Nyanyi Sunyi Kaum Antropolog


HARI ini adalah hari kedua lokakarya memperingati 50 tahun antropologi Universitas Indonesia (UI). Lokakarya yang bertemakan “Konflik dan Disharmoni Sosial pada Era Reformasi di Indonesia: Sumbangan Pemikiran Antropologi untuk Pembangunan Demokrasi” ini, dihadiri oleh civitas akademika UI, sejumlah utusan dari jurusan antropologi berbagai universitas serta sejumlah peneliti dan aktivis organisasi non pemerintah.

Lokakarya ini cukup ramai dan digelar di Ruang Aula AJB Bumiputera di kampus Fisip UI, Selasa (11/12) hingga Rabu (12/12) hari ini. Dalam jadwal tertera keynote speaker adalah Menteri Pertahanan Prof Juwono Sudarsono. Kemarin, saat tiba di ruangan, saya melihat nama keynote speaker yang tercantum di spanduk adalah Thamrin Amal Tomagola PhD. Juwono batal hadir dan hanya bisa diwakili oleh seorang staf pejabat di kementriannya. Biar ada kesan ilmiah, panitia mengganti nama Juwono dengan Thamrin. Keputusan ini sangat tepat sebab Thamrin sudah lama “berkubang” dengan isyu konflik atau disharmoni sosial. Apalagi, ia pernah mempublikasikan karyanya berjudul Republik Kapling yang berisikan analisis atas gejala konflik di Indonesia.

Selain keynote speaker, sejumlah pemateri dari berbagai institusi dan kampus di Tanah Air dihadirkan untuk memperluas horizon cakrawala menyangkut konflik, disharmoni sosial, dan strategi penyelesaiannya. Saya melihat daftar pematerinya cukup lengkap dan merepresentasikan makalah mengenai aneka ragam konflik di Tanah Air. Mulai dari Al Chaidar (Aceh) hingga Habel Samakori S.Sos (Papua). Namun, pemateri yang menjadi magnet kedatanganku di situ adalah dua orang rekan sesama kerabat Pasca Antrop yaitu Marko Mahin dan Herry Yogaswara, yang sama-sama membahas tema mengenai konflik Sampit. Presentasi dua kawan ini yang membuat saya hadir untuk mengikuti lokakarya ini. Nantilah, presentasi mereka akan saya ceritakan pada tulisan yang lain.

Awalnya, saya agak enggan mengikuti seminar ini hingga tuntas, meskipun saya juga ingin menyaksikannya. Membaca temanya yang mencantumkan kata “sumbangan antropologi”, terasa ada pesimisme yang menyeruak bahwa antropologi adalah ilmu yang tidak pernah “dilirik” dalam proses pembangunan demokrasi sehingga tidak jelas apa sumbangsihnya. Kebimbangan itu akhirnya menjadi kenyataan saat saya mengikuti lokakarya di hari pertama. Pada presentasi kedua di hari pertama yang menghadirkan pembicara yaitu Ngurah Suryawan (Bali), Herry Yogaswara (Sampit), dan Habel Samokori (Papua), tema-tema tentang bagaimana terpinggirkannya antropologi menjadi tema yang mencuat pada sesi tanya jawab. Beberapa peserta berkomentar kalau selama ini antropologi tidak pernah mendapatkan “tempat yang semestinya“ dalam berbagai analisis konflik di Indonesia. Dalam pandanganku, lokakarya ini hanya menjadi ajang keluh-kesah. Sebagaimana ajang lainnya, lokakarya ini hanya mendengungkan suara parau dan nyanyi sunyi dari kaum antropolog bahwa mereka punya ilmu yang semestinya bisa digunakan untuk menguatkan demokratisasi di negeri ini. Bagiku, lokakarya ini hanya menegaskan bentuk ketidakberdayaan antropologi untuk mengambil peran serta memberikan sumbangsih bagi upaya membangun harmonisasi pada masyarakat Indonesia yang majemuk ini.

Keluh Kesah Antropolog

Yang menarik bagiku adalah Ketua Departemen Antropologi UI Prof Yasmin Shahab ikut-ikutan mengomentari persoalan ini. Menurutnya, jika di tataran ilmu ekonomi dikenal profesi risk analysis, maka seyogyanya pemerintah kita juga menempatkan seorang antropolog sebagai risk analysis yang mengidentifikasi potensi konflik sosial dan budaya. “Sayangnya, banyak kritikan yang mengatakan kalau riset antropologi itu terlalu lama. Mestinya ada formulasi riset yang dipersingkat agar ada pemetaan gambaran awal yang bersifat sementara. Sedangkan persoalan yang lebih serius akan diidentifikasi melalui riset etnografi yang panjang itu,” katanya. Bagiku, pernyataan Yasmin kian mengafirmasi terpinggirkannya posisi antropolog dalam membaca realitas konflik di Indonesia.

Kembali ke soal keluh kesah. Dengan mengusung satu tema besar serta hanya dihadiri oleh insan antropolog sendiri, lokakarya ini palingan hanya menjadi sebuah ritual atau kegiatan seremonial untuk memperingati 50 tahun antropologi UI. Nantinya, akan ada laporan bahwa telah digelar sebuah acara besar yang ramai dan menghadirkan banyak antropolog yang sama-sama membicarakan apa kira-kira sumbangan dan peran yang bisa diambil. Kemudian semuanya sama-sama sepakat atau bertepuk tangan bahwa antropologi punya peran besar untuk menemukenali masalah sosial kemudian merumuskan formulasi penyelesaiannya. Setelah itu, rangkuman lokakarya akan diserahkan kepada pemerintah, tanpa tahu apakah hasilnya akan menjadi rekomendasi yang berharga untuk menyelesaikan konflik ataukah mungkin sekedar memenuhi laci kerja di kementrian negara.

Ah, mungkin saya terlalu pesimis melihat ajang ini. Dalam pandanganku, sudah ada begitu banyak ajang pertemuan dan diskusi di kalangan para antropolog Indonesia setiap tahunnya. Di tahun 2000, saya sempat menyaksikan seminar dan lokakarya Antropologi Indonesia yang diadakan Jurnal Antropologi di Universitas Hasanuddin. Saat itu, saya mendengar kalau ajang itu diprotes keras oleh Iwan Tjitradjaja –kini jadi dosenku-- yang menilai pertemuan itu tak banyak memberikan faedah untuk membuat suara antropologi kian nyaring terdengar. Ajang ini hanya akan menjadi ajang arisan bersama serta tepuk tangan bersama menyepakati bahwa ilmu ini punya kekuatan untuk menjelaskan sesuatu. Nantinya, kita akan berdecak kagum siapa yang paling pintar atau siapa yang paling bagus makalah atau presentasinya. Semacam arisan massal yang mempertemukan banyak peneliti dan di akhir acara akan ada pembahasan siapa tuan rumah pertemuan berikutnya. Ternyata, budaya arisan juga melanda antropolog. Budaya kumpul-kumpul dan “bertanding” siapa yang paling pintar serta bertepuk tangan dengan ceria.

Solusi Marko Mahin

Itulah kesanku di hari pertama. Pada hari kedua, saya berusaha menyempatkan waktu untuk hadir dan mendengarkan apa saja tema-tema yang kira-kira mencuat di kalangan para antropolog. Dalam pandanganku, pasti diskusinya akan lebih terkristal dan menukik ke persepsi yang sama dalam membaca realitas konflik termasuk bagaimana peran antropolog. Hari ini, tema pembicaraan mulai mengarah ke situasi harmoni dan rekonsiliasi. Terasa ada hembusan angin optimisme bahwa pendekatan antropologis yang humanis itu bisa menjadi jawaban atas tragedi kekerasan yang menggerus republik ini. Pada diskusi sesi pertama yang menghadirkan Marko Mahin (Sampit), Marsel Robot (Flores), dan Zaiyardam Zubir (Padang), tema rekonsiliasi konflik serta peran antropolog itu kembali mencuat. Apalagi, pada sesi tanya jawab, seorang penanya yaitu yaitu Indrasari Tjandraningsih dari Akatiga Bandung, juga menyinggung persoalan ini. “Persoalannya adalah bagaimana para antropolog mengambil peran di tengah isu konflik yang terus mengemuka di negeri ini. Rasanya terlalu ’angkuh’ jika konflik hanya dilihat dari sisi antropologi. Mesti dilihat dan dipahami secara utuh dari berbagai disiplin ilmu,“ katanya. Persoalan senada juga disinggung oleh penanya lainnya yaitu antropolog asal Aceh bernama Teuku Kamal Fasya.

Isyu yang mereka kemukakan ini adalah isyu yang mencuat sejak kemarin. Rasanya, tidak banyak antropolog atau peneliti yang mau menanggapinya. Yang membuatku tercengang adalah sahabatku Marko Mahin memberikan satu jawaban yang kemudian menjadi diskursus atau wacana yang beberapa kali disebut-sebut sepanjang lokakarya ini. Marko mengatakan, “Saya kira antropolog punya andil dalam memberikan semacam early warning system atau peringatan dini bahwa akan ada konflik besar yang akan terjadi. Dalam kasus Sampit, tatkala beberapa komunitas Dayak mulai melakukan ritual tertentu dan sejumlah Pangkalima hadir dan ikut ritual itu, saat itu para antropolog sudah mulai ’mencium’ gejala konflik besar yang akan segera terjadi. Sayangnya, suara mereka sejak awal tidak diperhatikan otoritas pengambil kebijakan.”

Mendengar jawaban ini, saya sempat terhenyak. Marko berani mengeluarkan pendapat di tengah ajang yang mempertemukan banyak antropolog senior. Pendapat ini yang kemudian beberapa kali disebut peserta lokakarya mulai dari Yasmin Shahab, Iwan Pirous, hingga Thamrin Amal Tomagola. Bagiku, ada genangan pesimisme yang membuat para antropolog ini seakan merasa kehilangan peran. Genangan itu bermuara pada diskursus kekhawatiran antropolog akan kehilangan peran di negeri ini. Mestinya itu bisa diterabas jika berbagai peran-peran strategis itu bisa dilaksanakan. Tentu saja, berbagai konflik di Indonesia bisa sedikit diminimalisir jika para antropolog bisa mengupayakan agar suaranya nyaring terdengar. Thamrin Amal Tomagola juga membenarkan kalimat Marko. Menurutnya, mesti ada strategi resolusi konflik yang sifatnya kultural serta bisa mengapresiasi lokalitas. “Yang bisa mengidentifikasi itu adalah para antropolog,“ katanya.

Nah, persoalannya kemudian adalah bagaimana membuat suara antropolog bisa nyaring terdengar? Tentu saja, itu adalah perkara metodologis. Jika ilmu ini sanggup menelisik sisi-sisi lain dari konflik di Indonesia hingga hal yang remeh-temeh, maka semestinya antropologi juga harus mampu mencari celah agar suaranya bisa nyaring terdengar. Suara antropologi harus bisa berdengung, tidak hanya di ajang seminar para antropolog saja, namun juga di berbagai arena lainnya. Itulah tantangan ke depan.........(*)

(ini belum tuntas, masih banyak yang mau saya ceritakan, termasuk presentasi Marko dan Herry. tapi saya capek dan mau tidur. sepulang lokakarya tadi, tadi saya terkena hujan. kepalaku agak sakit dan butuh istirahat. Zzz...zzz...zzz)

12 Des 2007, Pukul 19.13 WIB

Saat perut keroncongan dan hendak keluar cari makanan


1 komentar:

Simpet Soge mengatakan...

Mantaps Pak Thamrin Tamagola....saya pernah hadir di seminar tentang rekonsiliasi konflik di Adonara, Flores...

Posting Komentar