KEMATIAN seorang sejarawan bukanlah
kematian yang direspon serentak di berbagai media sosial. Kematian seorang
pencatat peristiwa yang lampau dan nyaris lenyap di ingatan bukanlah kematian
yang ditangisi banyak orang. Bagi banyak orang, kematian itu akan menjadi
ingatan yang perlahan menguap, lalu tenggelam disaput oleh angin sejarah. Beda
halnya dengan kematian seorang pesohor ataupun selebriti.
Saya ingin mengenang seorang guru, seorang
sejarawan, seorang bapak bernama Edward Poelinggomang, yang meninggal beberapa
hari lalu di Makassar. Berita kematiannya sayup terdengar. Tak banyak cuitan
tentang dirinya. Beberapa media mencatat peristiwa itu. Namun, pamornya kalah
dengan apa yang terjadi di Jakarta sana. Bahkan orang-orang Makassar pun lebih
suka bertengkar sengit hingga rela mencabut badik demi membela politisi Jakarta
sana.
Adakah yang merasa kehilangan dengan
kepergian Edward Poelinggomang? Saya mencatat tidak banyak. Di mata saya,
Edward serupa berlian yang tak henti memancarkan kemilaunya. Lelaki ini bisa menjelaskan sejarah Bugis-Makassar dengan begitu detail.
Edward adalah mesin waktu berjalan yang kerap bertualang ke masa lalu kemudian
kembali ke masa kini demi menceritakan penjelajahannya yang sedemikian memukau.
Di tanah Makassar, Edward adalah pencatat
sejarah lalu menyebarkan catatannya hingga berbagai penjuru tanah air, hingga
negeri-negeri jauh. Buku dan tulisannya menyebar luas dan menginspirasi banyak
orang. Publikasinya itu menggema ke banyak titik, menjadi rujukan bagi banyak
peneliti, menjadi sekeping kisah masa silam yang membawa pesan untuk masa kini.
Saya memosisikan Edward setara dengan
sejarawan Anthony Reid. Jika Anthony Reid mencatat perang Makassar sebagai
perang paling mengerikan yang pernah dihadapi VOC di Nusantara, maka Edward
mencatat periode sebelum perang itu sebagai periode paling emas dan gemilang,
yang menempatkan Gowa-Tallo, sebagai kerajaan induk di Makassar, sebagai wilayah yang lebih maju dibandingkan
Singapura di abad ke-19.
Kekaguman saya bertambah saat menyadari
Edward bukan orang Makassar. Dia berasal dari Alor, Nusa Tenggara Timur (NTT).
Akan tetapi dia jauh lebih mengetahui Makassar dibandingkan orang-orang yang di
tubuhnya mengalir darah Makassar. Ia seorang historian by training yang mempelajari teori, metode, serta
kemampuan membaca berbagai dokumen sejarah.
Seorang kawan bercerita bahwa
Edward tak hanya fasih berbahasa Belanda, tapi juga bisa memahami bahasa
Belanda klasik yang digunakan dalam naskah-naskah lama VOC. Justru karena bukan orang Makassar, ia bisa lebih jernih dalam memandang stiap kepingan fakta masa silam.
Atas dasar itu, saya bisa memahami kalau
buku Edward berjudul Makassar Abad ke-19 menjadi buku penting bagi siapapun
yang hendak melihat periode kejayaan. Buku yang digali dari disertasi di salah
satu kampus di Belanda itu menjadi buku penting bagi siapapun yang hendak
menelusuri Makassar pada periode kejayaannya.
Buku itu mengejutkan, khususnya
bagi mereka yang terlanjur berpikir inferior seolah bangsa ini mundur sejak
zaman dahulu.
Sebelum buku itu terbit, Edward sudah hadir
dengan gagasan mengejutkan. Saya mengenali sejarawan ini saat menjadi mahasiswa
Universitas Hasanuddin. Ia mengejutkan nalar saat wawancaranya dimuat di harian
Kompas. Ia mengatakan bahwa perbedaan Bugis dan Makassar hanya ada dalam ruang
imajinasi kita. Ia menyebut perbedaan itu sebagai konstruksi kolonial.
Ia lalu
menjelaskan bagaimana nenek moyang Bugis dan Makassar berasal dari rahim yang
sama, tumbuh dalam peradaban yang selaras, lalu bersama-sama mengukir sejarah
di selatan Celebes hingga banyak negeri di bawah angin timur.
Kata Edward, perbedaan Bugis dan Makassar
itu sengaja dibangun oleh Belanda seusai perang Makassar. Semuanya bermula dari
perang Makassar yang memperhadapkan Sultan Hasanuddin dan Arung Palakka.
Pengikut Hasanuddin disebut orang Makassar, pengikut Arung Palakka, disebut
sebagai orang Bugis. Padahal, realitas sejarah tidak sesederhana itu. Di
pasukan Hasanuddin, banyak yang berbahasa Bugis, demikian pula sebaliknya. Apa
daya, orang-orang lebih suka mencari perbedaan, ketimbang titik-titik
persamaan.
Saat saya menjadi jurnalis di media kampus
di tahun 1999-2000, saya beberapa kali bertemu Edward. Saya malah pernah
diundang di rumahnya, di Perumahan Dosen Unhas, Tamalanrea. Setiap kali ke
rumahnya, ada banyak rasa bercampur aduk di pikiran saya.
Sejarawan, dosen, dan
peneliti kesohor ini hidup di rumah yang sangat sederhana. Ruang tamunya
dipenuhi banyak buku dan kertas-kertas kerja. Komputer yang digunakannya
sehari-hari adalah komputer tua yang sesekali ngadat. Pernah, ia mengeluh
karena beberapa file buku yang dikerjakannya lenyap di komputer itu.
Pada suatu masa, saya pernah mendampingi
Edward sebagai moderator saat peluncuran buku The Bugis karta Christian Pelras
di Gedung PKP Unhas, Makassar. Edward menyebut buku itu serupa berlian bagi pengkaji Bugis-Makassar dikarenakan ruang
lingkup kajiannya yang luas dan kaya. Di masa itu, Edward menjadi komentator
dan penganalisis sejarah yang laris dikontak para jurnalis, baik di Makassar
maupun di ibukota Jakarta.
Pada diri Edward, saya melihat sosok
seorang akademisi tulen yang bekerja dengan data dan riset, serta seorang filosof yang menyatukan semua maknamenjadi kearifan dalam memandang
zaman. Ia mengingatkan siapa saja bahwa dalam sejarah ada banyak pesan, yang
hanya bisa ditemukan dencan cara menyelami pesan itu lalu membawanya ke
permukaan.
Namun, itu masih tak bermakna jika manusia tidak membumikan kearifan
itu dalam berbagai khasanah kehdupan. Hanya dengan cara ini kita bisa terhindar
dari sikap bebal, yang membuat kita selalu saja mengulangi kesalahan sejarah di
masa silam. Tanpa menyerap kearifan itu, kita akan selalu jatuh di lubang yang
sama.
Karya terbaik Edrwad membahas Makassar.
Tapi ia juga menulis banyak topik. Ia tak hanya mendiskusikan bangkit dan
jatuhnya imperium Makassar. Ia juga menulis tentang petani garam di Arungkeke.
Ia juga bisa dengan baik menjelaskan bagaimana sejarah ruko dan restoran di
Makassar berawal dari orang Cina yang datang menetap. Bahkan ia bisa
menjelaskan dengan detail pakaian-pakaian yang dikenakan orang Makassar,
Melayu, Cina, hingga orang Buton di masa itu.
Ia keluar dari anggapan banyak orang bahwa
sejarah itu hanya membahas peristiwa yang besar-besar saja, membahas para raja
dan kaisar, juga membahas isu-isu hebat seperti revolusi dan sejenisnya. Buktinya, ia bisa membahas hal-hal kecil, hal-hal biasa, yang sering dianggap hanya sebagai remah-remah di berbagai buku sejarah. Ia
juga seorang pengkaji ilmu sosial dan ilmu budaya demi memperkuat analisis dan
tafsirannya atas dinamika sejarah.
Dalam satu kesempatan, saya mendengar
Edward berkata, sejarah dan setiap tafsiran masa lalu akan dilihat dengan cara
pandang masa kini. Peristiwa masa silam itu ibarat teks yang tak pernah lepas
dari kepentingan penafsirnya.
Sering orang terjebak dengan kepentingan sempit
lalu memandang sejarah masa lalu dengan cara berpikir yang sempit itu. Sering
pula orang memandang sejarah hanya sebagai rangkaian peristiwa yang saling serupa
kepingan, tanpa ada upaya untuk menautkannya satu per satu. Pada titik ini,
sejarah membutuhkan analisis berbagai disiplin dalam ilmu sosial budaya untuk
mendapatkan gambaran yang jauh lebih holistik.
Saya teringat bacaan tentang sejarawan
Perancis Fernand Braudel. Dalam buku Thomas Burke berjudul The History and Social Science, Braudel menyebut dialog sejarah
dan ilmu sosial itu seperti dialog orang tuli dan orang bisu, sebab tidak
saling mendengarkan.
Sejarah seolah hanya mengurusi hal-hal besar, sedang ilmu
sosial, khususnya antropologi, mengurusi hal-hal kecil. Belakangan, berbagai pendekatan justru saling menginspirasi. Di titik ini, kita
memang membutuhkan para ilmuwan bersahaja sebagaimana Edward. Sebagai
sejarawan, ia bekerja dengan metode yang ketat, namun analisisnya bisa menembus
berbagai sekat disiplin ilmu.
Hari ini, saya mengenang kepergian Edward.
Saya teringat mitologi Yunani yang selalu menempatkan para pahlawan sebagai
salah satu bintang di langit. Saya berharap agar semua guru dan ilmuwan sekelas
Edward juga menjadi bintang yang berpijar abadi di tepian langit sana, memberikan
arahan bagi generasi kini yang mengais-ngais ilmu di bumi, menjadi cahaya yang
menuntun manusia ke arah yang lebih baik.
Di tangan Edward, sejarah adalah
cahaya yang memandu peradaban hari ini agar selalu menyerap kearifan pengetahuan
dari abad-abad silam.
Selamat jalan guru.
1 komentar:
Semoga Pak Edward diterima di tempat terbaik di sisi-Nya, dan semua yang ditinggalkan diberi ketabahan. Saya beruntung pernah membaca buku beliau sebagaimana yang ditampilkan di foto awal postingan ini, hehe. Banyak yang saya teladani dari buku itu, tak hanya sekadar sejarah sebagai historiografi.
Posting Komentar