Saat Bersama Pumi dan Papi

Papi, Pumi, dan saya

KEMARIN, saya menghadiri ajakan para sahabat Thailand untuk penggalangan dana bencana banjir di sana. Saya bergabung dengan mereka di sebuah kafe di dalam kampus, kemudian ikut meramaikan acara tersebut. Acaranya adalah penggalangan dana yang digelar dengan sangat kreatif yakni diawali musik serta karnaval kebudayaan Thailand.

Warga Thailand yang berada di Athens, Ohio, menjual beberapa benda seni seperti kain, selendang, serta pernak-pernik. Mereka melelang barang tersebut kepada siapapun penawar tertinggi. Saya hanya datang meramaikan, demi memenuhi ajakan sahabat Saweitree Cheevasart (nama panggilannya agak aneh yakni Papi) dan Pompui Nantida (nama panggilannya juga aneh yakni Pumi). Mereka menjelaskan bahwa Bangkok bermakna The City of Joy, namun sejak banjir, kota itu sudah ganti nama jadi The City of Water. Saya cukup terkesima.

saat Papi memperagakan kain khas Thai
Pada kesempatan tersebut, saya mencatat dengan hitungan agak kasar bahwa populasi mahasiswa asal Thailand masih lebih banyak dari mahasiswa asal Indonesia. Malah, jumlah mereka dua kali lipat lebih banyak. Namun, anehnya, mereka amat jarang menggelar kegiatan di tingkat universitas. Situasinya sangat berbeda dengan mahasiswa Indonesia yang jumlahnya sedikit, namun sangat aktif dengan banyak kegiatan seperti pemutaran film, diskusi, latihan menari, dan malam ramah-tamah.

Mungkin ini adalah watak dasar kita warga Indonesia yang suka berkumpul-kumpul. Saban hari, lantai satu Alden Library, sering jadi tempat kumpul mahasiswa Indonesia yang suka membahas apa saja, mulai dari masalah kuliah, atau rencana jalan-jalan. Bagi saya, tak ada yang salah di situ. Setidaknya, kami sama-sama berbagi nasib dan pengalaman serta mengenang kampong halaman yang jauh di sana. Tapi, saya mesti pandai-pandai mencari celah untuk belajar bahasa. Keseringan kumpul bisa membuat kemampuan bahasa saya jadi pas-pasan.

Masih masalah kendala bahasa. Sahabat Pumi dan Papi punya kendala yang sama, malah lebih parah dari saya. Saat berbincang dengan Papi dalam bahasa Inggris, saya kesulitan menangkap apa yang sebenarnya diinginkannya. Bukan cuma saya, beberapa sahabat asal Amerika juga kesulitan menangkap apa yang dikatakannya. Mungkin karena aksen bicaranya bercampur dengan aksen Thailand, yang rada-rada mirip dengan aksen Cina. Sementara teman-teman asal Indonesia justru punya kelenturan dalam hal bahasa. Mereka lebih mudah menyesuaikan dengan aksesn ala warga asli Paman Sam.

Tapi, saya selalu belajar untuk tidak melihat seseorang dari kemampuan bahasa. Saya belajar untuk menangkap makna di balik setiap ucapan ataupn perkataan seseorang, sesulit apapun apa yang dikatakannya. Saya belajar untuk menghargai setiap butir pemikiran yang disampaikan melalui bahasa, meskipun saya agak kesulitan di situ. Setidaknya, saya bisa menangkap ekspresi dan sesekali pakai bahasa ala Tarzan.

Kepada Pumi dan Papi, saya hanya bisa membisikkan doa semoga korban banjir di Bangkok bisa mendapatkan bantuan yang layak. Semoga!

dua bule berbusana khas Thailand


0 komentar:

Posting Komentar