Suatu Sore Bersama Cak Tarno

Cak Tarno di lapak bukunya

SESEORANG pernah berkata, jangan pernah melihat orang dari penampilan luarnya. Jangan pula menilai orang dari pendidikannya. Di kampus Universitas Indonesia (UI) di Depok, saya mengenal Cak Tarno yang pendidikannya hanya selevel SMP. Siapa sangka, ia bersahabat dengan banyak magister dan doktor bidang ilmu sosial dan humaniora. Tak sekadar bersahabat, Cak Tarno adalah tempat bertanya, tempat berdiskusi, sekaligus ruang untuk mendialogkan semua gagasan.

Cak Tarno mengingatkan saya pada Sangaji, sosok dalam serial Rumah Masa Depan, produksi TVRI tahun 1980-an. Sangaji hanya seorang penjual buku bekas. Namun dalam satu adu kecerdasan para siswa sekolah, kecerdasan Sangaji memukau semua orang. Kecerdasan itu diasah melalui proses belajar tanpa lelah, di sela-sela kegiatan menjual buku bekas. Seperti halnya Sangaji, Cak Tarno juga seorang penjual buku yang membaca buku-buku di sela menunggui pembeli. Cak Tarno berdagang buku-buku bertemakan filsafat, sosiologi, antropologi, hingga ilmu politik dan sastra. Jangan heran jika ia fasih menjelaskan Karl Marx, Pierre Bourdieu, Derrida, hingga Michel Foucault.

Kemarin, saya menghadiri diskusi yang digelar Cak Tarno. Setelah sekian tahun, ini pertama kalinya saya hadir di diskusi yang dahulu sering diadakan di Jalan Sawo. Rupanya, kedai buku miliknya telah pindah ke dalam kampus, tepatnya di Fakultas Ilmu Budaya (FIB) UI. Tempatnya lebih keren, tak jauh dari kantin sastra (kansas), yang menjadi tempat nongkrong anak sastra, kini udah jadi FIB. Saya menghadiri diskusi yang pematerinya adalah sejarawan Sonny Karsono. Selain bertemu Sonny, saya juga bertemu Iqra Anugrah, kandidat doktor di Amerika yang fasih membahas teori politik. Saya juga menyapa Andi Achdian, salah satu sejarawan hebat, yang pernah manjadi asisten dari sejawaran kondang Ong Hok Ham.

Cak Tarno selalu tersenyum menyambut kedatangan saya. Terakhir saya bertemu dengannya adalah beberapa bulan lalu saat seminar internasional antropologi. Entah kenapa, setiap kali bertemu, ia akan membahas filsuf Jurgen Habermas. Dipikirnya saya pernah menulis tentang Habermas. Saya sendiri lupa apa pernah menulisnya atau tidak. Satu lagi, ia akan bertanya kapan saya bersedia membawakan materi di lapaknya. Saya selalu menggeleng. Saya minder saat menyadari banyak orang hebat yang sering ikut diskusi di tempatnya. Saya mah apa atuh.

Berada di kedai Cak Tarno, saya mengenang banyak hal. Sejak dulu sampai sekarang, Cak Tarno masih menjadi magnet bagi para magister dan doktor. Mereka yang mengaku pernah belajar di kampus UI Depok, khususnya Fisip maupun FIB UI, pastilah mengenalnya. Dia bukanlah intelektual dengan sederet gelar terpandang dan mewah. Dia hanya seorang penjual buku bertema ilmu sosial dan humaniora. Tak sekadar menjual buku, ia memahami dengan baik isi buku, serta kerap mendiskusikannya. Malah, setiap Sabtu, ia menggelar diskusi rutin yang menghadirkan banyak pakar di bidangnya.

Saya mengenal Cak Tarno saat menjadi mahasiswa di kampus UI tahun 2006 silam. Saat itu, saya membutuhkan beberapa buku untuk mendukung riset saya mengenai kaitan antara ingatan-ingatan traumatik dengan antropologi dan sejarah. Sahabat saya Diah Laksmi menyarankan untuk singgah ke kios buku milik Cak Tarno. Saat singgah, ternyata di situ sedang ada diskusi yang menghadirkan banyak anak muda di kampus UI. Saya larut dalam diskusi yang menarik itu.

Kisah hidup Cak Tarno juga cukup unik. Ia lahir dan besar di keluarga petani di Mojokerto, Jawa Timur. Tamat SMP, ia tak melanjutkan sekolah. Penghasilan sebagai buruh tani tak seberapa. Dia lalu menjadi kenek bangunan. Pada usia 25 tahun, ia hijrah ke Jakarta, dan bekerja di salah satu agen buku di sekitar kampus UI, Depok. Setahun ikut temannya, ia memberanikan diri untuk ikut mendirikan lapak buku sendiri. Ia menyusuri lapak penjual buku bekas di Jakarta lalu membawanya ke lapak bukunya untuk dijual kembali.

Ia mencari tema-tema yang tidak biasa, hingga akhirnya focus pada tema ilmu sosial dan humaniora. Memang, pasar pembaca bukunya sempit, akan tetapi pasarnya terkenal ada dan rutin membeli buku. Tak cukup hanya menjual buku, ia pun membacanya. Setiap kali ada yang hendak membeli buku, ia akan menjelaskan isi buku lalu merekomendasikan buku lain yang sejenis Strategi marketing itu efektif. Orang-orang akan betah di lapak bukunya. Malah, orang-orang membuat diskusi di lapak buku itu.

Mungkin niat Cak Tarno adalah memasarkan buku. Pendekatannya bisa saja dilihat sebagai strategi pemasaran. Siapa sangka, melalui pendekatan itu, ia menjadi soerang pembaca yang handal. Ia menuntaskan banyak buku demi melayani diskusi yang levelnya kian berat. Jadilah dirinya sosok dengan keahlian serupa professor, yang tidak pernah mengenyam bangku pendidikan tinggi.

Berbincang dengannya serasa berbincang dengan seorang profesor. Pengetahuannya sering melampaui buku yang dibacanya. Dia tahu betul isi buku, serta keterbatasan pendekatan dalam buku itu. Jika tak diberitahu Diah tentang latar belakang Cak Tarno, saya akan mengira dirinya adalah mahasiswa program doktoral di bidang filsafat. Dia ibarat matahari yang dikitari banyak planet, yakni mahasiswa dan pencari ilmu. Kedai buku yang dikelolanya menjadi sarana bagi mahasiswa untuk menemukan bacaan alternatif di ranah sosial dan humaniora.

Tak cukup mengelola kedai buku, ia membentuk komunitas. Para peserta diskusi rutin di setiap Sabtu lalu membentuk komunitas. Semasa kuliah tahun 2006-2009, saya sering menghadiri diskusinya. Cak Tarno mengundang pemateri. Dia pun memperbanyak makalah, yang merupakan syarat wajib bagi semua pemateri di situ. Malah, dia pun yang ikut menyediakan kopi bagi para mahasiswa yang datang. Tidak heran jika semua anggota kelompok diskusi itu sepakat menjadikan nama Cak Tarno sebagai ikon. Terbentuklah komunitas bernama Cak Tarno Institute.

Banyak pemateri hebat adalah pakar di bidangnya. Saya mencatat beberapa nama yang pernah menjadi pemateri adalah Dr. Donny Gahral Adian, Dr Bagus Takwin, Dr Akhyar Yusuf Lubis, Ahmad Syafiq PhD, Prof Thamrin Amal Tamagola, dan Prof Deddy Nur Hidayat. Malah, kedai Cak Tarno juga beberapa kali dikunjungi artis Dian Sastrowardoyo semasa dia menjadi mahasiswa Filsafat UI. Selama 11 tahun komunitas itu berdiri, pemateri dan pengunjung yang hadir pastinya beragam. Cak Tarno masih setia mengawal komunitas itu.

Ibarat menanam, Cak Tarno mulai memanen apa yang ditanamnya. Kemampuannya menghancurkan batas pengetahuan antara mereka yang sekolah dan tidak sekolah menjadi inspirasi di mana-mana. Beberapa media telah meliput dirinya. Kini, ia diterima semua kalangan mahasiswa. Di dalam kampus pun, kedainya disinggahi banyak pengajar bergelar profesor. Malah, ia pernah diminta Prof Sarlito (alm) untuk membawakan materi dalam diskusi di Fakultas Psikologi UI. Bayangkan, ia menguliahi para cendekia di universitas terbaik Indonesia. Namun buah termanis yang dipanennya adalah pengetahuan serta persahabatan dengan banyak kalangan. 

Kemarin, saya menghadiri diskusi di Cak Tarno. Saya pun singgah melihat-lihat buku di lapaknya. Buku paling tebal adalah Sejarah Estetika yang ditulis Martin Suryajaya, anak muda cemerlang yang amat produktif. Lama melihat-lihat, saya memutuskan untuk membeli buku sastra Raden Mandasia yang ditulis Yusi Avianto Pareanom. Saat hendak pamit, kembali dia bertanya, “Kapan bisa bawa materi di diskusi sabtuan?”

Gak ah. Biar saya jadi peserta aja.



Bogor, 26 Februari 2017

0 komentar:

Posting Komentar