Pulau Bokori, sebagaimana dilihat dari atas |
BELUM lama mengenalnya, perempuan itu
mengajak ke Pulau Bokori, yang bisa ditempuh sepeminuman teh dari daratan
Kendari. Di pulau kecil yang dahulunya tak terurus itu, saya menyaksikan banyak
hal yang berubah. Pulau ini tak ditakdirkan sebagai pulau indah, namun melalui
sentuhan pemerintah daerah, pulau itu bersalin dan ditata hingga jadi obyek
wisata kelas dunia.
Saat memotret perempuan itu di pasir
putih, dalam bayang-bayang matahari yang beranjak naik, saya melihat banyak
kenyataan yang tak terungkap. Saya serasa menyaksikan legenda suku Bajo yang
hidup menyatu dengan lautan, merasakan urat nadi mereka yang membelah lautan
dengan perahunya,
***
MATAHARI dan samudera ibarat dua kekasih
yang saling bertatapan. Di pagi hari, matahari mengirimkan cahaya lembut yang
membelai samudera. Lautan biru serupa kaca yang tembus hingga dasar. Lautan
membiaskan warna biru sebagai pantulan atas kelembutan langit. Laut dan langit
adalah dua kekasih yang saling menyapa.
Saya menaiki perahu kecil yang meluncur
menuju Pulau Bokori. Dari Kota Kendari, saya menuju Kecamatan Soropia. Dari
sini, saya hanya butuh waktu sekitar 15 menit untuk menjangkau pulau yang
digadang-gadang Pemerintah Provinsi Sulawesi Tenggara sebagai salah satu destinasi
wisata kelas dunia.
Mereka yang pernah ke Kendari lima tahun
silam, pastilah tak membayangkan ada pulau seindah Bokori. Pulau ini mulai
dikembangkan dalam dua tahun ini. Pemerintah membenahi pulau yang awalnya tak
terurus itu. Pada mulanya Bokori hanyalah pulau bakau yang berlumpur.
Pemerintah lalu membersihkan pulau, mengisinya kembali dengan pasir putih,
membangun berbagai fasilitas cottage, dermaga, paviliun, hingga berbagai kanopi
untuk memandang laut.
Saya menaiki perahu itu bersama perempuan yang
saya temui di satu hiburan. Dipikirnya saya seorang fotografer profesional yang
piawai memotret perempuan hingga memancar semua kecantikannya. Saya menyanggupi
ajakan memotretnya. Namun saya tak setuju saat ia meminta untuk dipotret dalam
busana seksi. Saya tipe pemotret amatiran yang saat memotret obyek, maka segala
hal di sekitar tiba-tiba lenyap. Ah, saya tak ingin konsentrasi terganggu saat
melihatnya berbusana seksi.
Bokori ibarat gadis yang sekian lama
dipingit di kampung halaman, kemudian memasuki salon lalu dirias secantik
mungkin. Wajah asli yang berlumpur dan penuh bakau itu kini diganti dnegan
kosmetik baru berupa pasir putih, pohon kelapa, dan villa-villa. Visualisasi
topografinya unik. Pulau ini bisa dikelilingi dalam waktu sejam. Tepian pulau
penuh dengan pasir putih.
Pemerintah Sulawesi Tenggara tak main-main
untuk mengembangkan Bokori. Tak kurang dari miliaran APBD provinsi telah
dikucurkan untuk membenahi pulau ini. Provinsi ini hendak mengejar mimpi
sebagai pemilik banyak destinasi wisata laut kelas dunia. Setelah dalam
beberapa tahun ini Wakatobi sukses menjadi arena wisata alam yang tersohor,
kini giliran Bokori yang hendak dikemas.
Saya beruntung karena dalam dua tahun
terakhir, saya telah mengunjungi banyak pulau-pulau indah. Pernah saya
berkunjung ke Raja Ampat di Papua Barat, Gili Sudak di Lombok, Pulau Derawan di
Kalimantan Timur, Pulau Simeulue di Aceh, hingga Kepulauan Wakatobi. Namun
Bokori tidak serupa dengan tempat-tempat wisata itu. Jika pulau-pulau lain adaah
keping surga indah yang dilepas ke bumi oleh Yang Maha Indah dalam satu
skenario proses alam, maka Bokori adalah pulau kecil yang dikemas, ditata, dan
di-branding ulang.
***
BAPAK itu bernama Hasan. Dia adalah
pengemudi perahu yang membawa saya ke Bokori. Dia mengaku berasal dari suku
Bajo, satu suku bangsa yang tersebar di banyak pesisir Sulawesi Selatan dan
Tenggara. Bagi seorang warga Suku bajo seperti Hasan, lautan ibarat ibu yang
menyediakan semua kebutuhan. Makanya, orang-orang Bajo tak pernah mau berumah
di daratan. Mereka mendiami pesisir, mengembangkan budaya di situ,
berkarib-karib dengan semua gelombang laut.
Kata Hasan, dahulu Bokori adalah tempat
orang Bajo berdiam. Pada pertengahan tahun 1980-an, pemerintah provinsi di
bawah kepemimpinan Gubernur Haji Alala, memindahkan semua penduduk Bajo di
Bokori ke daratan luas Kendari. Alasannya, Bokori terancam abrasi dan bisa
membahayakan bagi warga. Orang-orang Bajo itu kini berdiam di lima desa yang
masuk dalam wilayah Kecamatan Soronipa yaitu Desa Leppe, Desa Bajo Indah, Desa
Mekar, Desa Bajoe dan Desa Bokori.
Warga setempat memprotes pemindahan itu. “Waktu
itu banyak yang menentang. Alasannya karena nanti tidak bisa hidup di daratan.
Tapi begitu melihat hidup di daratan lebih menjanjikan, mereka pun berbondong-bondong
untuk pindah,” katanya.
Boleh jadi, alasan abrasi itu tak terlalu
tepat. Buktinya, pada era Gubernur Laode Kaimuddin, Bokori dikembangkan menjadi
obyek wisata. Pemerintah menanam pohon-pohon, serta membangun villa. Sayang,
pengembangan itu terhenti sehingga Bokori menjadi pulau kosong.
Mungkin, di tahun 1980-an, pemerintah
menyebar hoax ke warga tentang kondisi pulau. Warga yang belum menyadari bahwa
pulaunya adalah surga menyingkir ke daratan. Saya membayangkan warga asli Bokori
hanya bisa memandang pulau itu dengan nanar. Mungkin saja mereka membayangkan
masih menjadi pemilik pulau itu. Kini, berbagai manusia, yang menyebut dirinya
wisatawan, datang ke pulau itu lalu menjelajahi semua lekuk pulau.
Penuturan Hasan membuat saya tercenung.
Setelah mengelilingi pulau ini, saya merasakan banyak yang hilang. Memang,
infrastruktur pulau ini cukup lengkap dan memenuhi standar destinasi wisata.
Tapi saya merasa kehilangan interaksi dengan warga lokal sebagai salah satu
jantung kegiatan wisata. Saya ingin mengulangi kenangan saat berbincang dengan
ibu-ibu suku Bajo di Pulau Derawan saat mereka sedang menjemur ikan di tepian
pasir putih. Saya ingin sekali mengulangi keriangan saat mendayung di atas
perahu koli-koli bersama anak-anak di Wakatobi.
Bagi saya, berkunjung ke lokasi wisata
bukan sekadar melihat obyek, memotret dan pulang. Saya menyenangi
pertempaun-pertemuan dengan manusia-manusia di lokasi wisata, merasakan denyut
jantung mereka yang hidup di pesisir, menikmati keceriaan warga setempat yang seringkali
terheran-heran mengapa ada orang yang siap menghabiskan jutaan rupiah demi
mendatangi kampung halamannya.
Yang tersaji di Bokori adalah pulau wisata
yang tanpa penghuni. Tak ada ada budaya warga setempat. Tak ada pemandangan
bapak tua yang sedang memahat perahu. Tak ada anak belia yang penuh keberanian
saat mengemudikan perahu lalu menyelam ke dasar laut demi mengambil mutiara. Tak ada syair, legenda, mitos, dongeng, dan
mantra-mantra lautan yang membuat setiap adrenalin penjelajahan mencapai titik
puncak.
Di Pulau Bokori, saya merasa sunyi di
tengah sorak-sorai orang bergembira.
***
SAYA masih duduk di pasir putih saat
memandang Kendari dari kejauhan. Saya cukup lelah berkeliling. Saya ingin
menikmati pagi yang cahayanya temaram di tengah sepoi-sepoi angin yang berderai
di pesisir pantai.
Satu suara lembut membuyarkan lamunan
saya. “Abang, apa pemotretan sudah bisa dimulai?” Perempuan itu datang ke
hadapan saya dengan mengenakan kain pantai yang panjang. Ia serupa pramugari
maskapai singa yang membiarkan kaki indahnya menyembul di tengah kain panjang.
Di bahagian atas, ia berpakaian amat minim. Dadanya ditutup secarik kain yang
talinya mengikat di belakang lehernya. Ia tak malu berpakaian seksi di hadapan
saya.
Di sini, di belakang kamera, saya tak
sanggup menatap ke depan. Saya memilih untuk menundukkan pandangan.
Kendari, 19 Februari 2017
BACA JUGA:
2 komentar:
Kapan ya bisa kepulau ini, harus banyak nabung lagi :(
View di bokori cakep2 👌👌 like it
Posting Komentar