KRISDAYANTI Bukanlah Marhaen yang "Menghitung Hari Detik Demi Detik"

 


Krisdayanti senyum-senyum manja saat ditanya gajinya. Dia seperti kebanyakan orang Indonesia yang malu-malu kucing menyebut berapa penghasilannya sebulan. Setelah didesak, barulah perempuan yang lolos DPR RI melalui partai banteng ini bicara apa adanya. Gajinya selangit. Wow.

Buat Anda yang sedang terlibat banyak cicilan di bank, atau Anda yang sibuk menghindari debt collector, jangan iri dengannya. Bahkan bagi Anda yang malu keluar rumah karena utang menumpuk, terimalah kenyataan ini.  Anda yang masih melakukan ritual “babi ngepet”untuk kumpulkan receh demi receh, jangan cemburu yaa.

Dia merinci pendapatannya. "Setiap tanggal 1 masuk Rp 16 Juta, tanggal 5 Rp 59 juta ya kalau tidak salah," katanya.

Dia juga mengungkapkan perihal dana aspirasi. Anggota Komisi IX DPR itu mengaku menerima dana aspirasi sebesar Rp 450 juta. "Itu memang wajib untuk kita. Namanya juga uang negara. Dana aspirasi itu Rp 450 juta, lima kali dalam setahun," ungkapnya.

Tak sampai di situ, Krisdayanti juga mengaku menerima uang untuk kunjungan ke daerah pemilihan (dapil), yang dilakukan saat masa reses. Uang kunjungan ke dapil ini diterima delapan kali setiap tahun. "Uang kunjungan ke dapil Rp 140 juta. Itu 8 kali setahun," ungkapnya.

Nah, itu belum cukup. Dia masih punya amunisi untuk membuat sakit hati para Sobat Misqueen. Selama menjadi anggota DPR RI, dia tetap bisa manggung selama tidak mengganggu kerjanya saat melayani masyarakat. "Boleh manggung di hari kerja asalkan lokasi di sekitar Jakarta dan malam hari," ujarnya.

Sebenarnya, komentar ini biasa saja. Dia hanya menampilkan realitas yang dialaminya setiap hari. Sebagai anggota dewan yang mulia, dia tak perlu harus banting tulang dan mengais rezeki di jalan-jalan. Dia cukup dandan, datang ke ruang sidang, tak perlu fokus pada apa yang dibahas, lalu “menghitung hari” kapan gajian. Pundi-pundinya akan selalu terisi.

Dia hanya lupa kalau komentar itu tidak sepantasnya disampaikan dalam situasi sekarang. Banyak rakyat yang berusaha bertahan hidup saat kehilangan pendapatan di masa pandemi. Seharusnya dia lebih berempati terhadap derita dan kesedihan wong cilik di basis-basis suaranya yang tengah berusaha untuk bertahan. Maka tak perlulah cengengesan itu.

BACA: Garis Batas yang Memisah Selama 22 Tahun


Dia dibayar mahal oleh negara untuk satu tanggung jawab. Dia menerima kucuran duit yang dikumpulkan dari pajak rakyat. Mulai dari rakyat kaya hingga rakyat yang harus rela karena saat membeli telur, tetap ada potongan pajak. 

Perempuan cantik yang dahulu memulai karier dari kompetisi menyanyi Asia Bagus ini mendulang suara terbanyak di daerah pemilihan (Dapil) Malang Raya, yakni Kota Malang, Kota Batu, dan Kabupaten Malang.

Di DPR RI, dia bertugas di Komisi IX yang menaungi bidang Kesehatan dan ketenagakerjaan. Seharusnya, dia jauh lebih sibuk dari anggota komisi lainnya. Hampir dua tahun Indonesia terserang pandemi. Banyak korban berjatuhan, baik tenaga medis maupun rakyat biasa. Dia berada di titik di mana kesehatan tengah dalam sorotan, agar anak bangsa tetap selamat melalui badai pandemi.

Sejatinya, tak masalah dia dibayar selangit. Tapi, ada tuntutan tanggung jawab besar atas apa yang dia terima. Dia duduk di situ "karena dipilih, bukan dilotre". Dia diharapkan membayar semua dukungan itu melalui kerja keras serta keberpihakan.

Sayang, suara merdunya hanya nyaring di panggung-panggung hiburan. Di panggung dewan, suaranya nyaris tak terdengar. Jauh lebih sering menemukan suaranya saat ribut dengan Aurel, atau saat dirinya sedang membela Raul Lemos. Jika ditanya, mungkin saja dia akan berdendang “Kutak Sanggup.”

Politik kita memang serupa panggung. Apa yang tersaji di situ, tak selalu merupakan realitas sebenarnya. Tapi bagi politisi sekelas Krisdayanti, dunia politik memang panggung dalam pengertian sebenarnya.

Lihat saja di Senayan, dia tetap tampil mentereng. Sapuan gincu merah selalu terlihat di bibirnya. Ruang dewan serupa panggung untuk show. Bahkan di saat krisis pun, dia tetap tampil serupa barbie yang selalu glamour di banyak kesempatan.



Kehidupan memang tak selalu menanti keajaiban, sebagaimana syair “menghitung hari detik demi detik.” Ada orang seperti Krisdayanti yang menjalani hari dengan sedikit senandung “Cobalah untuk Setia.” Dia cukup datang, duduk, diam, dengar, lalu duit. Semuanya lancar.

Yah, ada rasa sedih saat membayangkan dunia politik kita yang sudah lama kehilangan ideologi. Partai yang menjadi rumah bagi Krisdayanti itu adalah partai wong cilik. Di situ, ada ideologi yang ditanamkan oleh Bung Karno untuk berpihak pada rakyat kecil.

Mulanya, Bung Karno bersepeda di selatan Bandung. Bung Besar ini berdialog dengan seorang petani pemilik lahan kecil. Petani itu punya istri dan empat anak, yang dibiayai dari lahan sempit, yang merupakan warisan. Di mata Bung Karno, petani kecil bernama Marhaen itu adalah potret rakyat Indonesia yang punya alat produksi, tetapi hanya untuk sekadar bertahan hidup.

“Di saat itu cahaya ilham melintas di otakku. Aku akan memakai nama itu untuk menamai semua orang Indonesia yang bernasib malang seperti dia! Semenjak itu kunamakan rakyatku Marhaen,” tutur Sukarno.

Hari ini, puluhan tahun setelah Bung Karno merumuskan marhaenisme, yang kemudian jadi ideologi partai merah, kita melihat kenyataan yang amat jauh. Tak semua menjadi pengawal marhaen. Malah banyak yang menikmati tetes keringat marhaen sembari cengengesan saat ditanya gaji.

Kita rakyat kecil yang merupakan anggota “Sobat Misqueen”hanya bisa menyaksikan lakon di panggung politik. Krisdayanti bisa duduk di sana karena pilihan yang kita jatuhkan lima tahun lalu. Lebih baik kita sabar menunggu Pemilu berikutnya, sembari mendendangkan lagu:


Menghitung hari detik demi detik

Menunggu itu 'kan menjemukan

Tapi kusabar menanti jawabmu

Jawab cintamu


3 komentar:

Catatan Jhoni mengatakan...

Mantap kakak..😊

Inang Rama mengatakan...

Makin geram Saya bang, makasih buat tulisanmu,

gilangoktaviana mengatakan...

Ya Allah... setaun dapet 450 juta lima kali 🙃

Posting Komentar