Squid Game

 


Serial Squid Games yang tayang di Netflix ibarat roller coaster yang bikin kita sesaat menahan napas. Serial ini bisa bikin stop jantung buat mereka yang tak tahan melihat amis darah dan pertandingan hidup mati. Kita serasa menumpang mobil kecepatan tinggi, di mana setiap saat bisa menabrak tebing.

 Serial ini serupa Hunger Games, di mana para remaja saling bunuh dalam satu permainan. Juga mirip Alice in Borderland yang tayang di Netflix dan menampilkan dunia parallel di mana para pemain game menyabung nyawa.

Namun Squid Games seakan menarik semua kengerian sampai pada level maksimal, sembari menyelipkan pesan-pesan moral, ketimpangan sosial, serta mimpi-mimpi sejahtera ala kapitalisme modern.

Settingnya lebih banyak di satu pulau kosong, yang menjadi lokasi dari permainan game penuh tantangan. Di sini, ratusan orang memainkan permainan tradisional khas anak-anak Korea, yang dimainkan secara kolektif.

Hanya saja, di permainan ini, nyawa menjadi taruhannya. Semua orang harus siap bertarung. Di setiap level, satu demi satu pemainnya tewas mengenaskan, hingga menyisahkan satu orang di level akhir.

Mereka yang bermain adalah mereka yang terabaikan dalam realitas sosial. Ada pengangguran yag terjerat utang, perempuan pencopet yang harus bertarung di jalan-jalan demi adiknya, juga seorang magister lulusan sekolah terkemuka tapi dililit utang dan dalam bayang-bayang ekspektasi orang tuanya.

Mereka merasa gagal dalam hidup. Saat ada tawaran bermain game demi mendapatkan hadiah miliaran, mereka siap bertarung nyawa, bahkan harus mengalami dilema antara sisi materialis dengan sisi kemanusiaan dalam dirinya.

Mengikuti serial ini serasa membaca ulang beberapa literatur dalam sosiologi kontemporer. Bagian ketika sejumlah orang kaya merancang permainan ini hanya untuk bersenang-senang mengingatkan saya pada The Planners, yang dalam bukunya sosiolog Manuel Castells, digambarkan sebagai sejumlah orang yang mengendalikan informasi dalam satu network society.

Para Planners merancang alur permainan, mengamati tindakan manusia lainnya melalui algoritma, lalu merancang satu permainan di mana orang-orang serupa pion yang satu demi satu berkelahi dan dikorbankan demi mengejar angan-angan kesejahteraan.

Logika yang sama bisa menggambarkan alur dari kebijakan publik. Kebijakan itu dirancang oleh orang-orang kaya dan pintar yang sasarannya adalah orang miskin. Dari satu ruang kaca, mereka lalu memantau statistik berapa orang yang berhasil keluar dari jerat kemiskinan. Mereka menyaksikan bagaimana kita berjibaku di lapangan kehidupan untuk keluar dari krisis.

Belakangan, saya banyak menyaksikan bagaimana crazy rich bermunculan sembari berkoalisi dengan pemerintah berkuasa. Mereka membahas kebijakan untuk rakyat yang bermuara pada strategi agar kekuasaan tetap di genggaman. Dengan cara itu, mereka tetap kaya dan berpengaruh.

Dunia memang kian renta. Orang kaya bermunculan. Tapi orang miskin tetap saja jauh lebih banyak, yang sialnya, selalu jadi obyek dari berbagai kebijaksanaan. Orang miskin sering jadi kayu bakar sekadar untuk menerangi malamnya orang kaya.

Namun, kisah ini juga menyajikan antithesis. Setelah menang dan kaya, lantas apa? Bukan hanya miskin, kaya pun bisa membawa kita pada kehampaan. Tak ada greget. Tak ada lagi suka cita ala anak kecil bermain. Uang tak selalu jadi solusi, tapi manusia mengejarnya sepenuh hati, hingga siap mengorbankan nyawa manusia lainnya.

Serial ini sesaat membuat kita merenung. Dunia Squid Games adalah dunia kita. Kita adalah bagian dari permainan itu sendiri.


0 komentar:

Posting Komentar