Suatu Hari Bersama para HUMAS

 



Jika saja tak diundang ke Banten, saya tak banyak tahu apa domain kerja para praktisi Humas atau Public Relation sekarang. Selama ini saya hanya melihat akrivitas Humas lebih banyak membuat pres-rilis dan membangun jaringan dengan jurnalis.

Rupanya, itu anggapan yang sudah kuno. Sekarang, semuanya sudah berubah. Sejak gong revolusi 4.0 ditabuh, Humas terus berkembang.

Di kantor Kanwil Kemenkumham Banten, saya melihat perubahan itu. Divisi Humas di sana telah memiliki perangkat Podcast. Mereka juga mengelola akun media sosial, mulai dari Instagram, Youtube, hingga Facebook.

Rupanya, Humas Jaman Now dituntut untuk menjadi kreator konten. Para Humas harus mengelola portal informasi. Mereka harus langsung menyapa publik dan membuat konten yang disukai. Padahal, dulu mereka hanya andalkan para jurnalis.

Saya pikir, ini perubahan yang positif. Di daerah2, anggaran Humas habis hanya untuk para jurnalis. Padahal tidak semua punya media yang jelas. Malah sering jurnalis (atau bisa jadi orang yang mengaku jurnalis) “memeras”instansi, apalagi jika menemukan ada yang keliru.

Bisa Anda bayangkan, betapa banyaknya biaya siluman hanya untuk menjaga aliran informasi ke publik.

Tapi sekarang, lagu lama itu perlahan mulai ditinggalkan. Sekarang, Humas harus lebih aktif. Mereka harus mengelola informasi dan menggunakan kanal media sosial, yang gratisan itu untuk berbagi.

Seorang kawan bercerita betapa rapinya organisasi kerja Kantor Staf Presiden dalam mengelola informasi. Mereka mengelola semua akun informasi terkait Presiden. Mereka sangat aktif menyebarkan aktivitas, serta gagasan-gagasan.

Saya melihat ada trend baru. Dulu, pejabat publik mencari jurnalis untuk memuat informasi. Sekarang, malah para jurnalis sibuk memantau akun media sosial pejabat itu untuk dimuat di medianya. Pernyataan di medsos bisa menjadi “fïrst hand reality.

Namun, apakah semua Humas siap beradaptasi dengan era baru di mana mereka harus lebih produktif?

Saat di Banten, para Humas memperlihatkan medsos yang mereka kelola. Kesan saya, medsos itu terlalu kaku. Medsos itu dikelola dengan gaya yang terlalu Humas. Informasi yang disajikan lebih banyak tidak penting. Misalnya upacara bendera, pejabat gunting pita, atau acara rapat.

Informasi itu tak bermakna bagi publik. Sebagai warga biasa, saya akan komentar, “Ngapain saya like dan share postingan itu. Gak ada manfaatnya buat saya.”

Namun, saat diskusi, saya menggali banyak hal dari mereka. Rupanya, ada banyak hal pemting yang bisa diolah menjadi konten. Sayangnya, mereka terpaku dengan gaya lama. Pantasan, postingannya kaku dan tidak menarik. Wajar jika tidak dilirik.

Saya pikir, mereka harus banyak belajar bagaimana membuat konten menarik. Jika ingin viral, tentunya ada beberapa jenis konten yang bisa dibuat. Tak harus joged-joged lalu tergelincir karena menginjak kulit pisang. Hal-hal sederhana tapi penuh makna pun bisa jadi viral.

“Tapi apakah etis jika akun pemerintah bikin postingan receh?”seseorang bertanya. Lagi-lagi ini mindset keliru, bahwa postingan itu harus receh.

 


Sebagai penggiat medsos, saya berkali-kali membuktikan kalau konten yang penuh makna, tapi dikemas santai, bisa lebih diterima publik. Pengalaman saya cukup banyak dalam membuat konten yang positif, tapi disukai banyak orang.

Meskipun pelatihan itu singkat, tapi saya menyerap banyak hal. Saya melihat banyak peluang bisnis untuk mengembangkan pelatihan sejenis. Minimal bisa jadi konsultan di berbagai instansi yang ingin perkuat lini Public Relation di era 4.0.

Saya teringat semasa kuliah di Ilmu Komunikasi. Ada dua jurusan yakni Jurnalistik dan Public Relation.

Kami yang lelaki dan merasa suka petualangan, pasti akan ambil jurnalistik. Sementara cowok ganteng, dan juga cewek cantik, biasanya pilih Humas. Beberapa teman mengaku tidak bisa menulis dan ingin ambil profesi yang lebih banyak networking.

Nah, apa respon kawan-kawan itu saat lihat kerja Humas sekarang mau tak mau harus banyak menulis dan membuat konten? Saya sungguh penasaran.


0 komentar:

Posting Komentar