Kisah Si Cantik dalam The Great Wall

poster film The Great Wall

DI tahun 2002, sutradara Zhang Yimou menggebrak dunia melalui film Hero, yang digambarkan serupa puisi yang menusuk jantung kalbu manusia. Kisah Hero yang dibintangi Jet Li dan Donny Yen itu adalah filsafat tentang kekuasaan, nasionalisme dan kisah tentang mereka yang merawat kuasa dan bangsa dengan caranya masing-masing.

Kini, di pembuka tahun 2017, sutradara Zhang Yimou mempersembahkan karya kolosal berjudul The Great Wall, yang berlatar di kisah-kisah mistis di sekitar tembok besar Cina. Sayang, film ini tak sepuitik film Hero, dan film lain yang dibuat Zhang Yimou yakni House of Flying Dagger.

Dalam banyak hal, film menjadi sangat Hollywood, tak menawarkan sesuatu yang baru, dan kisahnya mudah ditebak. Di luar berbagai hal buruk itu, beberapa hal dalam film ini cukup memuaskan hati. Saya menyukai adegan kolosal yang ditata dengan sangat menarik, Tapi harus saya akui, film ini cukup menghibur. Di antara banyak actor dan aktris yang tampil, mata saya terpaku pada kemampuan akting Jian Tin yang berperan sebagai Jenderal Lin.

Satu lagi, dia juga cantik!

***

DI setiap tempat dan wilayah, selalu ada kisah-kisah mistik dan legenda, Melalui legenda itu, manusia belajar untuk memahami spirit dan pesan yang hendak disampaikan, sekaligus memahami posisi sejarahnya. Filsuf Max Horkheimer menulis tentang mitos selalu punya substansi yang sama dengan rasionalitas. Mitos itu tak pernah bisa lepas dari manusia.

Film The Great Wall menyajikan hal-hal mistis terkait tembok besar Cina. Sejarah mencatat bahwa tembok itu dibangun untuk menghalangi pergerakan para musuh dari utara yang kerap mengganggu warga Cina. Film ini mengungkap hal-hal mitos tentang tembok, yang ternyata juga digunakan untuk menghalangi pergerakan pasukan monster bernama Tao Tei yang hendak menghancurkan pemukiman manusia.

Sepintas, Tao Tei mirip Tyrannosaurus Rex yang bertubuh besar, dengan mulut yang terbuka lebar, sehingga menampakkkan gigi-gigi tajam serupa belati. Tao Tei hadir setiap 60 tahun sekali demi menyerbu tembok besar lalu membunuh semua orang. Tao tei adalah simbol keserakahan dan ketamakan untuk menguasai semua sumberdaya alam.

Di hari itu, suasana tembok besar di penuhi pasukan dari berbagai kesatuan. Pasukan itu bersiap-siap untuk menghadapi pasukan Tao Tei. Pasukan ini disimbolkan dengan berbagai jenis hewan. Yang menarik adalah ada juga pasukan bangau, yang anggotanya adalah para perempuan berbaju perang warna biru.

Di tengah suasana persiapan menghadapi perang, datang dua penjelajah barat yakni William (diperankan oleh Matt Damon) dan Tovar (diperankan Pedro Pascal). Tujuan kedatangan mereka adalah untuk mencari black powder, sebutan bagi bubuk mesiu, yang saat itu telah ditemukan di Cina. Dua sosok dari barat ini berniat untuk membawa bubuk mesiu itu ke Eropa, dengan harapan agar mereka kaya-raya. Mereka datang di saat yang tidak tepat. Mereka terpaksa melibatkan diri dalam pertempuran melawan monster.

karakter yang tampil dalam film

Mereka bertemu dengan Jenderal Lin, perempuan yang menjadi salah satu pimpinan pasukan. William berdiskusi beberapa hal dengan perempuan berparas cantik itu. William, yang dasarnya adalah tentara bayaran, memutuskan untuk ikut berperang dan membantu orang-orang Cina yang sedang menghadapi monster itu. Tembok besar menjadi saksi dari banyak hal, termasuk William yang belajar filosofi Xin Ren pada Lin.

***

SEBAGAI penggemar Zhang Yimou, saya selalu berharap lebih pada film yang dibuatnya. Saat melihat namanya, saya langsung menbayangkan film Hero yang kolosal, namun tetap punya substansi kuat. Kali ini saya agak kecewa dengan film baru Zhang Yimou yang konon katanya menjadi salah satu film dengan budget terbesar di Cina.

Film terbarunya ini biasa saja. Skenarionya mudah ditebak. Karakter orang-orangnya terlampau hitam putih. Saya sepakat dengan beberapa kritikan. Film ini kembali menegaskan adanya whitewashing, yakni pandangan yang melihat orang Eropa atau barat, yang berkulit putih atau ras kaukasoid, sebagai pahlawan. Fenomena whitewashing adalah fenomena aktor atau aktris kulit putih yang memainkan karakter di luar rasnya (Asia, Afrika, atau bahkan, suku Indian). Istilah ini tak lepas dari kontroversi karena mengandung konotasi negatif, seakan segala sesuatu yang “putih” dapat membilas dan membuat segalanya lebih baik. Selain itu, “putih” dipersepsikan setingkat lebih tinggi dari yang lain.

Kolomnis film Tom Brook dari BBC mengklaim bahwa fenomena “whitewashing” seringkali dilakukan dengan sembrono sehingga menghasilkan karakter yang karikatural sekaligus cenderung merendahkan ras lain. Hal ini akhirnya menyuburkan stereotip negatif terhadap identitas lain, tak hanya di layar kaca, namun juga di dunia sehari-hari.

Fenomena “whitewashing” awalnya bermula akibat kurangnya artis keturunan Asia dan Afrika di Hollywood pada era '20an hingga paruh pertama dekade '60an. Di sisi lain, langkanya artis Asia atau Afrika sebenarnya berpangkal dari diskriminasi rasial yang pada masa-masa itu memang masih menyelimuti Hollywood. Di zaman kini, whitewashing ini masih saja muncul dalam beberapa film berlatar Asia atau Afrika, tapi sosok hero-nya adalah orang barat.

Saya menyaksikan beberapa film yang mengukuhkan padangan whitewashing ini. Di antaranya adalah Avatar: The Last Airbender. Kenapa pula pemeran sosok Avatar Aang adalah bocah bule, sementara di versi animasi, Aang adalah bocah Asia? Sama halnya dnegan kekecewaan saya pada film 47 Ronin. Mengapa pula di kisah itu muncul sosok yang diperankan Keanu Reeves di tengah latar Jepang kuno?

Dalam film The Great Wall, saya masih tak paham mengapa pula ada sosok William yang datang ke Cina, lalu tiba-tiba menjadi pahlawan. Apakah tak ada satupun sosok dalam prajurit Kekaisaran Cina yang bisa menjadi hero dan mengalahkan smeua Tao Tei, sebagaimana yang dilakukan William pada bagian akhir film?

***

BARANGKALI hal yang menyelamatkan film ini adakah ketegangannya. Adegan demi adegan kolosal ditata apik sehingga membuat penonton tak ingin meninggalkan tempat duduk. Saya menyukai berbagai kostum menarik para prajurit. Saya juga suka sama adegan saat ribuan panah meluncur ke udara.

Dari sedemikian aktor dan aktris yang tampil pas-pasan di film ini, saya menaruh perhatian pada aktris Jing Tian. Penampilannya cukup membuat betah. Dia tak hanya cantik, tapi bisa menampilkan sosok sebagai perempuan yang tangguh. Hubungan antara dia dan William menjadi kisah menarik yang bisa menjaga ritme dalam film agar tidak membosankan. Seusai menonton film ini, saya menyempatkan waktu untuk melacak siapa dirinya.

Jian Tian yang berperan sebagai Lin

Sosok Jing Tian mengingatkan saya pada beberapa nama. Di antaranya adalah sosok Angela Wing Yeung atau Angelababy yang berperan sebagai pilot Rain Lao dalam film Independence Day: Ressurgence. Nama lain yang saya kenal adalah Rosamund Kwan, yang berperan sebagai Bibi May dalam beberapa film yang dibintangi Jet Li berjudul Kungfu Master. Saya berharap masih sering menyaksikan Jing Tian di layar kaca.

Kehadiran aktris Cina ini di pentas film dunia bisa membangkitkan kebanggaan kita sebagai orang Asia di lanskap perfilman dunia. Minimal kita bisa menyaksikan dunia yang heterogen dalam berbagai film. Minimal kita bisa menemukan cermin diri kita di film itu, tak sekadar menyaksikan supermasi bangsa dan ras lain di berbagai film.




0 komentar:

Posting Komentar