Kumis Seksi, Kumis Pak Azis


BEBERAPA hari yang lalu, saya berkunjung ke kos Pak Azis di Jl Margonda Raya. Pak Azis, seorang mahasiswa program doktoral antropologi yang sudah menyelesaikan semua kuliah tatap muka. Awalnya, saya pikir pasti Pak Azis sedang sibuk menyiapkan proposal penelitian dan jawaban soal kualifikasi. Dalam bayanganku, pasti kamarnya akan penuh buku yang berserakan, kertas berisi catatan atas bahan bacaan, serta kopian dari beberapa jurnal terbaru antropologi. Pikirku, ia sedang serius mengasah “ginkang” dan “iwekang” serta sejumlah jurus dari berbagai aliran antropologi agar kelak ia sanggup berdiri tegak dan salto berjumpalitan ketika “diserang“ dengan jurus Pak Iwan dan Pak Afid saat ujian nantinya.

Saat tiba di situ, ternyata tak ada buku dan kertas berserakan. Tak ada juga sejumlah jurus baru dari dunia “kangouw“ antropologi. Kamarnya tetap rapi seperti biasa. Apa yang dilakukannya? Apakah ia sedang memperdalam “tenaga dalam“? Apakah ia tengah berguru pada suhu Marvin Harris yang terkenal digdaya dengan ilmu materialisme kebudayaan? Ternyata tidak. Ia sedang nonton televisi yang disambungkan di laptop di kamarnya. “Canggih khan. Padahal nda mahal ji,“ kata Pak Azis dengan logat Bugis yang kental saat memperlihatkan kecanggihan laptopnya. Ia telah membeli perangkat TV Tunner dan disambungkan ke laptopnya. Seperti biasa, saya akan melontarkan jawaban, “Wah, luar biasa. Cobanya kalo ada juga satu kayak begini di kamarku diii,“ kataku dengan bumbu sedikit pujian sembari berharap bakal dikasih utang sama beliau. Hehehe...

Setelah itu, ia memperlihatkan sejumlah rancangan desain sutra atau batik yang tengah digarapnya. Gambar desain sutranya sangat detail. Menurutnya, rancangan itu akan ditawarkan ke sejumlah daerah atau kabupaten, biar dipatenkan menjadi desain baju batik setempat. Memang, sejumlah daerah di Sulawesi mewajibkan para pegawai negeri sipil (PNS) untuk memakai baju dengan unsur muatan lokal pada hari tertentu, biasanya hari Jumat. Ternyata, itu dilihat Pak Azis sebagai peluang bisnis. Insting bisnisnya yang diasah sejak menjadi mahasiswa program magister desain dari Institut Teknologi Bandung (ITB) tetap tajam. Apalagi, sejak kuliah di antropologi, ia makin memiliki keahlian dalam mengidentifikasi khasanah budaya lokal yang ketika digabungkan dengan bidang desainnya, bisa mendatangkan banyak duit. Apakah benar sudah mendatangkan banyak duit? “Tidak ji. Saya baru mau tawarkan rencana ini sama beberapa daerah. Tunggumi, pasti ada yang latto,” katanya. Dalam bahasa Makassar, latto adalah istilah yang bermakna sesuatu yang sukses dijalankan. Misalnya, ketika saya naksir seorang gadis dan berhasil dipacari, maka saya akan mengatakan latto sebagai tanda sukses dipacari.

Nah, kembali ke soal proposal. Seingatku, Pak Azis hendak meneliti bagaimana identitas Kota Wajo di Sulsel yang mengkalim dirinya sebagai kota sutra. Padahal, benang sutra selalu diimpor dari Thailand atau Cina. Menurutnya, ini terkait fenomena identitas dan globalisasi. Beberapa kali ia memintaku untuk membantunya, minimal bikin fieldnote banyak-banyak. Saat kutanya bagaimana proposal, ia menjawab, “Aiihh, nda bisa ka’ berpikir sekarang. Nantipi saya pikir proposal. Sekarang ini, cari uang dulu,” katanya. Pantas saja, Pak Azis sibuk melihat celah peluang bisnis dan mencari peluang untuk mempertebal pundi-pundi keuangannya. Yang kuherankan adalah meski masih mencari celah bisnis, namun kesibukannya luar biasa. Ia jarang pulang ke kos. Hari-harinya banyak dihabiskan untuk bertemu orang-orang dan membahas rencananya. Pantas saja, temanku Jaya berkomentar, “Belum dapat proyek saja udah sibuk. Apalagi kalo udah dapat ya. Pasti kita udah dilupain.“

Akhirnya, saya tak mau menyinggung-nyinggung masalah proposal. Ia lalu pamit ke kamar kecil untuk mandi. Rencananya, ia mau traktir makan di Warung Banyumas, yang terletak tidak jauh dari kamarnya. Lama nian kutunggu, ia tak juga keluar dari kamar mandi. Kucatat ada sekitar 45 menit dihabiskannya di kamar mandi. Saat keluar, ia sudah rapi. Beberapa rambut yang tumbuh di dagu dan pipi sudah dicukurnya dengan rapi. Ia terlihat lebih tampan dibanding sebelumnya. Namun, kok kumisnya sama sekali tidak dicukur? “Wah, ini jangan dicukur. Kegantenganku terletak di kumis ini. Sudah inimi yang bikin banyak cewek tergila-gila,“ katanya sambil mematut-matut wajahnya di depan cermin kecil di kamar itu.

Ternyata, kumis bisa menjadi bagian paling seksi bagi seorang pria. Kumis menjadi sumber keberanian sekaligus kekuatan untuk menaklukan yang lain. Persoalan ini bisa tergantung sang pria. Ada yang memandang kumis sebagai unsur paling seksi, ada juga yang melihat rambut atau cambang, kayak Surya Paloh. Kalau tak salah, ada legenda pemuda perkasa bernama Samson yang kekuatan dan “keseksiannya“ terletak di rambut. Ketika rambut itu dipotong, ia langsung lemah dan mudah ditaklukan. Dalam versi Benyamin S, kekuatan itu pindah ke bulu keteknya. Ketika bulu ketek itu dicukur, Benyamin jadi gampang dibengkokkan. Bagaimana dengan Pak Azis? Ia menilai kumisnya yang menjadi unsur yang selalu membuatnya percaya diri. Selalu membuatnya tetap sakti di hadapan siapapun. “Kalau ada kumisku ini, siapa saja yang saya hadapi, pasti akan takluk,“ katanya dengan yakin. Masalahnya, apakah Pak Iwan dan Pak Afid akan gentar saat memandang kumis Pak Azis?

Depok, 2 Desember 2007

Pukul 13.14 WIB (seusai makan siang)

www.timurangin.blogspot.com


0 komentar:

Posting Komentar