SETIAP
kali ada film baru yang dibintangi Jackie Chan, saya tidak ingin melewatkannya.
Pada film yang dibintangi Jackie Chan, saya selalu merasa terhibur. Saya
menikmati adegan perkelahian yang dikemas dalam suasana penuh komedi. Saya
menyenangi penataan adegan demi adegan yang dibuat kocak sehingga penonton
selalu betah mengikutinya.
Kemarin,
saya menyaksikan film terbarunya yang berjudul Railroad Tigers.
Film ini menyajikan kepingan nasionalisme dari sejumlah kuli angkut kereta api,
yang punya obsesi untuk melakukan hal-hal besar bagi negeri Cina, yang saat itu
dikuasai Jepang. Para warga biasa, yang bekerja di kereta api itu, menyabung
nyawa demi satu misi besar yakni meledakkan jembatan.
Jika
film ini hendak diperlakukan sebagai cermin, ada banyak realita yang
bersesuaian dengan apa yang terjadi di tanah air ini. Apakah gerangan?
***
NAMANYA
Ma Yuan. Dia seorang pekerja di stasiun kereta api. Ia adalah kuli angkut
barang-barang milik penumpang. Dia punya banyak anak buah yang patuh pada
perintahnya. Dia juga seorang ayah dari anak perempuan yang memendam dendam
pada Jepang karena kematian banyak anggota keluarganya.
Tak
sekadar kuli angkut, Ma Yuan juga menjadi kerikil di sepatu para penjajah
Jepang. Bersama kelompok kecilnya, ia menjadi seseorang bertopeng yang
menyabotase kereta tentara Jepang, lalu mencuri banyak bahan makanan dan
peralatan militer.
Pada
masa itu, tahun 1941, Jepang menguasai Cina, lalu berkehendak untuk melebarkan
kuasanya ke Asia Tenggara. Jalur kereta yang membentang dari Tianjin hingga
Nanjing yang terletak di timur Tiongkok menjadi rute transportasi militer
terpenting yang dijaga oleh pasukan tentara Jepang. Jalur itu menjadi urat nadi
yang mengantarkan bahan makanan dan peralatan tempur demi mendukung misi
tentara Jepang.
Di
jalur itu, Ma Yuan sering melakukan sabotase. Dia dan kelompoknya hanya berniat
mengambil bahan makanan lalu membagikannya ke warga desa sekitar. Mereka tak pernah
membunuh. Tentara Jepang yang dirampok dipukuli hingga pingsan, ditelanjangi,
digambari gambar lucu di badannya.
Saat
kereta itu sandar di kota terdekat, kehebohan akan terjadi. Murka terpantik di
wajah militer Jepang, yang lalu berniat untuk mencari tahu siapa pelakunya. Tak
disangka, pelakunya adalah para pekerja kereta di stasiun itu.
Suatu
hari, pekarangan rumah Ma Yuan dimasuki seorang prajurit Cina yang terluka. Ma
Yuan lalu menyembunyikan prajurit itu di rumahnya. Bahkan saat militer Jepang
datang mencarinya, prajurit itu tak ditemukan. Babak baru dimulai saat prajurit
itu bercerita tentang misinya yang hendak menghancurkan jembatan, yang sering
dilalui logistik tempur Jepang.
Sebagai
warga biasa, Ma Yuan tidak terlalu paham apa tujuan prajurit itu. Tapi ia punya
bara kebencian pada Jepang. Saat mengantar prajurit itu pergi, nahas datang
menyapa. Prajurit itu tewas ditembak militer Jepang. Namun, prajurit itu masih
sempat meminta Ma Yuan untuk meneruskan misinya yakni meledakkan jembatan itu.
Prajurit Cina itu masih sempat membisikkan kalimat yang lalu mengganggu Ma
Yuan. Kalimat itu berbunyi, “Apakah kamu pernah melakukan hal besar dalam
hidupmu?”
Bersama
kelompoknya, Ma Yuan lalu meneruskan misi itu. Dengan jumlah sedikit, mereka
memorakporandakan militer Jepang. Mereka bertarung dengan gagah berani hingga
titik darah penghabisan. Mereka berkali, menyabung nyawa, dan ikut dalam aksi
tembak menembak di kereta, yang disabotase, lalu diledakkan di tengah jembatan.
Adegan
paling heroik adalah saat Ma Yuan berhasil melingkarkan dinamit ke pilar
jembatan lalu meledakkannya. Ia tersenyum saat dinamit itu meledak lalu
meruntuhkan pilar-pilar jembatan. Di kejauhan, warga desa menyaksikan jembatan
itu runtuh dengan mata berkaca-kaca saat membayangkan nasib Ma Yuan.
***
INI
bukan film Jackie Chan terbaik yang saya tonton. Meskipun di dalamnya ada
banyak kelucuan, saya merasa fim ini agak hambar. Beberapa humor sudah saya
saksikan dalam banyak film lainnya. Entah kenapa, dalam beberapa film
terakhirnya, saya tak menemukan satu lawan sepadan Jackie Chan dalam hal bela
diri. Makanya, Jackie seolah bermain sendirian melawan kerumunan massa.
Di
luar aspek itu, saya suka perspektif film ini yang mengangkat sekeping sejarah
dari orang biasa. Film ini megajak kita untuk melihat hal-hal biasa yang
dilakukan orang biasa di sekitar kita. Barangkali mereka tak tercatat di buku
sejarah, tapi mereka punya peran besar yang bisa membuat satu bangsa tetap
eksis hingga kini.
Sosok
Ma Yuan mengingatkan saya pada sosok Muhammad Toha (1927-1946). Sosok ini
dikenal sebagai orang yang berhasil meledakkan gudang mesiu milik tentara
sekutu di Bandung. Ia tewas dalam satu ledakan besar yang lalu menghanguskan
kota Bandung. Peristiwa besar itu dicatat sejarah sebagai peristiwa Bandung
Lautan Api.
Toha
bergabung dalam milisi pejuang yang aktif dalam perang kemerdekaan. Ia pernah
belajar di Sekolah Rakyat (SR), namun berhenti. Ia lalu bekerja di satu bengkel
motor, hingga menjadi montir mobil. Ia cukup beruntung seba bisa bekerja di
bengkel kenderaan militer Jepang, sehingga dirinya fasih berbahasa Jepang. Saat
revolusi memanggil, ia lalu bergabung dengan beberapa milisi lalu menjadi
pejuang.
Toha
tak sendirian. Saya teringat kajian Benedict Anderson yang mengatakan bahwa
revolusi Indonesia dipicu oleh para pemuda yang merasa terpanggil untuk berbuat
sesuatu bagi bangsanya. Mereka berasal dari berbagai kalangan. Mereka tak hanya
kelompok Muslim saja, tapi juga dari berbagai agama dan keyakinan. Di antara
mereka banyak kelompok komunis yang juga bertaruh nyawa untuk bangsa ini.
Semuanya berada pada jalur yang sama yakni kemerdekaan.
Mereka
juga dari berbagai latar dan profesi. Ada Samuel Ratulangi, seorang doktor
matematika. Ada Soedirman, seorang guru di sekolah Muhammadiyah yang lalu
memilih jadi tentara. Ada banyak orang-orang biasa yang lalu berikhtiar untuk
kemerdekaan. Mereka tak dicatat sejarah, tapi mereka punya jejak sendiri yang
taktak bisa dinafikan. Mereka berasal dari kelompok berbeda, tapi disatukan
semangat yang sama untuk melihat Indonesia yang lebih baik.
Perumpamaan
paling tepat tentang sosok pejuang kita adalah film Naga Bonar yang
disutradarai MT Risyaf pada tahun 1987. Di film ini dikisahkan seorang pencopet
yang lalu beralihprofesi sebagai pejuang, lalu bertempur melawan Belanda
bersama anak buahnya, yang kebanyakan berprofesi sama dengannya. Pelajaran yang
bisa dipetik adalah kemerdekaan adalah kerja keras semua kelompok dan kalangan.
Mereka
yang tak membaca sejarah akan dengan mudah mengklaim kemerdekaan sebagai
kontribusi dari satu kelompok. Tapi mereka yang membaca sejarah dengan tekun
akan meyakini kalau kemerdekaan adalah kerja bersama yang melibatkan banyak
orang dari berbagai kalangan, yang sama-sama mennginginkan kemerdekaan, yang
meminjam istilah Bung Karno, sebagai jembatan emas bagi kesejahteraan bangsa.
Orang-orang
biasa yang tercatat sejarah itu telah menggoreskan satu jejak pada kain besar bernama
Indonesia.
Bogor, 1 Januari 2017
0 komentar:
Posting Komentar