DI media sosial, orang-orang sibuk menyalahkan banyak hal terkait bencana gempa dan tsunami di Palu. Mulai dari BMKG yang dinilai tidak bisa mendeteksi adanya tsunami, teknologi deteksi yang jadul dan tidak berfungsi, hingga sibuk membagikan artikel tentang bagaimana negara lain, di antaranya Jepang, mempersiapkan diri.
saat singgah di Pulau Simeulue |
Dalam satu perjalanan ke pulau kecil di Aceh, saya bertemu peneliti Jepang yang terheran-heran menemukan fakta, saat tsunami menewaskan ratusan ribu warga Aceh, justru hanya ada tujuh orang tewas di pulau kecil yang jaraknya paling dekat dengan pusat gempa itu.
Padahal, penduduknya hampir 70 ribu orang. Warga Pulau itu selamat berkat syair dan dongeng yang dituturkan turun-temurun.
Makanya, ketimbang sibuk menyalahkan teknologi canggih yang bisa mendeteksi tsunami, mengapa kita tak berpaling pada bagaimana merawat hikayat, dongeng, syair, dan kearifan kita yang telah terbukti selama ribuan tahun menyelamatkan generasi ke generasi? Apakah Anda menganggapnya sepele?
Marilah kita berguru pada peneliti Jepang itu yang telah belajar pada masyarakat kita sendiri.
***
PEREMPUAN Jepang berpipi merah itu bernama Yoko Takafuji. Saya bertemu dengannya saat berkunjung ke Pulau Simeulue, Aceh, dua tahun silam. Dia seorang peneliti yang fokus pada bagaimana kesiapan warga menghadapi tsunami.
Dia kagum dengan fakta-fakta yang ditemuinya. Tahun 2004 lalu, Aceh dan sekitarnya dihantam tsunami. Namun, hanya ada tujuh warga tewas di pulau kecil itu yang ditemukan tewas. Itu pun ketujuh orang itu adalah pendatang.
Penelitian Yoko sampai pada kesimpulan bahwa ribuan warga di pulau itu bisa selamat karena mereka percaya pada ujaran-ujaran atau dongeng yang disampaikan nenek moyang mereka Warga Pulau Simeulue bercerita tentang syair-syair yang didendangkan saat mereka masih kecil.
Syair itu berisikan pesan agar semua warga harus mengungsi ke tempat lebih tinggi saat melihat tanda-tanda alam. Syair itu dihafal oleh semua warga Simeulue, tua dan muda. Mereka tahu apa yang harus dilakukan saat melihat tanda-tanda alam.
Saat tsunami menerjang di tahun 2004 lalu, anak-anak muda berteriak-teriak "Smong" atau tsunami lalu meminta semua penduduk berlarian ke bukit-bukit. Warga Simeulue membaca tanda-tanda alam, seperti air surut, iring-iringan kerbau yang ke pegunungan, serta suara yang gemeretak di kejauhan.
Orang-orang menuju pegunungan karena dipandu oleh syair dan pesan turun-temurun dari nenek moyang. Syair itu disampaikan kepada anak-anak dalam bahasa lokal sebagai pengantar tidur.
Berikut, terjemahan syair itu:
"Dengarlah sebuah cerita. Pada zaman dahulu. Tenggelam satu desa. Begitulah mereka ceritakan. Diawali oleh gempa. Disusul ombak yang besar sekali. Tenggelam seluruh negeri. Tiba-tiba saja. Jika gempanya kuat. Disusul air yang surut. Segeralah cari. Tempat kalian yang lebih tinggi. Itulah smong namanya. Sejarah nenek moyang kita. Ingatlah ini betul-betul. Pesan dan nasihatnya."
Syair ini disampaikan orang tua kepada anak-anaknya, dengan beberapa cara. Ketika di meja makan, atau setelah makan, atau di ruang keluarga. Orang dewasa bercerita saat kejadian smong datang satu abad silam, banyak keluarga tewas, ada pula yang jatuh dari gendongan orang tua, lalu tersangkut di atas pohon bambu dan selamat. Cerita itu terus berulang hingga akhirnya mengendap di benak banyak orang.
Sahabat saya, Irda Kusuma, bercerita tentang syair itu. Kata warga asli Pulau Smeulue itu, syair tersebut kira-kira bermula sejak letusan Gunung Tambora di awal tahun 1900-an.
“Pada saat itu ada tsunami besar yang merendam pulau ini. Makanya, syair itu muncul agar kejadian serupa tidak terjadi lagi di masa mendatang,” katanya.
Saya sangat tertarik. Dalam syair itu tersembunyi satu hikmah dan pembelajaran atas apa yang sebelumnya terjadi. Saya berpandangan bahwa apa yang kita sebut sebagai kearifan lokal sejatinya adalah himpunan-himpunan pengetahuan yang lahir sebagai upaya manusia memahami alam semesta dengan segala isinya.
Saat manusia memahami semesta, saat itu juga manusia mencipta sains dan segala pengetahuan sebagai mutiara berharga yang lalu ditebar ke masyarakat, diwariskan turun-temurun, serta menjadi api yang menerangi berbagai zaman.
Peristiwa Tambora itu menjadi pelajaran berharga bagi nenek moyang Simeulue. Mereka tak ingin kejadian serupa terjadi di masa mendatang. Syair-syair lahir sebagai jembatan untuk memberikan early warning system bagi generasi mendatang agar selalu waspada pada berbagai kemungkinan.
Syair itu mencakup pengetahuan yang sejatinya lahir dari social learning process, proses belajar masyarakat yang lalu menjadi tradisi dan kebudayaan. Di saat krisis, kebudayaan lalu menyediakan berbagai protokol demi menyelamatkan masyarakat.
Yang membuat syair itu sedemikian bertenaga adalah masyarakatnya yang masih memegang tradisi dan penghormatan pada nenek moyangnya. Saya merasakan satu pandangan dunia yang menganggap bahwa segala bencana tak harus dipandang sebagai sesuatu yang harus dihindari.
Bencana adalah sahabat yang harus diakrabi dan dikenali, demi tindakan-tindakan preventif yang bisa membuat kita terhindar darinya. Pandangan itu muncul saat saya mendengar syair berikut;
Anak-Ö SMONG, Dumek-dumekmo LINON, Uwak-uwakmo AHOI, Ralang-ralangmo ELAI,Kedang-kedangmo KILEK, Sulu-sulumo
Anakku Tsunami, Mandi-mandimu Gempa, Ayun-ayunanmu Api, Penghangat tubuhmu Guntur, Gendang-gendangmu Kilat, Cahaya penerangmu
Kata Irda, syair-syair itu dilagukan untuk menguatkan mental. Pesan itu dituturkan kepada anak-anak agar tidak takut menghadapi perubahan alam. Bahwa guntur dan kilat tak perlu ditakuti. Bahkan tsunami pun tak perlu dikhawatirkan.
Manusia harus berselancar dan melintasi berbagai tanda-tanda alam itu, berdamai dengan semuanya, lalu mencari cara-cara kreatif untuk menyelamatkan kehidupan. Pesannya adalah jangan sesekali menghindari segala yang ada di alam dengan penuh kebencian, tetapi dekati, pahami, lalu mengalir bersamanya.
Hanya dengan mengalir bersama semesta, seseorang bisa memahami tabiat alam, lalu menyerap saripati pengetahuan di tengah semesta itu. Pandangan ini menegaskan posisi manusia Simeulue yang berselancar di tengah bencana demi menyelamatkan diri.
Maka ketika tanda-tanda alam menunjukkan adanya tsunami, masyarakat telah siaga dengan berbagai kemungkinan. Mereka lalu bergerak ke perbukitan untuk menyelamatkan diri. Mereka membaca tanda alam, memahami makna di balik setiap realitas, lalu menentukan langkah-langkah terbaik. Kearifan inilah yang membuat dunia begitu mengagumi Simeulue.
Yoko Takafuji membandingkan syair di Simeulue itu dengan syair Inamuranghi di daerah Wakayama, Jepang. Ada juga syair tsunami tendenko dari daerah Iwate. Di dua daerah ini, bila terjadi tsunami, korbannya lebih sedikit.
"Isi cerita agak beda, tapi intinya sama. Tsunami tendenko misalnya. Warga diminta untuk langsung lari dan tidak perlu memikirkan keluarga, “ katanya, sebagaimana dikutip satu media.
Kunjungan di Pulau Simeulue membuat Yoko tergerak untuk melakukan banyak hal. Dia memiliki misi untuk menyebarkan cerita-cerita Simeulue di berbagai belahan bumi lain yang rentan tsunami, termasuk Jepang dan negara-negara Pasifik.
Setidaknya, pengalaman warga Simeulue bisa menjadi inspirasi bagi orang-orang untuk menyusun satu protokol atau panduan penyelamatan yang berbasis pada kearifan lokal.
***
TULISAN Ahmad Arif di Kompas benar-benar membuka mata. Katanya, kawasan Tanah Runtuh di Kelurahan Talise, Palu, adalah kawasan yang pernah diremuk oleh gempa dan longsor. Nama Tanah Runtuh adalah nama yang diberikan karena tanah di situ pernah runtuh hingga menelan banyak korban.
Jurnalis Kompas itu telah mewawancarai sejumlah warga Palu yang mengaku pernah mendengar cerita tentang bencana longsor dan tsunami di kawasan itu. Sejarah mencatat, pada tahun 1920-an longsor dan tsunami pernah terjadi. Itu adalah fakta sejarah. Sebab kawasan itu berada di sesar Palu-Koro sehingga menjadi langganan gempa.
Sebagaimana dicatatnya, hari ini, kisah-kisah dan penamaan tempat itu hanya dianggap sebagai dongeng. Bahkan orang dewasa pun mengabaikannya sebab dianggap hanya sebagai kembang pengantar tidur. Mereka tidak mewariskannya kepada anak-anak sebab dianggap biasa saja.
Padahal, pasti ada pesan kuat mengapa tepat itu dinamakan Tanah Runtuh. Pasti ada pesan hebat yang hendak disampaikan kepada generasi berikutnya.
Survei yang dilakukan Litbang Kompas setahun lalu menemukan 63 persen responden di Kota Palu tidak tahu bahwa daerah mereka rawan bencana. Selain itu, 95 responden juga merasa aman dari risiko bencana alam.
Makanya, mereka merasa tidak penting untuk mewariskan ingatan tentang bencana. Padahal, jika pewarisan itu terjadi, maka masyarakat bisa melakukan deteksi dini dan bersiap menghadapi berbagai risiko bencana. Masyarakat bisa lebih tangguh dan tahu apa yang harus dilakukan saat tanda-tanda bencana mulai tampak di depan mata.
Saya sepakat dengan pendapat Yoko Takafuji. Daripada sibuk menyalahkan teknologi dan pemerintah, jauh lebih baik kita memperkuat ikatan sosial di masyarakat. Jauh lebih mendesak untuk memperkuat kapasitas masyarakat sehingga siap menghadapi situasi apa pun.
Deteksi dini harus diperkenalkan kepada masyarakat. Anak-anak kita harus diajarkan kembali untuk mengenali dongeng, syair, hikayat, dan tuturan masa silam. Sebab semuanya adalah pesan-pesan yang merupakan akumulasi pengetahuan selama ribuan tahun.
Dalam setiap dongeng, pasti ada cerita yang harusnya kita serap dan pelajari demi menyelamatkan generasi hari ini dan masa depan. Tugas kita adalah bagaimana menyerap semua kisah-kisah kearifan itu telah dikemas menjadi beragam media komunikasi, mulai dari komik, buku, hingga pembacaan syair.
Tentu saja, upaya itu ditempuh agar cerita-cerita itu bisa abadi dan terus memberikan sukma bagi masyarakat di tengah wilayah yang rentan bencana.
Hanya dengan merawat kisah, maka masyarakat bisa terhindar dari bencana yang terjadi di masa mendatang. Kepada warga Pulau Simeulue, kita tak perlu malu untuk berguru. Marilah kita menyerap pelajaran berharga di pulau kecil itu.
Bahwa sebuah hikayat, sebuah dongeng, punya kekuatan hebat untuk menyelamatkan manusia dari bencana dahsyat yang setiap saat datang menghadang. Hikayat itu jauh lebih bertenaga ketimbang teknologi yang dibuat manusia modern.
Sebagaimana dicatat Yoko, Simeulue punya keajaiban. Bahkan tempat paling modern di Jepang pun, korban bisa banyak berjatuhan saat dihantam bencana alam. Padahal di Simeulue, korban jauh lebih sedikit disebabkan betapa dahsyatnya pengaruh syair dan hikayat.
Syair itu menjadi suara dan peringatan dari masa silam untuk menyelamatkan generasi hari ini.
0 komentar:
Posting Komentar