Di Tik Tok, Gibran Jauh Kalahkan Ganjar, Prabowo, dan Anies


Di akun Twitter, Gibran Rakabuming Raka tiba-tiba membagikan postingan mengenai survei di Tik Tok. Tajuknya adalah “Vote Tokoh Favorit Kalian dengan Support.” Hasil survei itu disiarkan secara live di Tik Tok.

Dalam survei itu, putra Presiden Jokowi itu mendapatkan 46 persen dukungan Hal itu menjadikan Gibran sebagai tokoh favorit dari warganet dalam survei TikTok itu. Posisi kedua berhasil ditempati Mahfud MD yang meraih 42 persen dukungan. Sementara itu, tiga nama lainnya mendapatkan dukungan yang jauh lebih sedikit dari Gibran dan Mahfud.

Prabowo di posisi ketiga, mendapatkan 8 persen dukungan atau 114 suara. Disusul Anies dengan 4 persen dukungan, atau 58 suara dari warganet. Mirisnya, di posisi kelima, Ganjar harus puas dengan nol persen dukungan, atau disebut hanya meraih 5 suara.

Hasil itu pun tampak disambut oleh Gibran. Pemimpin yang akrab disapa 'Mas Wali' ini mengaku merasa lumayan melihat hasil itu. "Lumayan," tulis putra Presiden Jokowi ini, seperti nampak di Twitter, Jumat (31/3).

Tentunya, survei di Tik Tok tidak menggambarkan realitas sesungguhnya. Survei itu hanya merangkum suara-suara mereka yang saat itu online di Tik Tok dan mau berpartisipasi. Apalagi, Gibran belum cukup umur untuk maju di ajang pilpres 2024, yang mensyaratkan calon presiden harus berusia 40 tahun.

Namun, survei itu menggambarkan pesan kuat tentang suara-suara kaum muda, yang menjadi warga asli dari platform media sosial Tik Tok. Survei itu bisa dilihat sebagai penanda zaman, di mana media sosial Tik Tok kian merajai platform media sosial, dan mulai menjadi rujukan untuk memahami dinamika pemikiran anak muda.

Data We Are Social menyebutkan, pengguna TikTok di dunia diperkirakan mencapai 1,05 miliar pada Januari 2023. Jumlah tersebut meningkat 18,8 persen dibandingkan pada tahun sebelumnya.

Pengguna TikTok paling banyak berasal dari Amerika Serikat. Tercatat ada 113,25 juta pengguna TikTok yang berasal dari Negeri Paman Sam pada awal tahun ini. Saking populernya Tik Tok di Amerika Serikat membuat pemerintah AS khawatir sehingga muncul rumor kalau Tik Tok menjadi alat intelijen dari pemerintah Cina.

Indonesia menyusul di urutan kedua dengan jumlah pengguna sebanyak 109,90 juta pengguna. Jumlah pengguna aktif di Indonesia kian besar seiring dengan pandemi. Laporan dari beberapa lembaga riset menyebutkan, pengguna Tik Tok bukan lagi generasi milenial, tetapi banyak Generasi X dan baby Boomer yang mulai merambah Tik Tok.

Di urutan selanjutnya adalah Brasil dan Meksiko dengan masing-masing pengguna sebanyak 82,21 juta dan 57,52 juta. Sebanyak 54,86 juta pengguna TikTok berasal dari Rusia. Ada pula 49,86 juta pengguna platform media sosial tersebut yang berasal dari Vietnam.

Laporan Business of Apps, menyebutkan, sampai 2021 pengguna TikTok di seluruh dunia didominasi oleh kelompok usia 20-29 tahun, dengan proporsi mencapai 35%. Kemudian pengguna dari kelompok usia 10-19 tahun berada di urutan kedua dengan proporsi 28% secara global. Ada juga 18% pengguna TikTok yang berusia 30-39 tahun, 16,3% berusia 40-49 tahun, dan 2,7% berusia di atas 49 tahun.

Kita bisa melihat betapa besarnya power yang dimiliki Tik Tok dalam memahami percaturan politik, baik di Indonesia maupun negara lain. Bahkan Tik Tok menjadi alat perlawanan dan ekspresi kaum muda melalui kemampuannya menyebarkan berbagai konten receh secara cepat dan massif.

Tik Tok mengingatkan saya pada fenomena New Power yang digambarkan Timms & Heimans (2018) sebagai pergeseran kuasa, dari kuasa yang basisnya formal ke kuasa yang ditandai oleh kerumunan, histeria, dan konten receh.

Masih segar di ingatan kita bagaimana pengguna Tik Tok dan penyuka K-Pop bisa mempermalukan kampanye Preiden Donald Trump saat kampanye di Tulsa, Amerika Serikat.

Pengguna Tik Tok mendaftar ratusan ribu tiket untuk kampanye demi untuk lelucon (prank). Akun resmi kampanye Trump @TeamTrump mem-posting twit yang meminta pendukung untuk mendaftar tiket gratis menggunakan ponsel. Ribuan pengguna Tik Tok dan K-Pop ramai mendaftar, tetapi kemudian tidak muncul.

Kekuatan Tik Tok adalah algoritma unik yang mendukung konten berdasarkan interaksi, ketertarikan dan eksplorasi pengguna sehingga bisa lebih viral. Algoritma Tik Tok membuat audiensi di Indonesia hingga luar Asia Tenggara untuk ikut aktif di konten tertentu, melalui berbagai interaksi dan likes melalui for you page (fyp).

Di Indonesia, kaum muda pengguna Tiktok secara strategis memakai media sosial ini untuk menyatakan sikap protes terhadap undang-undang yang kontroversial UU Cipta Kerja. Ada banyak video konten yang dikemas secara receh, dan disukai hingga jutaan orang, serta diomentari audiens lintas negara.

Dengan kekuatan seperti itu, Tik Tok harus menjadi senjata utama bagi setiap kandidat capres. Tik Tok adalah kekuatan pengubah, yang bisa menggelembungkan satu isu dengan cepat, juga bisa menenggelamkan seseorang dengan cepat.

***

Pilpres tahun 2009 adalah awal mula kampanye melalui Facebook dan Twitter. Tahun 2014 , Facebook masih tetap berjaya, namun perlahan Instagram mulai menguat. Tahun 2019, Instagram mulai menggeser Facebook. Kini, tahun 2024 adalah eranya Tik Tok merajai semua platform media sosial.

Bagaimana menjelaskan posisi Gibran Rakabuming yang jauh meninggakan Ganjar, Prabowo, Anies, dan Mahfud dalam survei di Tik Tok?

Pertama, Gibran adalah sosok pemimpin yang paling diinginkan anak-anak muda pengguna Tik Tok Gibran mewakili karakter pekerja, serta berani berpihak pada keinginan anak muda. Itu terlihat dari polemik mengenai Piala Dunia U-20 di mana Gibran terus menyampaikan konsistensi agar ajang itu digelar, dan berani mengabaikan suara partai.

Kedua, para pengguna Tik Tok adalah mereka yang pilihan politiknya dipengaruh oleh isu-isu terkini dan viral. Saat Ganjar menyampaikan sikap menolak perhelatan Piala Dunia U-20 yang didalamnya ada Israel, maka dia seakan “menggali lubang sendiri” untuk menjadi bahan bully-an dan kritik dari para pengguna Tik Tok.

Dengan pola yang sama, kita bisa memahami bagaimana popularitas Mahfud kian meroket di Tik Tok. Dia menajdi oase dari lambannya penegakan hukum di negeri ini. Dia menampilkan sikap tegas terhadap korupsi sekaligus membuka sesuatu yang selama ini disembunyikan.

Ketiga, jika tidak ada strategi untuk masuk ke Tik Tok, maka sosok Prabowo, Anies, dan Ganjar hanya akan menjadi Old Power yag tidak relevan dengan dinamika anak muda. Mereka gagal membaca apa yang diinginkan anak muda, serta bagaimana merebut perhatian mereka. Kampanye mereka terkesan tua dan pasti akan ditinggalkan oleh laju zaman.

Kedepannya, semua politisi dan calon presiden mesti merumuskan strategi media sosial yang lebih tepat. Tidak lagi hanya mengandalkan konte serius, tetapi ulai mengemas semua hal serius dalam bahasa sederhana dan tepat sasaran.

Sebelum merumuskan strategi konten, perlu memahami big data untuk mengetahui apa aspirasi yang paling diinginkan audience sehingga pesan bisa dikemas lebih tepat dan menyentuh sasaran.

Di Indonesia, semua ajang politik selalu diikuti trend media sosial. Pilpres tahun 2009 adalah awal mula kampanye melalui Facebook dan Twitter. Tahun 2014 , Facebook masih tetap berjaya, namun perlahan Instagram mulai menguat. Tahun 2019, Instagram mulai menggeser Facebook.

Kini, tahun 2024 adalah eranya Tik Tok merajai semua platform media sosial. Suka atau tidak suka, zaman sedang bergeser ke sana. Demi meraih suara kaum muda, perlu memetakan strategi, merumuskan storytelling yang tepat, serta menguasai belantara network society untuk memenangkan persaingan.

Saya teringat catatan sosiolog Manuel Castells dalam buku Network Society. Dia menyebut tentang sosok The Planners, yang digambarkan sebagai sejumlah orang yang mengendalikan informasi.. Para Planner merancang alur permainan, mengamati tindakan manusia lainnya melalui algoritma, lalu merancang satu permainan di mana orang-orang serupa pion yang satu demi satu berkelahi dan dikorbankan demi mengejar angan-angan kesejahteraan.

Kini, kita menyaksikan kerja The Planners yang menentukan suka atau tidaknya kita terhadap setiap politisi, capres, maupun caleg. Semuanya terjadi di arena media sosial, termasuk Tik Tok. Apa sebagai warga kita tetap punya kebebasan? Ataukah kita hanya pion yang menunggu trending dan viral?



0 komentar:

Posting Komentar