ADA lagi seorang kawan yang meninggal di Makassar. Saya mendengar berita ini kemarin dan tiba-tiba saja saya lama terdiam. Hanya dalam waktu tiga bulan, dua orang sahabat di kampus meninggal dunia dalam usia yang relatif muda. Yang satu karena kecelakaan, dan satu lagi karena sakit. Mereka masih dalam usia yang teramat produktif. Mereka telah berbuat banyak untuk sekitarnya. Tapi takdir berbicara lain.
Saya tiba-tiba memikirkan kematian. Kita bisa berkelana ke mana saja, mencapai puncak-puncak yang melejitkan nama kita, namun kematian laksana malaikat yang setiap saat datang menghampiri. Dua sahabat muda itu tentunya tidak punya pilihan. Ketika saatnya tiba, maka mereka akan bergegas untuk segera berpindah tempat. Mereka ibarat mendapat panggilan yang wajib ditaati, tanpa ada pilihan untuk menolak.
Sahabat yang pertama belum lama menikah. Istrinya tengah mengandung bayi mungil sebagai prasasti cinta mereka. Sedang sahabat kedua, memiliki putra semata wayang. Dua bulan sebelum ia meninggal, suaminya telah lebih dahulu berpulang ke Rahmatullah. Kini anak itu sebatang kara. Kini anak itu tak tahu ke mana harus memanggil mama papa.
Bagaimanakah kita harus memandang kematian? Saya teringat orang tua di kampung yang tahu persis kapan saatnya tiba. Saya teringat kakek yang mempesiapkan semuanya sebelum saat itu tiba. Ia memilih sarung dan kain yang akan dikenakannya ketika ke alam kubur. Dulu, ayah saya sudah tahu bahwa waktunya tak lama lagi. Mereka punya pengetahuan yang tak terjangkau rasio tentang kapan waktunya akan berpulang. Dan sebelum saat itu tiba, mereka telah mempersiapkan semuanya.
Kita manusia modern tak punya kemampuan itu. Maka, menyiapkan diri setiap saat adalah cara terbaik untuk menghadapinya. Lantas, apakah kematian memang harus dipersiapkan? Tergantung dari sisi mana kita melihatnya. Mungkin sebagian dari kita merasa wajib mempersiapkan diri, namun sebagian dari kita justru melihatnya sebagai kejutan-kejutan dari Yang Maha Kuasa yang menginginkan agar seorang hamba bisa bersatu dengan diri-Nya.
Saya sepakat dengan kedua-duanya, tapi saya tak ingin punya pengetahuan tentang kapan waktunya tiba. Biarlah itu menjadi rahasia-Nya. Mungkin yang terbaik adalah menyiapkan segala sesuatu sehingga ketika saatnya tiba, anda tak meninggalkan beban dan utang. Mungkin yang terbaik adalah berbuat hal-hal luar biasa semampu mungkin agar kelak saat tiba saatnya, anda meninggalkan jejak yang menggurat di hati sipapun yang mengenali.
Saya teringat kalimat seorang sahabat yang arif. “Wahai manusia. Ketika dirimu lahir, semua orang tertawa bahagia, dan dirimu yang menangis seorang diri. Maka berusahalah semampumu, sehingga ketika dirimu berpulang, semua orang menangisimu, dan dirimu seorang diri yang tertawa bahagia.”
Athens, Ohio, 8 November 2011
2 komentar:
Oh kk, ndak tahu mau bilang apa aku ini. Ndak sanggup kasih kalimat apapun. Aku hanya berharap aku bisa memanfaatkan waktuku untuk makin dekat dengan AYAH dan tidak terlalu mengecewakannya dengan pilihan-pilihan hidupku. Semoga. Amin
Setelah membaca artikel ini, saya jadi teringat dengan cerita teman di SMA Baubau dulu. Dia mengisahkan bahwa sebelum kakeknya meninggal, dia sempat berbisik pada temanku tersebut kalo kakeknya dalam minggu ini akan berpulang ke rahmatullah.
Mudah2an kita termasuk dalam bukan orang2 yg merugi dalam mempersiapkn segala hal.
Posting Komentar