Saat Membaca "The Age of Surveillance Capitalism"

 


Ini jenis buku yang muram. Ini buku mengenai distopia. Isinya mengingatkan saya pada Homo Deus yang ditulis Yuval Noah Harari. The Age of Surveillance Capitalism membahas tentang betapa kita hanya menjadi pion di tengah percaturan perusahaan teknologi informasi.

Sejak pandemi, saya memperhatikan banyak orang di sekitar saya yang menghabiskan waktu selama lebih dari tujuh jam per hari untuk memandangi layar HP. Seorang kawan pemateri di acara Siberkreasi bilang lebih dari tujuh jam.

Selama tujuh jam, kita dalam pengawasan dari berbagai platform milik perusahaan besar. Kapitalisme telah mengawasi semua prilaku kita, lalu perlahan menggiring kita untuk menyukai lalu membeli sesuatu.

Teknologi perlahan mengubah peradaban kita. Dulu, Ketika mesin cetak ditemukan Guttenberg, pengetahuan menjadi mudah tersebar ke mana-mana, yang kemudian menggoyahkan gereja di abad pertengahan. Teknologi mengkalibrasi ulang pemikiran kita, sehingga ilmu pengetahuan lahir sebagai anak kandungnya.

Kini, di era Zuckerberg, kapitalisme hadir dalam bentuk baru. Bukan lagi dalam iklan dan baliho, tapi dalam semua aktivitas yang terpantau di media sosial.

Shoshana Zuboff, professor perempuan di Harvard, memotret femomena ini dengan sangat baik. Dia membahas mutan baru dari kapitalisme yang menggunakan teknologi. Zuboff menyebut mutan baru ini sebagai “kapitalisme pengawasan.”

Kapitalisme ini bekerja dengan menyediakan layanan gratis yang digunakan oleh miliaran orang dengan senang hati, memungkinkan penyedia layanan tersebut untuk memantau perilaku pengguna tersebut dengan detail yang mencengangkan – seringkali tanpa persetujuan eksplisit mereka.

Sekali lagi ini buku yang muram. Manusia tidak lebih dari data yang terus-menerus dianalisis dalam mesin Big Data. Cara berpikir kita digiring mengikuti algoritma.

Saya ingat dalam banyak diskusi yang diadakan Siberkreasi, banyak orang menyebut kecanduan digital yang semakin parah. Zuboff punya jawaban lengkapnya. Saya baru lembaran ke-100. Butuh kesabaran untuk menuntaskan sampai 700-an halaman.

Meski belum tuntas, buku ini sudah serupa hantu yang bikin takut. Saya tiba-tiba saja ingin menghentikan semua aktivitas di internet. Tapi saya belum siap kehilangan rutinitas untuk menyapa orang2 dan saling komen.

Zuboff telah menyalakan banyak cahaya di ruang gelap.


2 komentar:

celotehnur54 mengatakan...

Bukunya bagus. Tapi melihat judulnya, kemampyan bahasa Inggris saya mundur duluan. He he ... Saya juga belum siap kehilangan rutinitas menyapa dan saling komen, Mas Yusran. Padahal usia saya telah mendekati garis finish. Ya, udah. Ikuti saja.

Prayogo mengatakan...

Ditunggu tulisannya berikutnya.

Posting Komentar