adegan film Silariang |
BADIK itu telah dihunus. Ujung badik
mengarah ke bawah sebagai pertanda kalau pemiliknya akan segera menikam
seseorang. Ada teriakan yang menyayat-nyayat yang hendak meluruhkan amarah.
Tapi pemilik badik tak juga menyurutkan langkahnya. Ia sedang menegakkan siri’
atau harga diri. Sejurus kemudian, suara nyaring merobek siang di pematang
sawah. Crash.....!
Semalam, saya menyasikan penggalan film
Silariang di Kendari. Tadinya saya tak punya rencana menyaksikan film ini. Tapi
melihat antrian panjang di bioskop itu, kebetulan saya menginap di hotel depannya,
saya pun penasaran. Saya berpikir kalau banyak orang antri menyasikan film itu,
pasti ada sesuatu yang menarik. Minimal ada sesuatu yang menggerakkan orang-orang
untuk datang dan menyaksikannya. Bukan perkara mudah mendatangkan banyak orang
untuk membeli tiket lalu menonton film.
Saya lalu singgah dan menyaksikan poster
dan trailer film. Ternyata film itu dibuat oleh para sineas yang melahirkan
film Uang Panai’. Film ini menjadi fenomena di jagad perfilman
kita. Sebab film itu dibuat oleh rumah produksi lokal, sineasnya lokal, juga
ditonton orang lokal. Tak tanggung-tanggung, film itu ditonton lebih satu juta
orang. Film itu tak hanya ditonton di Makassar, tapi juga kota-kota lain yang
didiami banyak perantau Bugis-Makassar.
Strategi marketing film Uang Panai sangat
tepat yakni menyasar orang Bugis Makassar dan warga kawasan timur. Nah, film
itu bisa membuat para perantau Bugis-Makassar di banyak kota ke bioskop untuk
merasakan nostalgia kampung halaman mereka. Konon, film itu menembus box office
film nasional kita. Jumlah orang Bugis Makassar di seluruh Indonesia
diperkirakan sampai 20 juta orang. Satu persen saja yang menyaksikan film itu,
maka film itu sudah untung besar.
Nah, artinya, sesuatu yang lokal
bisa menjadi tontonan nasional sepanjang dikemas dengan tepat. Lagian, apa sih batasan
lokal dan nasional? Biasanya, orang hanya melihat simpel bahwa nasional itu
identik sama Jakarta. Padahal, kriteria ini bisa diperdebatkan sebab
menunjukkan kuasa dari Jakarta dalam menentukan bangunan bernama budaya pop
Indonesia.
Mengutip Robert Chambers, kita seringkali
mengidap penyakit bias kota. Kita sering beranggapan bahwa segala yang di kota,
segala yang di level nasional, pastilah lebih baik. Padahal belum tentu. Faktanya,
semua daerah juga mereproduksi konen budaya yang memperkaya rumah besar
kebudayaan kita.
Sebagai peneliti, saya sangat
mengapresiasi semua yang berasal dari daerah. Saya melihat film tidak semata
teknik, sinematografi, editing, dan kualitas akting. Saya melihat pesan-pesan
yang hendak disampaikan, serta kekayaan makna yang merupakan khsanah pusaka
milik warga setempat. Saya menyukai lokalitas sebagai sesuatu yang unik, lebih
membumi, dan merepresentasikan kelokalan. Pada titik ini, saya menyukai
kisah-kisah yang digali dari banyak sudut Indonesia.
Film Silariang dibuat dengan napas yang
sama dengan Uang Panai’. Film ini merekam denyut nadi dan jantung keseharian
orang Bugis Makassar. Saya menyukai dialek khas Makassar yang dibuat natural,
tanpa dibuat-buat. Bagi mereka yang lama di Makassar lalu pindah ke kota lain,
pasti merasakan bagaimana lidahnya “terlipat-lipat” dikarenakan harus menyesuaikan
aksen atau logat bicara di kota lain itu. Logat Makassarnya terlanjur melekat. Nah, film ini
menampilkan gaya berbicara sehari-hari khas orang Makassar, lengkap dengan
segala atribut budayanya.
Jujur, ketertarikan saya pada film ini
berawal dari sejumlah nama yang terlihat di poster. Saya mengenal Rere, sang
sutradara. Biarpun saya tak begitu akrab dengannya, saya mengenalinya karena dia
bermain musik bersama teman saya Ferry di kelompok Art2Tonic. Kelompok musik
itu paling unik sebab selalu mengusung tema-tema lokal yang dikemas menarik,
khas anak muda Makassar. Kelompok itu punya kebenarian sekaligus konsistensi
untuk tetap mengusung muatan lokal, merekam budaya keseharian anak muda, dan
menampilkannya secara menarik.
Selain beliau, saya mengenal banyak nama.
Saya tak ingin membahas satu per satu. Saya hanya ingin membahas Syahriar Tato.
Dahulu, saya sering ngopi dengannya di Gedung Kesenian Makassar. Dia sering
memublikasikan puisi-puisi yang dibuatnya saat keliling dunia. Saya tak begitu
menyukai puisinya. Tapi di ranah teater, saya suka penampilannya. Dia pemain
teater yang sangat aktif. Kata orang, profesi aslinya adalah pegawai negeri di
Pemprof Sulsel. Tapi dugaan saya, profesi PNS itu hanya sambilan. Profesi
utamanya adalah pekerja seni.
Kisah Silariang ini terbilang sederhana.
Mengisahkan dendam masa silam, ketika satu keluarga merasa dipemalukan sebab
anak perempuannya bunuh diri karena perbuatan anak keluarga lain. Dengan
mengusung jenazah si anak, keluarga itu lalu datang ke satu pernikahan yang
digelar keluarga lain. Mereka menuding pengantin pria telah berbuat hal yang
mencoreng harga diri. Di hadapan banyak orang, bapak si anak perempuan mecabut
badik lalu menikam si pengantin pria. Ia dianggap menegakkan harga diri yang
terlanjur terkoyak. Bapak si anak lelaki tak berdaya sebab menganggap apa yang
dilakukan bapak perempuan itu memang harus dilakukan, jika dilihat dari tatanan
adat.
Cerita lalu bergeser ke 15 tahun
berikutnya. Ternyata anak-anak dari dua bapak itu menjadi sahabat di kampus.
Mereka saling mencintai. Hubungan itu tak direstui kedua orangtua sebab masih
trauma dengan peristiwa masa silam. Dua insan itu memutuskan untuk lari dari
rumah, atau silariang. Bapak perempuan itu merasa harga drinya terkoyak dan
bertekad untuk membunuh mereka sebab dianggap mempermalukan keluarganya.
Kisahnya cukup seru untuk diikuti.
Kisah itu memang sederhana. Namun, di
kalangan orang Bugis-Makassar, silariang menjdi satu kanalisasi dalam budaya
bagi pasangan yang tak direstui. Biarpun zaman semakin modern, jodoh masih
dianggap sebagai ranah yang ditentukan oleh keluarga di kalangan Bugis
Makassar. Pernikahan bukan saja arena mengukuhkan cinta dua orang, tapi menjadi
arena untuk menghubungkan dua keluarga besar, merevitalisasi hubungan sosial,
sekaligus mereproduksi budaya dan tatanan adat. Makanya, penting bagi satu
keluarga untuk mengetahui silsilah calon keluarga lain, sebelum akhirnya
memutuskan untuk menggelar pernikahan.
Dalam kasus-kasus hubungan yang tak
direstui, silariang menjadi satu kanal dalam budaya, yang dipilih stau
pasangan, namun sangat tak diinginkan oleh dua keluarga besar. Keluarga akan
merasa malu, tercemar harga dirinya, sehingga gengsi dan status sosialnya di
masyarakat bisa turun. Orang Bugis sangat memegang teguh status dan posisi
sosial itu. Makanya, tindakan yang mencemarkan nama baik itu hanya bisa ditebus
dengan kematian. Keluarga yang anaknya lari dari rumah itu pasti akan mencari
anak itu sampai ke ujung dunia, lalu membunuh si anak demi menegakkan siri’
atau harga diri.
Di lihat dari sisi ini, orang Bugis lebih
heroik dari kisah Romeo dan Juliet. Jika Romeo memilih menenggak racun bersama
Juliet, maka pasangan Bugis memilih untuk lari dari rumah dan pindah ke kota
lain, kemudian bersiap menghadapi semua risiko, termasuk kehilangan nyawa.
Semua pasangan yang silariang tahu persis risiko yang akan dihadapi.
Namun, harus dicatat pula bahwa tak semua
kisah silariang berakhir dengan kematian. Saya mendengar banyak kisah Silariang
yang happy ending. Biasanya saat
pasangan itu punya anak, pintu rekonsiliasi akan terbuka. Sebab sekasar dan
sekeras apapun perangai orang Bugis, mereka mudah luluh melihat cucunya. Mereka
tipe penyayang hebat yang siap berkorban apapun demi keluarganya. Mereka bisa
melupakan semua dendam masa silam, saat anaknya datang kembali, memanggilnya “puang”
sebagai panggilan kehormatan bagi bapak, kemudian menunjukkan bayi yang montok
dan ceria. Di titik ini, mereka akan menerima kembali anaknya, meskipun di
hadapan masyarakat akan berpura-pura murka seolah tidak mengakui lagi anaknya.
Di film Silariang, aspek-aspek humanis
yang saya bahas ini hadir di beberapa adegan. Saya suka pada cerita bagaimana
seorang bapak ingin menegakkan harga diri, namun terkalahkan oleh rasa
sayangnya pada anak serta cucu. Saya suka adegan saat bapak, yang diperankan
Syahriar Tato, bersiap membunuh, namun tiba-tiba saja menjadi tak berdaya saat
anak perempuannya keluar lalu berbisik. “Tahan
emosita Puang. Ini cucuta. Kalau mau bunuh, sekalian bunuh saya sama cucuta.
Biar dia nda yatim piatu.” Bapak itu terdiam, mundur, dan pulang ke rumah.
Setiba di rumah, saudaranya berteriak, “Apaji. Biar kita saja yang bunuh.”
Bapak itu menjawab singkat, “Ko belum tahu bagaimana rasanya punya cucu.”
Rere dan para pemeran film |
Sosok lain yang saya sukai di film ini
adalah Mama Ramlah. Dia seorang waria yang membesarkan anak perempuan itu
hingga dewasa. Keberadaan Mama Ramlah menjadi pemanis dalam film sebab
kecentilan dan gayanya menjadi hiburan bagi penonton. Mungkin, kalangan yang
anti LGBT akan benci melihat sosok Ramlah, tapi bagi yang pernah hidup di
masyarakat Bugis pasti akan paham kalau keberadaan waria memang diterima secara
sosial. Mereka menempati posisi khusus sebab merupakan keluarga dekat yang
banyak membantu. Unsur komedi yang dihadirkan Mama Ramlah mengingatkan saya pada
komedian Tumming dan Abu di film Uang Panai.’
Kekurangan yang sangat mencolok dalam
film ini adalah aspek sinematografi yang lemah. Sineasnya perlu belajar
bagaimana komposisi, pergerakan kamera, serta bagaimana membuat gambar yang
natural dan pas. Saya agak terganggu saat adegan di dermaga, tiba-tiba saja
gambar pasangan itu diambil pakai drone yang juga memperlihatkan sutradara, kameramen,
dan barisan kru yang sedang mengambil gambar. Saya sempat ngakak
melihatnya. Akting pemain juga banyak yang tidak maksimal. Beberapa adegan sedih dari
ibunya Ali terasa hambar sebab aktingnya standar. Banyak gambar yang “bocor”
sebab aktornya tersenyum di luar skenario. Bagian yang juga lucu adalah saat si
bapak hendak menikam, tiba-tiba saja pengikutnya berbaris rapi seolah
pengambilan gambar klip lagu rock Malaysia. Ini mau menikam, kok malah
berbaris.
Namun, hal-hal seperti ini yang justru saya
sukai. Saya jenuh menyaksikan televisi dan film-film yang terlampau rapi.
Sedikit menyimpang, tak masalah. Yang jauh lebih penting adalah publik menyukai dan mengapresiasinya. Justru yang
ingin saya saksikan dalam film ini adalah segala sesuatu yang khas Makassar,
dengan segala kelucuan dan ketidaksempurnaannya. Saya percaya bahwa seiring
waktu hal-hal teknis ini akan terus dibenahi.
Yang pasti, film ini sukses membuat saya
duduk menyaksikannya sampai selesai. Saya mengategorikannya sebagai film yang menginspirasi, serta sebagai jendela untuk memahami Bugis-Makassar. Film ini cukup mampu membuat saya merasa
tegang dan menunggu-nunggu penyelesaiannya. Saya menyukai semua dialek dan
percakapan khas orang Makassar. Menyaksikan film ini dengan segala aktor dan
aktrisnya membuat saya bernostalgia banyak hal. Bahkan, saya sibuk
menebak-nebak lokasi pengambilan gambar. Pada beberapa dialog, saya juga kembali
memperbarui canda-canda khas di Makassar sana.
Bagi saya, kriteria film bagus adalah bisa
membuat saya tetap menyaksikan di bioskop, serta menghadirkan perasaan puas
saat meninggalkan gedung pertunjukan. Film ini saya anggap cukup bagus. Beberapa adegan dalam film ini sukses
membuat saya terkenang-kenang hingga keluar bioskop. Gambar paling saya sukai
adalah dua orang saling menikam dengan badik di dalam satu sarung yang sama,
dengan latar belakang air terjun di Malino. Gambarnya keren. Tiba-tiba saya
kangen sama Malino. Ah, betapa rindu saya dengan kota itu.
Bahkan soundtrack
film ini yakni Sajeng Rennu terus mengiang-ngiang di telinga saya. Lagu yang
dahulu sangat baik dinyanyikan oleh Anci La Ricci ini dikemas ulang dengan
menarik, dinyanyikan oleh Ika KDI. Bahkan, sehari setelah menyaksikan film ini,
saya masih saja bersenandung lirih:
Kegani maka utiwi sajang rennu atikku
Eloku sedding ro mate
Na tea lao nyawaku
Notaroa sajang rennu
Naulleku tapakkua
Kemanakah akan kubawa rasa kecewa dihatiku
Ingin rasanya aku mati saja
Namun nyawaku tak mau pergi
Kau biarkan aku dalam kecewa
Teganya kau lakukan itu padaku
Kendari, 5 Maret 2017
BACA JUGA:
7 komentar:
Kenapa hanya silariang ? Anda orang Buton tapi tidak membahas film 'Barakati', tuapa siiy ?
Topik cinta dan semua lika-likunya memang infinit, tak habis meski sudah ditafsirkan berjuta kali.
saya membahas apa2 yang sy lihat. kebetulan saja, sy lg di kendari, trus nonton silariang. andaikan dulu sy nonton Barakati, mungkin akan sy ulas juga. sayangnya, saat Barakati diputar, sy ada di Bogor. trus tak ada bioskop yang tayangkan di situ.
iya. cinta memang topik yang akan selalu dibahas. dari zaman adam sampai zaman kiamat, topik cinta tidak akan pernah mati.
Heh terlalu banyak alasan, borro
Kk yuuuussss.... masa toh ada sa punya teman fb SKO PINTAR skali,,, da coba2 pake akun palsu baru di grup masa hee da bantah2 orang..SOK PINTAR kasihhan..da mau ala ala da kira mungkin sa tdk tau..baru jihe lulusan amerika..na universitasnya jg tdk bagus2 skali nahh..bukannny jie ivy league..SOK PINTARH..sa sdh kasitahu haee dia, jangko coba coba, besok besok karma da balasko itu..SOK PINTAR kasihan, baru hanya sama cewe2 saja da luluh hatinya..calon calon lale, LALE SOK PINTAR + SOMBONH..tanggapan ta pi kk yuuusss
Risna Silondae
Narasinya apik... Membawa pembaca seolah2 sedang menyaksikan adegan.
Posting Komentar