PERBURUAN
itu akhirnya berakhir. Empat buku setebal lebih 500 halaman, serta satu buku
setebal 300-an halaman yang kesemuanya ditulis Profesor Manuel Castells,
akademisi komunikasi negeri Paman Sam, telah memenuhi rak buku di rumah.
Mulanya
saya membaca Communication Power, ternyata malah ketagihan untuk membaca buku
lainnya dari akademisi ini. Saya belum tahu kapan bisa menghabiskan semua buku
ini. Saya jarang membaca buku teks dengan cara runtut, dari awal sampai akhir.
Saya membaca bab-bab tertentu yang saya butuhkan, kemudian membuat
catatan-catatan. Lebih banyak catatan itu yang saya simpan sendiri di buku
harian. Banyak pula yang saya bagikan dengan cara ngobrol dengan para sahabat
yang singgah ke rumah.
Setiap
orang punya cara sendiri untuk mengalami rasa bahagia. Ada yang menemukan
bahagia saat melihat tumpukan uang, ada juga yang merasakannya saat berlibur di
tempat keren. Saya menemukan bahagia itu saat mengamati tumpukan buku yang
semakin sesak di ruang sempit rumah. Bahagia itu akan semakin berlipat-lipat,
saat menemukan nama sendiri di sampulnya. Itu jauh lebih keren dari apapun.
Dengan
melihat judul buku saja, saya selalu merasa senang. Memandang banyak buku
selalu menghadirkan inspirasi, sekaligus rasa penasaran. Dengan melihat judul,
saya langsung memikirkan banyak topik, setelah itu mulai membuka lembar demi
lembar. Bisa membaca tiga lembar saja dari buku teks sudah merupakan kemajuan
besar buat saya.
Belakangan,
memandang buku ini menghadirkan rasa cemburu. Betapa tidak, para akademisi dan
peneliti di negeri sana punya adrenalin menulis setingkat dewa. Mereka
sedemikian produktif dan bisa melahirkan buku-buku setebal ini di tengah
kesibukan mengajar dan meneliti. Saya yakin, buku seperti ini lahir di tengah
iklim membaca yang juga setingkat dewa. Mustahil lahir sintesis ide-ide, tanpa
proses mencari bahan, meracik bumbu gagasan, memasak, lalu menyajikannya dengan
menarik.
Dalam
kelas Falsafah Sains, Prof Endang Suhendang, pengajar senior di kampus IPB,
pernah mengatakan, insan akademis kita serupa pohon pisang. Sekali berbuah,
setelah itu mati. Para intelektual kita hanya sekali menulis buku berupa olahan
dari disertasi, setelah itu merasa puas dengan hanya melahirkan tulisan pendek
untuk koran. Usai mengolah disertasi menjadi buku, karya berikutnya adalah
kumpulan opini. Katanya lagi, ilmuwan asing beda dengan ilmuwan kita. Setelah
riset dan kontemplasi, ilmuwan asing akan melahirkan DALIL, sementara ilmuwan
kita akan melahirkan DALIH.
Saya
yakin dia sedang bercanda. Saya tidak merasa tersindir. Saya bukan akademisi.
Saya hanyalah seorang pengangguran yang sesekali melukis di saat senggang.
Selamat
pagi Indonesia.
0 komentar:
Posting Komentar