Di Jenggot Surya Paloh, Kader Nasdem Menggantungkan Nasib

SYL dan SP

Mendung tengah menggelayut di gedung Nasdem Tower, Jakarta. Selama sepekan terakhir, aktivitas di kantor itu sepi, seakan tidak ada kejadian besar. Padahal, partai itu tengah berada di tubir sejarah. 

Setelah Johny G Plate menjadi tersangka, kini dalam waktu dekat, Syahrul Yasin Limpo (SYL) akan menyusul. 

Mengacu pada informasi di beberapa media, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah menyusun fakta demi fakta untuk membawa SYL ke meja hukum. SYL akan dituduh menerima upeti dari pejabat eselon yang dipakai untuk perjalanan dinas, juga untuk menempati posisi tertentu di kementerian.

Situasi ini menjadi dilema bagi partai. Di satu sisi, partai ini bergabung dalam Koalisi Perubahan, yang berikhtiar untuk membawa Indonesia ke era yang lebih baik. Partai mengusung semangat perubahan atau koreksi pada pemerintahan. Namun di sisi lain, kasus korupsi demi korupsi perlahan menjerat kader partai ini sehingga membuat slogan perubahan itu terasa kosong.

Bagaimana mungkin partai ini hendak mengusung slogan perubahan kalau nilai korupsi kadernya dalam proyek BTS mencapai angka 8 triliun rupiah? Bisakah bicara perubahan kalau kadernya terjebak pada mentalitas “pungut setoran” di kementerian? Masih bisakah partai ini dipercaya menjadi ‘ketua kelas’ di Koalisi Perubahan?

Pertanyaan yang juga mencuat adalah jika korupsi adalah kejahatan sistemik yang bisa dilakukan semua pejabat negeri ini, mengapa pedang hukum seakan fokus menebas Partai Nasdem? 

Memang, korupsi adalah kejahatan yang harus diberantas hingga akar-akarnya. Namun, sebagaimana dicatat Tempo, ada banyak kasus korupsi yang jauh lebih merugikan negara, ketimbang apa yangdilakukan SYL. Di antaranya adalah penyediaan vaksin penyakit kuku dan mulut (PMK) tanpa tender senilai 2,6 triliun. Kemeneterian langsung menunjuk lima perusahaan yang tidak berpengalaman, hanya karena kedekatan.

Nasdem akan terancam mengalami nasib sebagaimana PKS di tahun 2014 yang perlahan mengempis karena kasus korupsi sapi. Demikian pula PPP di Pemilu 2019, yang perlahan tergerus suaranya karena kasus korupsi yang melibatkan ketua umumnya.

Jika Nasdem tetap berada di pemerintahan, maka partai itu akan sirna tersaput angin perubahan. Kosa kata perubahan itu akan menjadi belati yang menikam diri sendiri. Publik kita tidak mau memilih partai yang terindikasi korupsi. Target untuk melejit dan mencapai pemilih dua digit akan menjadi nyanyian pengantar tidur, tanpa sempat mewujud dalam realitas.

Di titik ini, Surya Paloh harus mengambil sikap. Dia tidak perlu lagi berwajah manis dan menyatakan Nasdem adalah bagian dari koalisi. Partai harus tegas menyebut rangkaian peristiwa demi peristiwa ini sebagai by design dari kekuasaan karena partainya memiih pemimpin yang berbeda dari keinginan penguasa.

Partai membutuhkan satu narasi baru yang bisa menjadi wacana tanding dari pedang tajam penegak hukum. Narasi baru itu adalah adanya tebang pilih serta pedang hukum yang hanya menebas ke titik tertentu. Kepercayaan rakyat mesti dibangun kembali agar partai tetap punya marwah di tengah turbulensi politik menjelang tahun pemilu.

Berhadapan dengan banteng KPK membuat partai harus lebih cerdik.Sebagai matador, partai harus pandai memilih langkah yang tepat untuk menghadapi KPK. Berhadapan vis a vis bukanlah solusi. Partai bisa dituduh melindungi koruptor. Untuk itu, partai harus mengambil jalan memutar sembari membangun wacana kalau ini bukan soal penegakan hukum, namun ini soal kriminalisasi ataupun tebah pilih.

Surya Paloh yang kini lebih banyak di Pulau Kaliage tengah gundah gulana. Selama hampir sepuluh tahun, dia dan partainya nyaman di kursi penguasa. Bahkan lima tahun awal, partainya mengendalikan Kejaksaan Agung dan ikut mengendalikan pedang hukum. Kini, pedang yang sama perlahan akan mengancam mereka. Pedang itu menjadi bumerang yang berbalik.

Kali ini, Surya Paloh tak bisa berdiam diri lagi. Ribuan kader di seluruh daerah sedang menunggu sikapnya, apakah membiarkan partainya tenggelam atau segera bangkit dan menyiapkan perlawanan. Ribuan kader menggantungkan nasibnya di jenggot Surya Paloh. 

Saat pilar-pilar partai, yang menjadi simbol dari penerjemahan visi partai untuk rakyat, dirubuhkan, maka dirinya harus segera mengambil sikap.

Dia harus berani menyatakan partainya keluar dari koalisi pemerintahan, sembari menyiapkan taktik baru untuk memasuki gelanggang politik menjelang pemilihan umum. Dia tak bisa lagi menganggap korupsi dua menterinya sebagai perbuatan pribadi yang memperkaya diri sendiri. Dia harus tegas menyatakan itu sebagai kriminialisasi, sembari tetap mengarahkan kemudi partai agar tidak karam.

Jika Otto van Bismarck mengatakan, “Politics is the art of the possible, the attainable — the art of the next best.” Politik adalah seni dari kemungkinan, sesuatu yang dapat dicapai –seni dari pilihan terbaik berikutnya.

Maka Surya Paloh harus mengelola politik sebagai the art of risk management. Dia harus pandai mengelola risiko demi risiko sembari menentukan arah perubahan lalu perlahan menggapainya. Politik adalah jalan berliku, dan politisi adalah mereka yang mengutip Tan Malaka mengalami: “terbentur, terbentur, terbentur, dan terbentuk.”

Bisakah?



0 komentar:

Posting Komentar