AKHIRNYA aku tiba juga di Kota Makassar, tepat di hari Natal, Selasa (25/12). Lembut sepoi-sepoi anging mammiri langsung mengembus wajahku saat pertama menginjakkan kaki di Bandara Hasanuddin. Hujan keras seakan menyapa hadirku setelah meninggalkan kota ini selama enam bulan lebih. Memang, waktu itu teramat singkat bagi sebagian orang. Namun, apa sih batasan singkat dan lama bagi sebuah rasa betah dan keterikatan pada satu tempat? Bagiku waktu itu cukup panjang untuk berpisah dengan kota yang telah menorehkan begitu banyak kesan di dalam diriku, menumbuhkan semangat, serta gerbang pencarianku pada diriku sendiri.
Aku memandang langit sambil mengumandangkan rasa syukur. Baru saja aku lepas dari cekaman ketakutan selama sejam lebih ketika pesawat yang kutumpangi akhirnya mendarat di bandara. Langit Makassar masih dikepung awan hitam hingga cahaya seakan tidak punya ruang untuk menyapa sudut-sudut kota ini. Beberapa saat yang lalu, awan hitam itu menjadi pemandangan horor bagiku. Selama sejam lebih, pesawat yang kutumpangi hanya berputar-putar di atas sebuah pulau kecil –mungkin Pulau Lanjukkang-- di depan kota Makassar. Meskipun pramugari telah mengumumkan bahwa lima menit lagi pesawat akan segera mendarat, ternyata hingga sejam berikutnya pesawat tak juga menyentuh landasan bandara. Melalui jendela pesawat, kusaksikan awan hitam yang pekat telah mengepung kota Makassar hingga pesawat tak berani menembusnya.
Saat itu, aku dicekam rasa takut. Beberapa rekan di sekelilingku sudah mulai berdoa sambil memejamkan mata. Di belakangku, seorang wanita juga berdoa di saat wajahnya memancarkan aroma kekhawatiran. Semua ketakutan. Awan hitam yang memayungi Makassar itu menjadi pemandangan yang menakutkan kami semua. Bayangan tentang pesawat jatuh serta terbakar tiba-tiba saja memenuhi ruang-ruang berpikirku. Ah, apakah ini saatnya? Jangan. Aku merasa belum banyak melakukan apa-apa dan masih ingin melakukan banyak hal. Kembali kusaksikan awan hitam yang bergulung di depan sana.
Setelah lewat sejam, pilot memutuskan untuk menembus awan hitam itu. Sabuk pengaman dikencangkan. Saat itu, pesawat seakan berguncang-guncang. Ada suara seakan-akan pesawat menabrak sesuatu. Aku dicekam ketakutan. Jendela pesawat dibasahi air hujan. Penumpang di belakangku langsung muntah-muntah. Ternyata, di sebelahku juga ikut muntah, serasa menumpang kapal kecil jenis katinting.. Hingga akhirnya pesawat kian merendah dan berhasil menyentuh landasan. Rasa syukur langsung menyergap. Hey..... wajahku pucat pasi.
BELUM SELESAI
Aku memandang langit sambil mengumandangkan rasa syukur. Baru saja aku lepas dari cekaman ketakutan selama sejam lebih ketika pesawat yang kutumpangi akhirnya mendarat di bandara. Langit Makassar masih dikepung awan hitam hingga cahaya seakan tidak punya ruang untuk menyapa sudut-sudut kota ini. Beberapa saat yang lalu, awan hitam itu menjadi pemandangan horor bagiku. Selama sejam lebih, pesawat yang kutumpangi hanya berputar-putar di atas sebuah pulau kecil –mungkin Pulau Lanjukkang-- di depan kota Makassar. Meskipun pramugari telah mengumumkan bahwa lima menit lagi pesawat akan segera mendarat, ternyata hingga sejam berikutnya pesawat tak juga menyentuh landasan bandara. Melalui jendela pesawat, kusaksikan awan hitam yang pekat telah mengepung kota Makassar hingga pesawat tak berani menembusnya.
Saat itu, aku dicekam rasa takut. Beberapa rekan di sekelilingku sudah mulai berdoa sambil memejamkan mata. Di belakangku, seorang wanita juga berdoa di saat wajahnya memancarkan aroma kekhawatiran. Semua ketakutan. Awan hitam yang memayungi Makassar itu menjadi pemandangan yang menakutkan kami semua. Bayangan tentang pesawat jatuh serta terbakar tiba-tiba saja memenuhi ruang-ruang berpikirku. Ah, apakah ini saatnya? Jangan. Aku merasa belum banyak melakukan apa-apa dan masih ingin melakukan banyak hal. Kembali kusaksikan awan hitam yang bergulung di depan sana.
Setelah lewat sejam, pilot memutuskan untuk menembus awan hitam itu. Sabuk pengaman dikencangkan. Saat itu, pesawat seakan berguncang-guncang. Ada suara seakan-akan pesawat menabrak sesuatu. Aku dicekam ketakutan. Jendela pesawat dibasahi air hujan. Penumpang di belakangku langsung muntah-muntah. Ternyata, di sebelahku juga ikut muntah, serasa menumpang kapal kecil jenis katinting.. Hingga akhirnya pesawat kian merendah dan berhasil menyentuh landasan. Rasa syukur langsung menyergap. Hey..... wajahku pucat pasi.
BELUM SELESAI
1 komentar:
yah...begitulah hidup. ada harap ada takut. selalu saja kita terhentak terhenyak, tapi segalanya akan selalu indah, so sweet. hehehe... semangat
Posting Komentar