Tiga kandidat yang akan berlaga di Pilpres 2024 adalah alumni lembaga ekstra kampus, yakni HMI, GMNI, dan PMII. Mereka menyerap pelajaran, inspirasi, mata air pengkaderan, dan jaringan dari organisasi luar kampus.
Mereka percaya diri karena ada jaringan anak muda dan jaringan alumni di seluruh Indonesia yang siap ikut berperang bersama mereka. Siapa yang akan jadi pemenang?
***
TUMBUH di era Orde Baru, tak membuat Anies Rasyid Baswedan menjadi mahasiswa biasa. Dia memilih aktif di berbagai lembaga kemahasiswaan, mulai senat mahasiswa hingga lembaga luar kampus.
Di masa itu, organisasi ekstra kampus tumbuh dalam pengawasan ketat pemerintah. Beberapa lembaga kemahasiswaan menolak tunduk pada penguasa. Mereka terus bergerilya di kampus-kampus, melaksanakan pengkaderan, hingga tampil terdepan saat berdemonstrasi.
Saat tampil dalam Syawalan Nasional Alumni HMI MPO di Menara Bidakara Jakarta, beberapa tahun silam, Anies bercerita banyak tentang keaktifannya di HMI MPO.
Saat menjadi mahasiswa, HMI yang didapatinya telah terbelah karena intervensi Orde Baru, dan HMI MPO adalah bagian yang tak diinginkan, dimusuhi negara.
Pengkaderannya sering dibubarkan oleh militer, personelnya dikejar-kejar, dan bahkan dalam event nasional seperti kongres pun harus bersembunyi di pelosok daerah dan tanpa listrik.
“Saya beruntung bisa menjadi bagian dari HMI (MPO) ini, kenapa? Jika orientasinya kekuasaan, kira-kira pilih yang mana tahun 1992, pilih yang mana kalau tujuannya kekuasaan?”
Di HMI, dia mengasah kepekaan sosial, serta perlawanan kepada rezim. Sebagaimana aktivis HMI lainnya, kekuasaan hadir untuk mengabdi pada bangsa dan negara, sekaligus memanusiakan manusia Indonesia.
Saat kekuasaan menjadi alat untuk menindas dan memperkuat satu kelompok, anak muda harus tampil ke depan untuk melawannya.
“Masa itu adalah masa di mana pengalaman mengambil posisi bahwa tidak semuanya tentang kekuasaan, tapi ini tentang pilihan perjuangan. Ini bukan apa kata orang hari ini, tapi apa kata sejarawan di masa depan.”
***
LAIN lagi dengan Ganjar Pranowo. Dia menjalani masa kecil di keluarga yang miskin. Ayahnya seorang polisi yang hidup sederhana. Orang tuanya membiayai Ganjar dan lima saudaranya dari bisnis jual bensin eceran. Itu pula profesi yang dilakoni Ganjar semasa kecil hingga remaja.
“Dulu waktu pulang sekolah saya disuruh kulakan bensin eceran. Dulu ya diejek, malu, bahkan waktu mahasiswa pernah hampir putus kuliah. Tapi hari ini kita jadi bangga banget rasanya,” ungkap Ganjar sambil tertawa.
Saat kuliah di Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada, Ganjar aktif di berbagai organisasi kampus. Dia bergabung dengan Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) karena menemukan banyak kesamaan gagasan dengan Bung Karno.
Semasa mahasiswa, dia rajin berdemonstrasi. Di antara cerita yang sering diulanginya adalah saat dia harus mendemo Rektor UGM Prof Kusnadi.
Dia dan teman-temannya malah diajak ngobrol oleh sang rektor. "Saat itu pak Koesnadi, beliau malah bilang 'ngobrol sini, daripada demo-demo'. Jadinya kami ngobrol banyak," ceritanya.
GMNI menjadi kawah candradimuka bagi mahasiswa yang ingin membumikan ajaran marhaenisme. Wadah pergerakan ini terbentuk atas peleburan tiga gerakan mahasiswa yang memiliki asas Marhaenisme.
Ketiganya adalah Gerakan Mahasiswa Marhaenis yang berpusat di Jogjakarta, Gerakan Mahasiswa Merdeka yang berpusat di Surabaya, dan Gerakan Mahasiswa Demokrat Indonesia (GMDI) yang berpusat di Jakarta.
Ganjar dekat dengan Megawati Sukarnoputri. Di tahun 1992, saat masih mahasiswa, Megawati memintanya untuk masuk Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Megawati pula yang memintanya untuk maju sebagai calon legislatif.
Saat itu Ganjar merasa deg-degan luar biasa. Dia tidak percaya diri. Namun permintaan Megawati itu dilaksanakannya dengan sungguh-sungguh, hingga dirinya sukses melenggang ke parlemen.
Dia memasuki babakan baru dalam hidupnya, yakni sebagai aktivis yang punya ruang besar di parlemen untuk berbuat banyak kepada bangsa dan negara. Dia berkesempatan untuk membumikan ajaran Marhaenisme dari Bung Karno di dalam parlemen.
DI kalangan aktivis Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), nama Muhaimin Iskandar sangat harum. Di berbagai Pelatihan Kader Dasar (PKD), namanya disebut sebagai sosok yang melahirkan paradigma kritis transformatif yang kemudian diadopsi PMII.
Pria yang sering disapa Cak Imin ataupun Gus Muhaimin itu dikenal sebagai salah satu saksi sejarah tumbangnya Soeharto sebagai simbol rezim Orde Baru yang gagal mengkooptasi kekuatan Nahdlatul Ulama (NU) pada Muktamar Cipasung tahun 1994. Di muktamar ini, Gus Dur terpilih sebagai ketua umum, sedang posisi Rois Am diamanahkan kepada KH. Moh. Ilyas Ruhiat.
Dia menjadi saksi sejarah yang merasakan langsung bagaimana suasana mencekam tekanan rezim Suharto. Saat itu, dia masih menjabat sebagai Ketua Umum PMII, yang bersama Gus Dur melakukan perlawanan pada Orde Baru.
Di kalangan aktivis PMII, Cak Imin dikenal sebagai sosok yang anti-mainstream. Paradigma Kritis Tranformatif yang digagas Cak imin di PMII menjadi karakter dan warna pergerakan. Pendekatan kritis itu amat berguna saat hendak melihat, menganalisis, dan menyikapi sebuah persoalan.
Seorang kader PMII dituntut untuk kritis dalam memandang realitas, hingga pada ranah aksi, serta menentukan solusi terbaik. Tak mengejutkan saat sejumlah tokoh, termasuk Eros Jarot, menyebut Cak Imin sebagai "anak nakal” karena sikap kritisnya terhadap berbagai hal.
Dia memiliki banyak inisiatif. Di antaranya adalah menjadikan May Day sebagai hari libur nasional, semasa menjadi Menteri Tenaga Kerja. Dia pula yang menjadi inisiator atas Hari Santri Nasional, Nusantara Mengaji, Liga Santri Nusantara (LSN), Liga Desa Nusantara (LDN, Liga Pekerja Indonesia (LPI), Pasar Murah, dan Satgas TKI.
Tiga Pelajaran Penting
Dari tiga sosok yang belatar dari tiga organisasi ekstra kampus itu, kita bisa memetik banyak pelajaran penting. Di antaranya adalah:
Pertama, mata air kepemimpinan nasional masih bersumber dari rahim lembaga ekstra kampus yang konsisten menggelar pengkaderan hingga memiliki jejaring alumni yang luas.
Di era sekarang, kepemimpinan selalu ditentukan seberapa jauh networking atau jaringan yang dibangun seseorang. Lembaga ekstra kampus menjadi buhul yang mengikat para aktivis di berbagai kota, serta membentuk kesadaran untuk berkiprah di level nasional, berkontestasi dengan kader dari berbagai lembaga lain, lalu berjuang bersama untuk merebut posisi strategis.
Kedua, aktivis organisasi memiliki daya lentur yang hebat saat berhadapan dengan kekuasaan. Mereka juga terbiasa berkolaborasi dengan berbagai kalangan masyarakat sipil, sehingga kelak akan lebih luwes dalam perjalanan menuju tangga kekuasaan.
Di zaman ketika organisasi intra kampus hanya membuat mahasiswa jago kandang, organisasi luar kampus mejadi wadah yang mempersatukan banyak pihak, memberi sentuhan ideologi dan pergerakan, hingga memberikan sentuhan intelektualitas.
Di titik ini, seorang aktivis lebih memiliki daya dorong dalam membumikan gagasan-gagasannya.
Ketiga, idealisme di organisasi sedikit banyaknya akan memengaruhi pandangan dan visi seseorang saat memimpin.
Pengalaman beorganisasi akan menjadi jendela untuk memahami satu sosok lebih mendalam. Sebab organisasi akan menempa pemikiran, membukakan jaringan, serta menjadi lingkar inti pertemanan yang kelak membawa seseorang menjadi tokoh politik.
Lantas, dari ketiga tokoh itu, siapa yang akan sukses menjadi presiden? Masih terlalu dini untuk menjawabnya. Semuanya terletak pada kemampuan berjejaring, penguasaan medan pertarungan, hingga strategi merebut kemenangan.
Kita akan menjadi saksi sejarah dalam waktu yang tidak terlalu lama lagi.
0 komentar:
Posting Komentar