Pendekar HMI dari Mazhab CIPUTAT

 

Azyumardi Azra (kiri) saat tampil dalam satu diskusi di Ciputat, akhir tahun 1977

Mulanya dia diajak masuk Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM). Namun, dia lebih memilih gabung dengan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Dia pun pernah menjadi demonstran yang pernah dikejar-kejar aparat.

Hingga takdir mengantarkannya pada titian sejarah sebagai muadzin bangsa yang penuh integritas. Dia seorang ilmuwan yang tak hanya tekun menuliskan data sejarah, tetapi juga punya suara jernih yang menembus hingar-bingar suara-suara di pemerintahan.

Dia, Azyumardi Azra.

***

Tahun 1975, dia bertolak meninggalkan Pelabuhan Teluk Bayur, Padang. Dia menuturkan bagaimana lagu tentang Teluk Bayur itu terus mengiang di benaknya. Dia ke Jakarta untuk mendaftar di kampus IAIN.

Otaknya memang encer. Dia tak perlu tes untuk masuk di kampus Islam terbesar di ibukota. Di masa itu, gerakan mahasiswa sedang dipenuhi gelora perlawanan. Pemerintah merepresi mahasiswa karena banyaknya keterlibatan dalam politik praktis. 

Saat itu, Azra kerap memimpin demonstrasi mahasiswa Ciputat. Dia memprotes kebijakan pemerintah yang hendak memasukkan para penganut aliran kepercayaan ke dalam haluan negara atau GBHN.

“Saya dikejar-kejar hingga sembunyi,” kata Azra dalam wawancara di kanal Youtube milik Jajang Jahroni. Dia menyaksikan gurunya, Profesor Harun Nasution digebuk aparat. Beberapa dosen ikut digelandang aparat

Azra memiih untuk tetap berlari dan sembunyi. Dalam pelariannya, dia diminta pamannya untuk menemui seorang militer asal Pariaman bernama Letkol Anas Malik. “Daripada kamu dicari-cari terus, lebih baik temui dia. Minta perlindungan,” kata pamannya.

Beruntung, Letkol Anas Malik siap memberi jaminan. Namun, Azra tetap menjadi wajib lapor. Saat itu, dia merasa perlu untuk bergabung di organisasi ekstra kampus.

Seorang mahasiswa asal Padang Bernama Uda Risman mengajaknya gabung di IMM. Uda Risman adalah putra pemiik warung Padang di sekitaran Ciputat.

Uda Risman merupakan putra dari pengusaha warung Padang. Alasannya mengajak Azra bergabung di IMM terbilang sederhana. Sebab di organisasi mahasiswa Muhammadiyah itu banyak orang Padang yang bergabung. "Kalau kamu ada yang gangguin, siapa yang bela kamu," kata Azra menirukan.

Meski ditawari gabung IMM, Azra justru memilih bergabung di Himpunan Mahasiswa Islam atau HMI. Ia ikut maperca pada 1977. Di HMI, kariernya terus meroket.

Mulanya dia mengurus bulletin. Setelah itu, dia memimpin Departemen Penerangan di HMI. Hingga akhirnya dia menjadi Ketua Umum HMI Cabang Ciputat. Di masa menjabat, dia menjalin relasi dengan Din Syamsuddin yang menjadi Ketua Umum IMM. Juga dengan Suryadharma Ali yang memimpin PMII.

Namun secara intelektual, Azra meniti di jalan yang diretas oleh seniornya di HMI yakni Nurcholish Madjid yang kerap disapa Cak Nur. Di masa itu, Nurcholish ibarat matahai intelektual yang menyengat banyak anak-anak muda.

Nurcholish adalah tipe cendekiawan yang bicara apa adanya. Kejujuran dan kejernihan intelektualnya sering disalahpahami oleh banyak kalangan. Nurcholish menjadi ikon dari kecendekiawanan yang tumbuh dari HMI, serta ekosistem intelektual di Ciputat.

Sebagai matahari, Nurcholish menarik banyak pihak untuk mengitarinya, baik di HMI maupun kampus IAIN Ciputat. Di antara banyak sosok, nama Azyumardi Azra dan Komaruddin Hidayat menjadi sosok yang paling menonjol.

Mereka produktif dalam mengisi wacana di berbagai media. Mereka menulis artikel, hadir dalam berbagai diskusi, serta mewarnai kajian-kajian keislaman.

Nurcholish selalu berbicara tentang Islam dan peradaban, Komaruddin Hidayat sering membahas wacana tasawuf, sedangkan Azra menggali kearifan para ulama Nusantara yang dahulu menjadi jejaring untuk menyebarkan pemikiran keislaman.

Para aktivis HMI di Ciputat memberi julukan pada ketiganya sebagai peletak Mazhab Ciputat. Ketiganya adalah para pendekar HMI.

Nama mereka juga ditulis dalam daftar paling atas buku berjudul "Dekonstruksi Islam Mazhab Ciputat" yang ditulis Fachry Ali, Kautsar Azhari Noer, Budhi Munawar Rahman, Saiful Muzani, Hendro Prasetyo, Ihsan Ali Fauzi dan Ahmad Sahal.

Jejak Azra di jalur intelektual terus bergerak. Dia belajar ke Amerika Serikat untuk menjadi sejarawan Islam yang menekuni kajian Asia Tenggara. Dia produktif menulis artikel, buku, dan makalah.

Pemikirannya tentang jaringan Islam Nusantara menjadi karya penting yang membentangkan bagaimana jejaring para ulama yang secara brilian telah menyebarkan ide-ide keislaman hingga berbagai penjuru Nusantara. Dia mengajarkan, keindonesiaan adalah hasil dari dialog-dialog kebudayaan yang di masa lalu telah mempertemukan para ulama dalam satu jejaring kuat.

Azra berbicara tentang Islam Nusantara, jauh sebelum kalimat itu menjadi slogan dari pemerintah dan ormas di masa kini. Azra selalu menekankan pentingnya Islam wasatiyah atau Islam jalan tengah, yang diharapkan bisa menjadi pilihan terbaik di tengah bangsa Indonesia yang majemuk.


Tak cuma bicara sejarah, Azra juga selalu membahas isu-isu kebangsaan yang actual. Di berbagai media, dia sering berbicara tentang korupsi serta pentingnya integritas. Dia pun menjadikan integritas sebagai napas dari semua gerak langkahnya di jalur akademisi yang mempertemukannya dengan banyak politisi. 

Dia seteguh karang yang berani menarik jarak dari para politisi. Dengan car aitu, dia bisa lebih kritis dan tidak ada beban saat mengingatkan pemerintah untuk tetap berada di aras kebangsaan dan pengabdian pada rakyat.

Baginya, kebangsaan adalah sesuatu yang sudah selesai. Islam tidak perlu dipertentangkan dengan kebangsaan, sebab cinta tanah air adalah ekspresi dari keimanan.

Dia pun percaya, kemajuan Indonesia adalah kemajuan umat Islam. Sebab umat Islam adalah pihak mayoritas yang mengisi semua lini. Kemajuan itu adalah kerja bersama semua kalangan, di mana spirit Islam mengisi semua ruang-ruang kebangsaan.

Dia pun meninggalkan warisan berharga berupa buah-buah pemikiran. Dalam perjalanan ke Malaysia, dia mempersiapkan makalah yang isinya adalah summary atau intisari pemikirannya tentang keislaman.

"Kebangkitan peradaban juga memerlukan pemanfaatan sumber daya alam secara lebih bertanggung jawab. Sejauh ini, kekayaan alam di Indonesia dan agaknya juga di Malaysia cenderung dieksploitasi secara semena-mena dan tidak bertanggung jawab,” tulisnya.

Dia meminta agar kaum Muslimin perlu memberi contoh tentang penerapan Islamisitas atau nilai-nilai Islam secara aktual dalam penyelamatan alam lingkungan dan sumber daya alam.

Di titik ini, dia ingin kaum Muslim memperkuat integritas diri pribadi dan komunitas, sehingga dapat mengaktualkan Islam rahmatan lil'alamin dengan peradaban yang juga "menjadi blessing bagi alam semesta."

Kini, muadzin bangsa itu telah pergi. Kita hanya bisa mengenang dan mencatat semua warisan berharganya untuk Indonesia. Kita mengenang dirinya sebagai sosok yang selalu ingin mengajak bangsa untuk selalu kembali ke jalan yang lurus.

Selamat jalan. 

 


2 komentar:

Anonim mengatakan...

Keren ulasannya

UmmiDzaFAz mengatakan...

Keren

Posting Komentar