Pemasar GILA

 


Dunia akan menjemukan jika tak ada The Beatles. Demikian kata seorang kawan saat kami jumpa di satu kafe. Saat itu, kami sama-sama menghadiri acara The Beatles Night.

Beruntunglah mereka yang menyenangi racikan nada-nada anak muda asal Liverpool. Beruntunglah mereka yang mengenal para dewa-dewa, penentu arah baru dalam musik.

Kawan itu bercerita tentang Paul McCartney dan George Harrison, dua dari empat personel The Beatles, yang bersekolah di tempat sama. Mereka belajar musik pada guru yang sama di sekolah itu.

Kita mungkin mengira mereka adalah murid terbaik di kelas music. Kita bayangkan, nilai-nilai mereka tertinggi. Namun, kenyataan justru sebaliknya. Mereka bukan kesayangan guru. Mereka tenggelam di antara banyak siswa.

Guru musik di kelas itu gagal mengenali bakat dari dua musisi yang kemudian legendaris. Sekolah hanya melahirkan musisi dengan nilai tertinggi, bukan mereka yang imajinatif. Sekolah itu tidak membangun satu ekosistem bagi mereka yang berpikir gila

Hingga akhirnya sekolah itu tutup karena krisis ekonomi. Paul dan George lalu bergabung dengan John dan Ringo. Kita tahu kisah selanjutnya. Sejarah musik tercipta. The Beatles menjadi grup musik yang fenomenal. Pesonanya menyengat hingga kini.

“Dunia memang butuh orang gila. Namun orang gila juga butuh ekosistem yang mendukung,” kata kawan itu. Menurutnya, The Beatles bisa mencapai level itu karena punya ekosistem yang mendukung semua ide-ide gila. Mereka ibarat benih baik yang tumbuh di atas lahan gembur.

Saya setuju dengan kalimat kawan itu. Orang gila melihat dunia dengan cara berbeda. Mereka berani berpikir di luar apa yang danggap normal dan umum kalangan awam. Mereka punya banyak ide, namun dianggap aneh oleh zaman dan massa yang terbiasa dengan kenormalan.

Saya ingat pengalaman seorang kawan di satu industri kreatif. Kawan itu selalu mencari siapa karyawan yang punya ide-ide gila, serta tahu langkah-langkah untuk mewujudkannya.

Disiplin, patuh, dan taat tidak berlaku di industri kreatif. Yang dicari adalah sosok yang berani berpikir di luar kotak. Kalau perlu berpikir tanpa ada kotak. Think like there is no box!

Di satu BUMN, kegilaan itu malah diperlombakan. Tema besar yang diusung adalah “Are you crazy enough?” Semua karyawan diminta masukan ide-ide gila untuk memasarkan produk. Yang dicari adalah ide tergila, ide teraneh, ide terliar dan ide paling berani. Ide terbaik akan diimplementasikan.

Mantan Dirut Pertamina, Ahmad Bambang, menilai karyawan dari level kegilaan (craziness). Strata paling bawah adalah level pemalas (lazy). Mereka punya potensi dan kemampuan, tapi rendah motivasi.

Di atasnya adalah level bodoh (stupid). Mereka punya kemauan tapi tidak punya kemampuan. Level pemalas dan bodoh ini sama-sama jadi beban perusahaan.

Di atasnya ada level jenius, smart, kreatif. Puncaknya adalah level gila. Kenapa gila berada di level tertinggi? Sebab orang jenius, smart, dan kreatif punya banyak ide, namun belum tentu sanggup mengeksekusinya.

Mereka punya banyak ketakutan-ketakutan serta hambatan dalam mewujudkan gagasan. Mereka terlalu pintar hingga menemukan banyak alasan untuk menunda atau membatalkan setiap rencana.

Sementara orang gila adalah mereka yang paham bagaimana mewujudkan semua gagasan. Mereka berani mengambil risiko, siap bertanggung jawab, dan perlahan menuai buah dari kerja-kerja yang ditanamnya.

Sekadar punya ide cerdas tak cukup. Jauh lebih penting mengeksekusinya, lalu membangun orkestra di mana semua orang tahu nada apa yang harus dimainkan. Di titik ini, ide akan tumbuh jika ada keberanian dan kemampuan untuk menghadapi semua badai dan tantangan.

Saya sedang memikirkan The Beatles, saat penyanyi cantik dan berbaju seksi turun panggung. Dia mendekati saya yang duduk di barisan VIP, sembari bernyanyi:

“There were bells on a hill

But I never heard them ringing

No, I never heard them at all”

Dia menyodorkan pelantang suara ke mulut saya. Spontan saya berdendang: “Till there was you.” Dia berteriak: “Wah, Om gak cuma ganteng, tapi juga pintar nyanyi. Ayo nyanyi bareng di panggung.”

Rasanya hendak marah saat dipanggil Om. Harusnya panggil Kakak, atau Akang. Masak Om?

 


1 komentar:

Anonim mengatakan...

Untuk nggak dipanggil Mbah....qiqiqiqiqiqi

Posting Komentar