ikan itu serta konflik yang menyertainya. Dimulai dari konflik lokal, ketika suku Bajo menjadi tertuduh di Togean demi melindungi permainan bisnis para cukong yang hendak menyelundupkan ikan hidup itu ke Hongkong. Ternyata perdagangan itu hanya untuk memenuhi mitos keberuntungan orang kaya di pasar global yang percaya mitos bahwa memelihara ikan tertentu bisa membuatnya selalu beruntung.

Buku lain yang senapas dengan itu adalah Ekspedisi Cengkeh yang disusun oleh tim Inninnawa dan Insist. Buku itu menyajikan perjalanan menyusuri cengkeh sebagai komoditas utama yang membuat Nusantara menjadi mutiara yang diperebutkan bangsa Eropa. Keemasan cengkeh tidak seemas nasib para petaninya, yang justru tetap bersahaja. Nasib petani tidak seindah hebatnya kisah perdagangan cengkeh disebabkan permainan sejumlah pengusaha dan elite.




beberapa tampilan halaman dalam

Pada semua buku-buku itu, saya menemukan apa yang disebut George Marcus sebagai multi-sited ethnography, yakni cara untuk menemukan proses global dan memahami interkoneksitas orang-orang dalam proses globalisasi. Metode riset ini bisa membantu kita untuk memahami bagaimana dunia di era yang terus bergerak ini. Orang-orang, ide-ide, dan komoditas tidak lagi terikat pada satu ruang geografis, melainkan terus bergerak. Hanya dengan mengikuti ide, orang, atau komoditas, kita bisa menemukan satu benang merah pengetahuan yang mendalam.

Di era internet ini, ide-ide dipertukarkan dengan cepat dan melampaui batas-batas geografis. Orang-orang juga dengan mudahnya berpindah-pindah, lalu menyisakan jejak di mana-mana. Bahkan komoditas pun dengan mudahnya berpindah antar pulau dan kawasan hanya karena sentuhan jemari yang lalu tersebar ke mana-mana berkat kabel fiber optik. Teknologi tumbuh dengan cepat. Manusia saling terhubung dengan cepat, sesuatu yang sebenarnya telah terjadi di masa silam. Bedanya, kabel fiber optik itu berbentuk perahu, samudera, serta kecakapan seorang nakhoda mengarungi lautan. Pertemuan kebudayaan itu telah terjadi melalui persahabatan di lautan, dialog yang memperkaya pengetahuan, hingga berbagi kebaikan dengan banyak orang di banyak pulau.

Saya menyukai filosofi para pelaut Wakatobi sebelum berlayar, Mereka mengucap syair serupa mantra yang berbunyi bara moturu da’o. Secara harfiah bermakna janganlah kalian moturu (tidur) dan da’o (buruk). Pesan itu bisa ditafsir secara luas. Saat berlayar, berhati-hatilah, kenali cuaca, pelajari arus, pahami karang, pastikan haluan, hadapi bajak laut Terakhir, bawa diri baik-baik di rantau, pulang selamat dan berhasil.

Para pelaut itu mengajarkan satu filosofi: kehidupan itu serupa menjaga keseimbangan perahu dari berbagai gelombang. Di lautan ada banyak gelombang dan ombak yang menjadi karib para pelaut. Mereka yang memahami semua unsur semesta di sekitarnya adalah mereka yang bisa menjaga kemudi demi mengarahkan perahu agar menggapai tujuan.



Kendari, 26 Maret 2017


BACA JUGA:










0 komentar:

Posting Komentar