1 Desember 2006
KEMARIN aku menghadiri diskusi di Bentara Budaya Jakarta (BBJ). Sebuah diskusi yang interaktif dan seru. Temanya adalah Warisan Geertz untuk Indonesia. Pembicara yang hadir adalah Ignas Kleden, PM Laksono, dan Eri Seda.
Dalam jadwal tertulis kalau acara ini akan dimoderatori oleh Iwan Tjitra Djaja. Ternyata, hingga acara dimulai, Iwan tak juga hadir. Akhirnya, diskusi tetap digelar, meskipun menghadirkan seorang moderator pengganti. Sayang sekali, padahal beberapa teman sesama mahasiswa UI justru ingin melihat Pak Iwan mengadu argumen. Tapi tak apa.
Selain digelar Kompas, acara ini menghadirkan sejumlah penulis opini Kompas. Di antaranya adalah Effendy Gazali, Budiman Sudjatmiko, Agus Muhammad, Dita Indah Sari, Sukardi Rinakit, dan banyak lagi.
Aku sendiri hadir dalam diskusi ini sebagai peserta. Seorang teman dari Litbang Kompas mengundangku untuk hadir. Malah, aku juga menerima SMS dari Ignas Keleden yang memintaku untuk hadir dan menyimak gagasannya.
Dalam diskusi ini, relevansi pemikiran Clifford Geertz dibahas. Semuanya memberikan analisis terhadap studi Geertz serta posisi ilmu sosial hari ini. Rasa kagum atas kerja intelektual Geertz sangat terpancar di forum ini.
Barangkali, tak ada intelektual Indonesia yang bisa mencapai tataran seperti yang dicapai Geertz, sang profesor antropologi dari Harvard University itu. Ia menjadi prasasti dari dedikasi serta ikhtiar yang begitu dahsyat untuk mengembangkan studi budaya serta upaya untuk memaknai dengan dalam setiap ragam kebudayaan dan fenomena sosial.
Karya Geertz yang begitu banyak mulai dari The Interpretation of Culture, After The Fact, Local Knowledge, Work as Author, Negara Theater, hingga The Religion of Java, menyisakan tema-tema yang tak pernah habis dibahas. Satu bentuk persembahan kultural bagi ilmuwan Indonesia untuk mengikuti jejak dan dinamikanya.
Ah, aku tidak ingin berpanjang-panjang membahas tentang bagaimana posisi intelektual Geertz. Di acara itu, aku terkesima melihat bagaimana publik memandang sosok Ignas Kleden.
Apakah yang ada di benak Ignas? Begitu banyak orang yang datang dan memperkenalkan diri kepadanya. Begitu banyak apresiasi atas karya-karyanya yang begitu menggugah dan inspiratif. Bahkan, ada peserta diskusi --yang tak malu-malu-- menyebut buku Ignas yang berjudul Sikap Ilmiah dan Kritik Kebudayaan sebagai sumber inspirasinya.
Apa pula yang ada di benak ilmuwan yang beragama Katolik ini? Di acara itu ia tampil dengan begitu smart dan menguasai persoalan. Semua pertanyaan dan gugatan dari peserta diskusi bisa ditangkisnya. Pemahamannya begitu luas. Aku paling suka bagian ketika dia menjelaskan cara melihat secara proporsional seorang ilmuwan sosial. Menurutnya, harus dilihat dari dua sisi yaitu pengaruhnya pada body of knowledge (tubuh pengetahuan) dan tools of analytical (alat analisis). Dua hal ini laksana dua kepak sayap elang yang mengangkat ilmu pengetahuan membumbung tinggi ke angkasa.
Cara menjelaskannya begitu dalam. Semua ajakan debat diladeninya. Ia memberikan argumen dari sisi epistemologis. Penguasaannya pada dinamika teori kebudayaan dan ranah filsafat telah membuat Ignas tampil dengan sangat berbeda.
Dan itu menimbulkan apresisasi. Banyak pihak yang selalu mengutip gagasannya. Malah, begitu banyak orang yang ingin sekedar berjabat tangan dengannya
Aku teringat film Beautiful Mind tentang seorang fisikawan peraih nobel yaitu John Nash. Dalam film yang dibintangi Russel Crowe ini, ada beberapa adegan yang menurutku sangat menyentuh dan meninggalkan jejak di benakku.
Pada awal film, John Nash datang ke satu kantin di dekat kampusnya di Princeton University. Ia melihat seorang profesor yang berpengaruh memasuki kantin dan duduk di satu meja. Tiba-tiba saja, semua profesor lain serta tamu yang hadir di kantin mendatangi profesor itu sambil menjabat tangannya serta meletakkan pulpennya sebagai simbol apresiasi.
Nash sangat tersentuh melihat apresiasi itu. Siapa sangka, puluhan tahun kemudian, justru ia yang berada pada posisi profesor itu. Di saat duduk di satu meja, semua profesor tiba-tiba saja datang menyalaminya dan ikut-ikut meletakkan pulpen sebagai tanda apresiasi. Ilmuwan yang selama puluhan tahun menderita skhizofrenia atau penyakit gila itu justru akhirnya mendapatkan apresiasi atas atas kontribusinya pada bidang fisika, ekonomi, serta pergulatan hidupnya yang penuh dinamika. Mulai dari penyakt skizophrenia-nya hingga ketulusan sang istri dalam menyembuhkannya hingga normal dan meraih nobel fisika.
Barangkali agak berlebihan jika menyamakan Ignas Kleden dengan John Nash. AKu cuma melihat titik singgungnya: bahwa intelektualitas bisa memiliki pesona yang menyengat. Sebuah gagasan intelektual bisa melahirkan rekahan apresiasi yang tulus dan tanpa interest. Yang ada adalah sebentuk kekaguman sebagai hasil dari titik tengkar debat dan proses menggeluti sebuah pemikiran secara intens.
Ternyata, masih ada saja ruang untuk apresiasi. Selalau saja ada titik untuk mengharagai potensi intelektualitas. Di negeri ini, masih ada ryuang itu, meski kapitalisme secara perlahan menjerat semuanya hingga kita seakan tergagap.
Search
Pengunjung Blog
...
Tentang Saya
blogger l researcher l communication practitioner l lecturer l teacher l IFP Fellow l ethnographer l anthropologist l academia l historian wanna be l citizen journalist l Unhas, UI, and Ohio Mafia l an amateur photographer l traveler l a prolific author l media specialist l political consultant l writerpreneur l social and cultural analyst l influencer l ghost writer l an avid reader l father l Kompasianer of the Year 2013 l The Best Citizen Reporter at Kompasiana 2013 l The 1st Winner of XL Awards 2014 l The 1st Winner of Indonesian Economic Essay Competition 2014 l
0 komentar:
Posting Komentar