Saat Habib RIZIEQ Gantikan PRABOWO



PENULIS Simon Philpott dalam buku Meruntuhkan Indonesia: Politik Postkolonial dan Otoritarianisme mengatakan: dunia politik Indonesia laksana kuburan bagi para pengamat dan ilmuwan yang tekun mengamatinya. Banyak asumsi dan prediksi yang kemudian tidak terbukti realitasnya. Banyak pula hal-hal baru yang tiba-tiba memotong di tengah jalan, lalu mengambil alih kendali wacana politik.

Pendapat Philpott sangat tepat untuk memotret dinamika kekinian. Lima tahun silam, adakah yang bisa memperkirakan Joko Widodo, yang menjabat sebagai walikota Solo, lalu menjadi Gubernur DKI, kemudian sukses menjadi Presiden Indonesia? Kini, kita juga bisa mengajukan pertanyaan lain. Adakah yang pernah memprediksi bahwa Habieb Rizieq akan menjadi tokoh oposisi nomor satu, yang menenggelamkan semua tokoh lain, termasuk Prabowo Subianto?

Politik kita berjalan laksana pendulum yang sukar ditebak ke mana arahnya. Para politisi ibarat berjalan di atas lintasan yang dengan segera bisa berbalik arah tanpa ada aba-aba pendahuluan. Politik kita bergerak zig-zag, dengan pola yang kerap sukar diprediksi.

Tiga tahun lalu, seusai pemilihan presiden, politik Indonesia terbelah dalam dua kubu yakni Koalisi Indonesia Hebat (KIH) dan Koalisi Merah Putih (KMP). KIH sukses menaikkan Jokowi sebagai presiden dalam ajang pemilihan presiden yang paling seru. Tokoh-tokoh politik KIH mengambil risiko dengan mendorong Jokowi, figur baru yang dianggap belum banyak pengalaman di ajang politik paling besar negeri ini.

Sebaliknya, KMP berkomitmen untuk menjadi pengimbang di pemerintahan. Meskipun gagal menaikkan figurnya Prabowo Subianto ke tampuk kekuasaan, KMP tumbuh menjadi kekuatan politik baru. Komitmen antar partai dibangun untuk tujuan jangka panjang. Mulanya, kekuatan politik ini diyakini akan sukses menjadi pengimbang, bahkan diyakini bisa menjatuhkan Presiden Jokowi. Modal politiknya adalah posisi pimpinan di parlemen, termasuk pimpinan komisi.

Seiring waktu, KMP ibarat mobil balap yang kehabisan bensin. Rezim Jokowi bergerak lebih cepat. Satu demi satu pendukung KMP menarik diri lalu bergabung dengan pemerintah. Rezim ini tahu persis bagaimana menjinakkan mereka yang berseberangan. Rezim ini bisa memetakan apa yang harus dtawarkan, lalu bagaimana menyiapkan satu palagan yang telah terkunci di mana-mana. Satu demi satu kekuatan oposisi digerogoti hingga akhirnya membuat KMP bubar perlahan-lahan.

Puncaknya adalah Prabowo Subianto, yang tadinya dianggap sebagai sosok kunci yang bisa menjadi juru selamat Indonesia, sosok yang dianggap seagai ksatria dan dirigen bagi irama pergerakan KMP, perlahan suaranya melempem. Sorak-sorai pendukung yang menahbiskan dirinya sebagai macan asia tiba-tiba saja kehilangan auman saat Presiden Jokowi menemui Prabowo dan mengajaknya berdamai. Dengan membawa tema-tema kebangsaan dan keindonesiaan, Jokowi dan Prabowo lalu saling membangun simpul dan menyatakan sikap bersama-sama. Tak ada lagi istilah oposisi

***

POLITIK kita juga menyimpan dua lain realitas yakni dunia atas dan dunia bawah. Dunia atas yang dimaksudkan adalah dunia yang dihuni para politisi, yang saling berkontestasi di ruang-ruang parlemen, kebijakan, maupun lembaga politik. Inilah dunianya para politisi yang saling sikut, namun bisa berada dalam satu gelak tawa dan canda riang sembari mengamati tayangan media massa. Di dunia atas, para politisi bisa saling mengucapkan ikrar damai dan menganggap bahwa semuanya baik-baik saja. Namun tidak dengan dunia bawah.

Sejak era reformasi, dunia bawah selalu hiruk-pikuk, penuh kegaduhan, dan penuh konflik. Dunia bawah yang dimaksudkan adalah dunianya rakyat biasa, suporter, pendukung, publik, massa, ataupun para suporter. Jika di era sebelumnya, publik hanya menjadi obyek yang menjadi sasaran, maka pasca-reformasi, mereka adalah bagian penting dari perpolitikan kita.

Nah, dalam konteks politik kita hari ini, massa pendukung KMP yang dahulu berkiblat pada Prabowo Subianto, ibarat anak ayam kehilangan induk. Di masa pilpres, mereka terlibat dalam berbagai tengkar dan debat di dunia maya, maupun dunia nyata demi membela Prabowo dan menjatuhkan Jokowi. Dalam bayangan mereka, semua yang dilakukan Jokowi pasti salah sehingga harus dikrtik, dipertanyakan, lalu digugat.

Seusai pilres, mereka membayangkan Prabowo akan tetap memimpin sikap kaum oposisi yang ingin melihat pemerintahan lebih baik. Para pendukungnya tidak menyadari bahwa Prabowo Subianto jauh lebih bijak ketimbang mereka yang hanya bisa melihat celah dari rezim. Prabowo melihat kepentingan yang lebih besar yakni bagaimana menjaga marwah pemerintahan ini tetap tegak, sembari menyiapkan kekuatan perlahan-lahan untuk maju dalam arena politik selanjutnya.

Para pendukung yang kecewa ini ibarat air yang lalu mencari kanal-kanal baru untuk bergerak. Saat mereka menyaksikan pendukung Jokowi beramai-ramai mendukung Ahok, mereka lalu mencari kubu yang menjadi anti-tesis Ahok. Sejak Ahok menyatakan maju dalam pilkada, segala argumentasi telah ditebar untuk menjatuhkannya.

Puncaknya adalah muncul isu penistaan agama, yang dimulai dari postingan Buni Yani. Indonesia seolah masuk dalam pusaran konflik. Berbagai demonstrasi mulai hadir hingga mengumpulkan massa yang besar. Dalam aksi-aksi besar yang terorganisir rapi ini, para pendukung Prabowo lalu mencari figur lain yang bisa menjadi tokoh perekat. Di titik ini, Prabowo tidak bisa menjadi sosok pahlawan dari mereka yang menginginkan ada kecaman dan palu goam kepada pemerintah. Mereka membutuhkan sosok lain yang berani tampil garang kepada pemerintah.
Mereka membutuhkan sosok Habieb Rizieq, yang dalam rezim sebelumnya justru tak pernah tersorot kamera, tiba-tiba menjadi pemimpin dari kekuatan besar. Rizieq menjadi simpul dari berbagai kekuatan yang mengatasnamakan Islam lalu membangun sikap berseberangan dengan pemerintah.

Rizieq ibarat penyambung lidah bagi mereka yang hendak beroposisi.

***

BARANGKALI, Majalah Tempo yang pertama menulis bahwa kebanyakan pendukung Rizieq dan pengecam Ahok adalah mereka yang dahulu menjadi pendukung Prabowo. Memang, ada juga yang mengecam Ahok karena isu agama, namun riset SMRC menunjukkan bahwa 80 persen masyarakat justru tidak tahu secara persis apa yang diucapkan Ahok hingga dianggap menistakan agama. Dengan kata lain, kebanyakan para pendukung Rizieq bergerak karena mobilisasi serta pengendalian wacana yang dilakukan melalui media sosial.

Rizieq menjadi ikon baru dari keberanian menentang pemerintah. Para pengkaji politik harus memasukkan Rizieq sebagai sosok penting dan ikon pergerakan Islam di abad ke-21. Dari sisi politik, Rizieq mendapat limpahan pendukung yang semakin besar, yang merasa tidak bisa lagi menyalurkan aspirasinya kepada Prabowo. Dengan kemampuannya menyitir pesan keagamaan, Rizieq menjadi simpul dari gerakan massa berbasis agama yang sempat menjadi pengendali wacana di berbagai media. Kekuatan Rizieq adalah dukungan besar yang didapatnya dengan modal kutap-kutip pesan agama, demi memuluskan beberapa tujuannya.

Dia memainkan kartu oposisi, yang dahulu sukses dimainkan Gus Dur pada masa Orde Baru. Namun, apakah Rizieq akan sesukses Gus Dur hingga melesat ke kursi nomor satu negeri ini? Tunggu dulu.

Saya percaya bahwa dunia atas dan dunia bawah politik kita punya langgam budaya berbeda. Gudykunst (1992) membagi komunikasi dalam konteks tinggi dan konteks rendah. Konteks tinggi adalah budaya komunikasi yang cenderung hati-hati, penuh kata-kata bersayap, serta nampak damai dan aman, namun menyisipkan banyak seknario di belakangnya. Sedangkan konteks rendah adalah bicara terbuka, lepas, tanpa harus menutupi sesuatu. Konteks rendah menuntut seseorang untuk menyampaikan maksud secara terbuka, termasuk emosi, dan kemarahan.

Sejauh yang saya lihat, domain dan pengalaman Rizieq berada dalam konteks rendah. Ia bisa garang saat pidato, saat menggerebek diskotik, hingga saat mengeluarkan kecaman dan makian. Namun ia akan serba gagap saat memasuki dunia konteks tinggi, di mana dibutuhkan kemampuan diplomasi, membangun jejaring, lalu menjebak semua lawan politik dengan cara yang elegan. Saat diajak masuk dalam budaya yang penuh dengan argumentasi dan silang argumen, ia bisa mengalami shock culture sebab selama ini dirinya adalah karakter orator jalanan yang terbiasa berbicara terbuka, tanpa ada sensor.

Boleh jadi, dorongan untuk memasuki konteks tinggi itulah yang membuat dirinya penuh dengan celah untuk dijerat hukum. Di dalam dunia konteks rendah yang selama ini dijalaninya, mengecam dan memaki saat aksi adalah hal yang biasa dan lumrah-lumrah saja. Dia bisa saja memerkarakan orang lain atas tuduhan bicara kasar namun hukum ibarat bumerang yang akan berbalik menghantam dirinya. Sebab dirinya juga sosok yang bicara terbuka, tanpa sensor, tanpa etika. Namun dalam dunia konteks tinggi, dia akan berhadapan dengan argumentasi, debat, serta sanggahan. Dia harus bersiap menghadapi pengadilan sebagai medium untuk berdebat dan saling pembuktian. Di titik ini, ia penuh celah dan lubang sana-sini.

Seberapa kuat Rizieq bertahan dari bumerang hukum? Waktu yang akan menjawab semuanya. Setidaknya dia masih punya kekuatan yakni mentransformasi dirinya sebagai representasi Islam. Dengan cara demikian, banyak yang rela menjadi martir untuknya. Yang pasti, kita menyaksikan Habib Rizieq yang tadinya berada di tepian arus politik, kini berada di tengah-tengah. Bahkan ia telah menenggelamkan para oposisi lain, termasuk Prabowo.


23 Januari 2017



1 komentar:

Anonim mengatakan...

Habib Rizieq itu udah Dr dl om melawan ketidakadilan br sekarang aja ke exposed, cb cek pidato beliau "simposium" ttg PKI d YouTube tentu beliau ga sekedar orator jalanan. Beliau hanya menyesuaikan bahasa dengan level audience. Cek jg wawancara terakhir wawancara wartawan dengan beliau seputar pancasila, lebih mirip habib rizieq memberi kuliah seputar pancasila dibanding wawancara.

Posting Komentar