17 Logika Keliru di Media Sosial


APAKAH anda suka berdebat di media sosial? Apakah anda suka saling serang dengan berbagai argumen di media ini? Saran saya, pilih-pilihlah dengan siapa anda hendak berdebat. Berdebatlah hanya dengan orang pandai. Apapun hasilnya, pasti akan membuat anda lebih pandai. 

Pikiran Anda akan lebih waras. Sebaliknya, berdebat dengan orang bodoh tidak akan pernah membuat anda lebih pandai. Malah, debat itu bisa berujung penghinaan pada diri anda.

Ulama besar Imam Syafi'i pernah berkata, “Aku mampu berhujjah dengan 10 orang yang berilmu, tetapi aku pasti kalah dengan seorang yang jahil, karena orang yang jahil itu tidak pernah faham landasan ilmu.” 

Rupanya, di abad lampau, ulama ini paham bahwa ada orang yang tak bisa dijadikan partner dalam berdiskusi, sebab landasan ilmunya tak memadai.

Di medsos seperti facebook, kita sering melihat banyak adu argumentasi dan perdebatan. Jauh lebih banyak perdebatan yang tidak akan pernah mencerahkan. Yang banyak adalah saling serang dan saling caci. Debat itu tidak produktif, sebab masing-masing pihak tidak saling mendengarkan. 

Nampaknya, banyak orang yang mengklaim orang lain sesat pikir, tapi sesungguhnya, dirinya yang sesat pikir. Banyak orang yang justru mengalami kesalahan berpikir dan mengira sesuatu sebagai benar. Padahal logikanya justru keliru.

Saya teringat kuliah-kuliah logika beberapa tahun silam. Dalam ilmu logika, terdapat banyak kesalahan berpikir yang kerap dialami orang-orang. Nah, marilah kita sama-sama mengindentifikasi beberapa kesalahan logika yang sering sekali kita temukan di media sosial. Marilah kita buat daftar sederhana. Saya hanya menuliskan ulang apa-apa yang sudah dibahas para ahli logika.

Pertama, ad hominem, yang berarti menyerang karakter atau kehidupan personal lawan untuk melumpuhkan argumennya. Nama panjangnya adalah argumentum ad hominem. Bentuknya adalah kita berhadapan dengan argumentasi, namun kita justru menyerang si pemberi argumentasi itu dengan hal-hal lain tentang pribadinya yang tak ada hubungannya dengan argumentasi itu.

Misalnya, Bob Dylan adalah musisi hebat. Kita lalu menyerang argumentasi itu dengan pernyataan bahwa “Bob Dylan kan seorang pemabuk, artinya musiknya tidak bagus.” Nah, jika kita berargumentasi seperti ini, kita telah mengalami kesalahan berpikir sebab kita menyerang hal negatif yang tak ada kaitannya dengan apa yang sedang dibahas. 

Di satu grup WhatsApp, seseorang mengirim link tulisan profesor bidang ekonomi. Seseorang teman lalu merespon. “Saya gak percaya profesor ini. Saya tidak suka sikapnya yang mendukung pemerintah.” Nah, ini juga salah pikir dalam logika sebab kita tidak mencerna argumentasinya lebih dahulu.

Kedua, Post Hoc Ergo Propter Hoc. Kesalahan berpikir ini ketika menganggap dua hal memiliki kaitan secara langsung. Saat X terjadi, Y juga terjadi. Tiba-tiba kita menyimpulkan X adalah penyebab terjadinya Y. Misalnya seorang politisi tiba-tiba terpilih jadi pemimpin. 

Pada saat terpilih, semua harga daging langsung meroket naik. Orang yang mengaitkan naiknya harga daging karena naiknya politisi itu bisa jadi mengidap salah berpikir.

Kedua, pars pro toto. Ini adalah anggapan satu bagian kecil merupakan cerminan keseluruhan. Misalnya, seseorang dikhianati kekasihnya yang berasal dari Makassar. Ia lalu mengumpat dan mengatakan, "Semua orang Makassar adalah buaya." Nah, dia mengalami kekeliruan berpikir sebab pengalaman bertemu satu orang, tiba-tiba dianggap mewakili keseluruhan orang Makassar.

Dalam diskusi politik, kita sering menemukan pemikiran seperti ini. Misalnya, seseorang membaca berita tentang ada warga keturunan yang divonis korupsi. Ia lalu menggeneralisir bahwa semua warga keturunan seperti itu. Ia lalu membenci setengah mati. 

Padahal, faktanya, pelaku korupsi itu berasal dari berbagai etnik dan agama. Malah, ada pula pelaku korupsi yang rekan sekampungnya. Ada yang ketahuan, dan ada yang tidak ketahuan.

Ketiga, argumentum ad baculum. Berusaha memaksa lawan untuk menerima pendapat dengan cara memberikan rasa takut. Misalnya pernyataan, "Kalau kamu tidak terima kebenaran ini, silakan keluar dari agama. Saya akan keluarkan fatwa agar anda kafir, lalu anda akan jadi sasaran kemarahan publik." Nah, ada beberapa hal yang bisa disoroti dari pernyataan ini; (1) sejak kapan dia seolah jadi juru bicara satu keyakinan, (2) sejak kapan kebenaran harus dipaksakan dnegan ancaman?

Keempat, anecdotal. Yakni menggunakan cerita personal untuk membuktikan "fakta" universal, khususnya untuk melumpuhkan data dan statistik. Ini juga seirng ditemukan. Misalnya ada survey yang menyebutkan bahwa orang Indonesia rata-rata bahagia, tiba-tiba kita merespon. “Ah saya justru merasa tidak bahagia. Riset itu malah ngawur.” 

Nah, ini juga termasuk anecdotal atau salah pikir. Artinya, kita menggunakan cerita pribadi untuk menggugurkan satu argumentasi yang sifatnya universal.

Contoh lain adalah klaim seseorang mengenai banyaknya tenaga kerja asal Cina. Bahkan ketika disodorkan fakta, ia malah tidak percaya. Ia mengaku pernah naik pesawat dan bertemu orang Cina. Ditambah lagi membaca situs abal-abal, muncullah keyakinan kalau mereka memang banyak. Saat disodorkan data pun, ia akan mengeluarkan berbagai teori konspirasi demi menyatakan dirinya benar.

Kelima, black or white. Kepercayaan bahwa hanya ada dua alternatif kemungkinan. Kalau bukan A yang benar, maka pastilah B yang benar. Pikir seperti ini banyak muncul seusai ajang pilpres di Indonesia. Ketika Jokowi berkata A, maka kemungkinannya hanya dua yakni mendukung pernyataan Jokowi atau menolaknya. 

Di kalangan para netizen terbagi dua yakni kubu suporter dan kubu haters. Keduanya bersahut-sahutan. Masing-masing saling caci. Padahal, ada banyak kemungkinan yang bisa dikembangkan, tak harus masuk dalam satu kubu itu.

Keenam, argumentum ad verecundiam. Pandangan ini adalah pandangan yang mendewakan pendapat seseorang, dan menganggap pendapat itu sudah pasti benar. Dalam politik, hal ini sering terjadi. Saat idolanya, yakni Si A, mengeluarkan fatwa, maka ia lantas beranggapan bahwa itu sudah pasti benar. Saat ada suara kritis, orang itu akan balik bertanya, "Anda berani mengkritik dia. Apakah anda sehat?"

Dalam logika, seringkali argumentum ad verecundiam ini dipersamakan dengan “halo effect.” Ini juga cara berpikir yang sering kita temukan di media sosial. Halo effect adalah bias subyektif saat pertama bertemu seseorang, yang lalu digunakan untuk menganggap semua kalimatnya benar. 

Istilah “halo effect” boleh jadi dipengaruhi oleh kisah tentang para santo atau manusia suci sebagaimana lukisan dari abad pertengahan yang di kepalanya ada lingkaran (halo). Kesan saat bertemu “manusia halo” seperti ini adalah kita akan menganggap dirinya suci sehingga semua argumennya diterima mentah-mentah.

Misalnya, saat pertama bertemu seseorang, kita melihat pakaiannya seperti orang suci, kita lalu mengaminkan semua yang dikatakannya, apapun itu. Atau barangkali saat melihat postingannya yang penuh kalimat Tuhan, kita lalu selalu mengatakan “Yes” pada apapun yang ditulisnya. Padahal belum tentu demikian.

Ketujuh, appeal to emotion. Ini adalah memanipulasi tindakan emosional untuk menyatakan kebenaran. Misalnya, anda pernah dikasari seorang yang agamanya adalah menyembah pohon. Saat diskusi dengan penganut agama itu, anda langsung emosional dan menangis terisak demi meyakinkan betapa jahatnya para penyembah pohon. Perdebatan yang harusnya jadi ajang positif untuk menumbuhkan pengetahuan, kok malah jadi baper.

Kedelapan, strawman. Dalam logika, ini disebut melebih-lebihkan, menyalah-artikan, atau bahkan memalsukan argumen seseorang demi membuat argumen Anda yang menyerangnya terdengar lebih masuk akal. 

Misalnya pejabat A berargumen bahwa berdasarkan pengamatannya di lapangan, nelayan dan petani tidak senang dengan koperasi karena yang mendapatkan modal hanya pengurusnya saja, sehingga hal ini perlu diperbaiki. Mendengar hal tersebut, lawan politik si A menyatakan bahwa si A menolak koperasi. Bahwa si A berkata koperasi tidak diperlukan di desa.

Contoh lain bisa dikemukakan. Seorang pejabat berkata, “Kita harus fokus memperkuat industri kita.” Seseorang lalu merespon, “Kalau memperkuat industri, berarti anda mengabaikan pertanian dan pedesaan. Berarti anda benci dengan sektor pedesaan. Mengapa anda membenci desa?” Nah, ini dia yang disebut strawman.



Kesembilan, slippery slope. Mengasumsikan jika situasi P terjadi, maka Q akan juga terjadi, tanpa didukung dengan bukti atau penalaran yang masuk akal. Karena itu, P tidak boleh terjadi. Misalnya, seorang pejabat pemerintahan menolak melegalkan pernikahan beda keyakinan, sebab jika diperbolehkan kelak mereka akan melegalkan pernikahan sesama jenis di masa depan. Ini juga kekeliruan logika, sebab dua hal itu adalah hal berbeda.

Kesepuluh, tu quoque. Menghindar dari kritik sekaligus mendiskreditkan lawan dengan menggunakan kritik yang sama yang disampaikan pada dirinya. Misalnya seorang ayah mengingatkan anaknya, "Nak, kamu jangan merokok ya. Merokok itu merugikan kesehatanmu." Lalu, si anak menjawab, "Ah, Ayah merokok tiap hari masih kelihatan sehat kok. Berarti merokok itu tidak ada hubungannya dengan kesehatan."

Atau pernyataan lain. Misalnya: “Berhati-hatilah main proyek. Bisa-bisa kamu akan masuk penjara.” Tiba-tiba ada yang menyanggah: “Siapa bilang main proyek harus berhati-hati? Buktinya situ sejak dulu selalu main proyek, Artinya aman dong.” Nah, kita membalas kritikan dengan cara mendiskreditkan si pengkritik.

Kesebelas, burden of proof. Menyatakan bahwa orang lainlah yang harus membuktikan suatu klaim, bukan si pembuat klaim. Misalnya seseorang mengklaim bahwa jumlah pekerja asal Cina di Indonesia adalah 10 juta orang. Karena tidak ada yang membuktikan informasinya salah, maka dia terus-terus berargumen seperti itu. Dia lalu menganggap dirinya benar hanya karena tidak ada yang membantahnya.

Seorang kader partai berhaluan agama di Yogyakarta sering berpikir seperti ini. Ia melempar berbagai isu-isu tanpa data dan fakta. Dikarenakan tidak ada yang menanggapinya, ia merasa di atas angin. Ia pikir dirinya benar. Saat seseorang tersinggung lalu melaporkan dirinya ke polisi, ia malah ingin minta maaf dan minta kasusnya dianggap selesai. Aneh.

Dalam logika, burden of proof ini hampir sama dengan argumentum ad ignorantiam, yakni menganggap suatu hal sebagai kebenaran, hanya karena orang-orang diam atau tidak ada orang yang menyanggahnya. Padahal, orang lain memilih diam karena merasa tak ada gunanya berdebat dengan seseorang. Kata satu ujaran, “Yang waras, ngalah!”

Keduabelas, badwagon. Keyakinan bahwa jika suatu hal itu populer dan dipercayaii oleh banyak orang, maka hal itu adalah kebenaran yang valid, tanpa perlu menyelidikinya lebih lanjut. Misalnya banyak orang yang menganggap bahwa si A itu seorang penista agama. Karena pandangan itu dianut mayoritas orang, ia pun ikut-ikutan percaya dengan apa yang disampaikan.

Ia ibarat gerbong (bandwagon) yang ditarik oleh satu lokomotif. Mungkin ia berpendapat berbeda, cuma karena ia takut untuk berbeda pandangan dengan publik, ia ikut saja ke mana arus akan menyeretnya. Di tataran politik kita, banyak lembaga survei yang hendak berperan sebagai penarik bandwagon opini publik.

Ketigabelas, appeal to authority. Kepercayaan pada otoritas. Misalnya saat pemerintah menyatakan satu informasi benar, maka ia lantas dengan mudahnya percaya. Ia lalu mengabaikan berbgai penalaran lain yang belu tentu sejalan dengan pemikiran pemerintah. Atau kita ambil contoh lain. Saat ada lembaga menyatakan sesuatu itu haram, maka ia dengan serta-merta langsung dipercaya, tanpa mengujinya secara kritis.

Keempatbelas, personal incredulity atau menganggap sesuatu tidak benar hanya karena susah dipahami. Misalnya seorang politisi mengklaim ia punya ribuan relawan, yang bisa digerakkan karena adanya kesamaan visi serta pola kerja yang efektif. 

Seseorang tiba-tiba saja menolak mentah-mentah kalimat itu, hanya karena dirinya tidak memahami bagaimana konsep partisipasi publik serta strategi membangun tim yang kokoh. Dia tidak paham, malas menalar, lalu menganggap ide itu keliru.

Kelimabelas, appeal to nature. Ini adalah kepercayaan bahwa sesuatu itu valid atau benar karena sifatnya yang natural seperti itu. Misalnya kepercayaan bahwa seorang pemimpin itu harus gagah, penuh keberanian, serta punya seragam militer. Keberanian seolah identik dengan seragam. 

Ketika seorang pemimpin tampak seperti warga biasa yang sering ditemui di terminal atau pasar-pasar, maka muncullah penolakan. Seolah-olah pemimpin itu harus jagoan, dan bukan kategori yang pantas didapatkan seorang warga biasa.

Keenambelas, genetic. Menilai satu pernyataan baik atau tidak hanya berdasarkan pada dari mana pernyataan itu berasal, tanpa disertai argumentasi yang valid. Misalnya hanya karena diberitakan korupsi, petinggi satu partai lalu menyatakan, kita harus berhati-hati pada informasi dari media A karena sering mendiskreditkan kita. Harusnya ia akan mengintropeksi diri lalu menjelaskan duduk perkara, bukannya menyalahkan pihak lain.

Ketujuhbelas, non causa pro cause. Ini adalah penarikan kesimpulan yang keliru. Misalnya pernyataan bahwa Sukarno menjadi presiden pertama Indonesia karena dia orang Jawa. Pernyataan ini dibuat tanpa memperhatikan berbagai aspek lain. Pastilah akan munculkan pernyataan, mengapa harus Sukarno? Bukankah ada banyak orang Jawa lainnya?

***

SAYA hanya mencatat tujuhbelas. Orang-orang yang belajar logika ataupun epistemologi punya lebih banyak penjelasan tentang mana yang benar dan mana yang keliru. Kita bisa terus mengembangkan, lalu mencatat berbagai argumen yang kita temukan dalam berbagai interaksi. 

Ada hal-hal yang kita sadari, banyak pula hal yang tidak disadari. Namun dengan cara belajar terus-menerus, kita bisa mengasah keperkaan kita dalam berargumentasi dan menemukan kebenaran.

Jangan pula terjebak pada sikap nyaman. Jangan pula berpandangan bahwa ketika orang diam, berarti kita benar. Jangan pula menganggap hanya karena kita yang paling sering berkomentar, maka kita berhasil menguasai wacana. Padahal belum tentu. 

Boleh jadi orang lain tidak nyaman dengan cara anda berdiskusi atau membangun argumentasi. Boleh jadi orang lain akan memilih diam sebab tidak ingin menghabiskan waktu untuk berdebat dengan anda yang maunya menang sendiri tanpa menyerap kebenaran dari orang lain.

Imam Syafi’i menasehatkan  “Apabila orang bodoh mengajak berdebat denganmu, maka sikap yang terbaik adalah diam, tidak menanggapi. Apabila kamu melayani, maka kamu akan susah sendiri. Dan bila kamu berteman dengannya, maka ia akan selalu menyakiti hati.”



Bogor, 24 Desember 2016

4 komentar:

Imron Fhatoni mengatakan...

Alhamdulillah kuliah pagi disini dengan segelas kopi. Selamat pagi bang Yusran, semoga keluarga dalam keadaan sehat selalu.

Anonim mengatakan...
Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.
Muh. Haris mengatakan...

Terima kasih Kak Yusran atas ilmunya. Serasa mendapatkan materi perkuliahan.

Anonim mengatakan...

Terima kasih Kak Yusran atas ilmunya. Mencerahkan.

Posting Komentar