Jangan Salahkan Ratna Sarumpaet


Ratna Sarumpaet


SETELAH Ratna Sarumpaet memberikan pengakuan dosa, sepertinya dia akan berjalan seorang diri. Dia bukan lagi Kartini dan Tjut Nyak Dien, sebagaimana disebut Hanum Rais. Bukan lagi pejuang garda depan tim pemenangan Prabowo-Sandi.

Dia akan dilepas di tikungan dan diminta survive seorang diri. Itulah hukuman untuknya. Demikianlah takdir dunia politik kita.

Tapi saya berharap Ratna Sarumpaet tidak keluar gelanggang. Dunia televisi kita akan kehilangan tontonan seru berupa debat saling menyalahkan, dengan mimik serius dan penuh keyakinan. Kita bisa kehilangan seseorang yang rajin mengatas-namakan agama, sembari menuding seseorang telah zalim.

Bagi saya, keberadaan tokoh seperti Ratna Sarumpaet di kubu oposisi, dan Ali Ngabalin di kubu pemerintah, ibarat tontonan menghibur yang bikin betah menyaksikan layar kaca. Syaratnya adalah jangan baper dan larut dalam diskusi itu.

Cukup saksikan dengan niat mendapat hiburan dan tergelak menyaksikan argumen yang kadang heroik, tapi juga penuh kelucuan. Seharusnya, kita semua berterima-kasih kepada Ratna Sarumpaet. Jangan salahkan dirinya.

Dia telah membantu kita untuk menunjukkan banyak hal. Jika dia benar-benar meninggalkan panggung politik kita, maka Ratna punya banyak warisan penting:

Pertama, Ratna menunjukkan pada kita bahwa dunia politik bukanlah dunianya orang yang saling berargumen secara rasional dengan berlandaskan pada bukti-bukti. Dunia politik kita memang dunia yang penuh tengkar, tanpa ada landasan kuat.

Sebagaimana politisi lain, baik kampret maupun cebong, Ratna hanya mempercayai satu kenyataan yang sejak awal dipercayainya. Dia mengingatkan saya pada satu pelajaran dalam ilmu sosial yakni orang hanya ingin melihat apa yang ingin dia lihat. Orang-orang hanya akan percaya pada apa yang ingin dia percayai.

Maka, orang-orang yang tampil menjadi juru bicara atau representasi berbagai kubu bukan orang yang kompeten dan menguasai satu topik, melainkan para samurai yang menebas semua argumentasi dengan ngawur, tanpa permainan pedang argumentasi yang memukau.

Berkat Ratna, kita jadi tahu bahwa politik kita adalah seni menang-menangan, yakni seni untuk menyatakan sesuatu itu benar melalui berbagai cara.

Kedua, Ratna menunjukkan para politisi kita memang lucu-lucu. Jauh-jauh Fadli Zon kuliah di Inggris, bahkan hingga bergelar doktor, dia tetap saja tidak bisa menalar dengan jernih, serta melakukan verifikasi atas apa yang menimpa Ratna.

Ratna sukses memainkan teater yang juga mengecoh Profesor Amien Rais hingga Prabowo Subianto. Semua elite politik ini tidak lagi menalar dengan jernih, seba terlanjur melihat ini sebagai komoditas politik yang bisa menaikkan elektabilitas.

Tanpa proses check and recheck, konferensi pers dilakukan sembari menitip gugatan pada negara yang represif dan tega memukuli seorang perempuan tua. Pengakuan Ratna juga memperkuat argumentasi yang terlanjur dipelihara kelompok itu sejak awal bahwa negeri ini memang bobrok dan penuh masalah sehingga presiden harus diganti.

Ketiga, pengakuan Ratna ibarat tamparan bagi semua media-media mainstream yang seharusnya memberikan kita informasi yang jernih.

Betapa terkecohnya semua media-media besar yang ramai-ramai memberitakan peristiwa pemukulan, tanpa melakukan verifikasi pada data-data lapangan. Semua berlomba menyiarkan, tidak ingin kecolongan.

Ratna memang berbohong. Tapi kebohongannya tidak akan menimbulkan skala heboh dan besar jika tidak diliput secara massif oleh banyak media. Kebohongan itu hanya akan menjadi obrolan lepas di warung kopi, jika tidak ramai-ramai diperbincangkan politisi di berbagai media.

Makanya, marilah kita bersama-sama membuat pengakuan. Bahwa ada satu aspek paling penting dari disiplin media yang hilang, yakni disiplin verifikasi.

Mahaguru jurnalistik, Bill Kovach, menyebut verifikasi sebagai sesuatu yang membedakan antara jurnalisme dengan hiburan (entertainment), propaganda, fiksi, atau seni. Harusnya para jurnalis melakukan disiplin verifikasi yang tercermin dalam praktik-praktik seperti mencari saksi-saksi peristiwa, membuka sebanyak mungkin sumber berita, dan meminta komentar dari banyak pihak.

Disiplin verifikasi berfokus untuk menceritakan apa yang terjadi sebenar-benarnya. Dalam kaitan dengan apa yang sering disebut sebagai “obyektivitas” dalam jurnalisme, maka yang obyektif sebenarnya bukanlah jurnalisnya, tetapi metode yang digunakannya dalam meliput berita. 

Keempat, Ratna juga menunjukkan bahwa dunia sosial tidak memberikan ruang memadai untuk mendengar suara mereka yang punya keilmuan, keahlian dan spesifikasi tertentu. Keahlian seseorang diabaikan begitu saja hanya karena terlanjur percaya sesuatu.

Saya menyimak perdebatan antara Tompi, seorang penyanyi dan dokter ahli bedah estetik. Sebagai seorang ahli di bidang bedah estetik, Tompi sudah mengemukakan diagnosanya. Dia mengatakan bahwa ada kejanggalan di situ.

Dia tidak percaya Ratna dipukuli. Sebagai dokter ahli yang setiap hari “mempermak” muka orang, dia jelas mengenali apa yang terjadi. Tapi, opini yang disampaikan Tompi itu malah ditanggapi negatif oleh Fahri Hamzah dan Fadli Zon

Bukannya berterimakasih karena diberi informasi yang benar, keduanya balik menyerang Tompi. Jagad Twitter heboh. Tompi membalas: “Saya yang keliru atau Anda yang keliru. Easy! Cukupkan!”

Padahal, Tompi kan seorang dokter. Pendapatnya mesti didengarkan sebab dia sering menemui hal seperti ini. Di pengadilan mana pun terhadap kasus-kasus mengenali luka, suara seorang ahli akan didengarkan terlebih dahulu sebelum orang-orang membangun opini.

Yang aneh, Hanum Rais ikut-ikutan menanggapi. Dengan latar belakangnya sebagai seorang dokter, dia pun ikut mencuit bahwa dirinya melihat dari dekat dan tahu membedakan mana luka karena operasi dan mana karena dipukuli.

Dalam satu video, terlihat dia memapah Ratna dari dekat dan kemudian berkata kalau Ratna serupa Kartini dan Tjut Nyak Dien. Kini, kepada Hanum Rais, kita seharusnya memberi saran supaya lebih banyak lagi belajar sebelum memberikan penilaian.

Jika saya adalah pasien, saya akan menghindarinya. Dia sudah terbukti salah diagnosa. Tapi kalau dipikir-pikir, ini bukan soal keilmuan. Ini adalah keyakinan atas sesuatu, tanpa proses pengecekan.

Kelima, Ratna juga telah memberikan bahan bagi para ustad untuk kian menyalahkan rezim berkuasa. Di Twitter, saya melihat seorang ustad yang berpakaian seperti penceramah, lalu menyatakan bahwa foto Ratna babak belur itu asli, bukan hoax.

Hari ini, entah bagaimana reaksinya setelah tahu bahwa dia keliru setelah sebelumnya meyakinkan jamaah.

Keenam, Ratna tentu saja telah menipu begitu banyak netizen, yang dengan semangat 45 dan terus mengumandangkan pesan langit telah ikut berdebat dan tempur di media sosial. Ada begitu banyak orang yang membela dengan gigih dan menyebutkan Ratna adalah seorang yang dizalimi dan teraniaya.

Ratna telah memberi bahan bagi debat publik yang seru. Pembela Ratna akan menyebutkan betapa jahatnya rezim, betapa pemerintah begitu keji menculik dan menyiksa warganya, serta mengatakan bahwa seorang ibu seperti Ratna harus dibela, dan tidak boleh dituduh sembarangan.

Para netizen menjadi pihak paling lucu yang tiba-tiba merasa kecele sebab selama ini telah membela habis-habisan, sampai-sampai mengutip banyak teks dari kitab demi mengatakan lawan debatnya buta hati.

Para netizen ibarat pion atau prajurit lapangan paling kecil yang gampang dikadalin. Ratna ibarat memantik api di satu sekam yang telah berlumur bensin. Dia hanya butuh sedikit sandiwara dan akting, maka hebohlah Indonesia.

Terakhir, saya ingat kisah Don Quixote, kita sebut saja Don Kisot, dalam novel karya Miguel de Cervantes. Dia berkelana untuk membunuh naga. Dia abaikan semua suara orang lain kalau naga itu tidak ada. Dia berpakaian seperti ksatria lalu bertualang.

Dia mengira kincir angin adalah penyihir. Dia hidup dalam ilusi. Di akhir perjalanan, dia kembali ke rumah dan mulai menyadari bahwa naga itu tidak ada. Naga hanya ada dalam dongeng yang selama ini dipercayainya.

Mohon maaf, saya tidak menyinggung politisi atau pun capres. Saya hanya berkata, bisa jadi kita semua adalah Don Kisot yang terlanjur percaya sesuatu dan bergerak berdasarkan kepercayaan itu, tanpa melihatnya secara kritis.


0 komentar:

Posting Komentar