Kiat Praktis untuk Selamat dari Tsunami Hoaks ala Ratna Sarumpaet




Dalam diri kita ada potensi untuk terpapar hoaks seperti yang pernah disebar Ratna Sarumpaet. Kita mudah percaya sesuatu, apalagi itu disebar di media sosial seperti Facebook, WhatsApp Groups, dan Twitter yang diberi label rahasia atau informasi A1.

Emosi kita mudah tersulut saat membaca pesan-pesan yang seolah memaparkan dinamika di lapis paling dalam. Padahal, banyak informasi yang disebar itu sengaja dibuat satu kelompok yang tujuannya untuk mengaburkan informasi.

Bahkan, sering kali kelompok yang sama membuat informasi pesanan dari dua kubu yang sedang berhadapan. Di era ini, informasi menjadi sesuatu yang diperdagangkan. Jasa pabrik konten menjamur. Para penggiat media sosial mudah digiring dengan sesuatu yang seolah-olah fakta.

Tanpa sadar, kita menjadi mainan para spin doctors, dan mereka yang sengaja dibayar untuk mempengaruhi opini melalui berbagai tulisan pendek yang serupa api kecil menyebar di sekam yang telah disiram bensin prasangka.

Informasi lalu diberikan label lingkar dalam dan tidak jelas ditulis siapa menjadi sesuatu yang mudah menyebar. Bahkan, sering kali mencatut nama tokoh publik dengan tujuan agar lebih mudah diterima publik.

Kita berada di era post-truth ketika fakta dan fiksi telah dicampur-aduk. Kita tidak tahu mana yang benar sebab informasi berseliweran dan disebarkan dengan cepat melalui algoritma media sosial.

Bagaimanakah kiat-kiat agar tidak terjebak dalam berbagai setingan informasi dan berbagai provokasi agar membenci yang lain?

***

KAWAN itu tiba-tiba saja marah-marah. Dia membaca pesan yang dikirim melalui WhatsApp Groups. Isinya adalah bagaimana politik sengaja didesain untuk menyingkirkan seseorang. Kawan itu mengidolakan seorang politisi.

Dia tidak rela jika idolanya difitnah dan sengaja dijebak sehingga tampak bodoh dan jadi bulan-bulanan. Saat membaca informasi di HP-nya, dia merasa tahu bayak hal. Hal pertama yang dia lakukan adalah menyebar tulisan itu ke banyak grup.

Dia merasa informasi yang benar harus disebarkan. Apalagi jika informasi itu disampaikan seseorang yang sejak dulu dikaguminya. Tak sampai tiga hari, datang bantahan. Informasi yang disebarnya ternyata hoaks.

Kawan itu tidak merasa salah apa pun. Malah, meskipun sudah ada bantahan, dia tetap saja lebih percaya pada informasi yang lebih dahulu disebarnya. Jangan mengira kawan itu tidak berpendidikan sehingga mudah terpapar hoaks. Dia seorang doktor.

Dia adalah satu dari sejumlah orang yang mudah terpengaruh oleh tulisan pendek yang disebar melalui media sosial. Kita berhadapan dengan tsunami informasi, di mana ada banyak akun anonim yang seolah-olah membocorkan fakta tersembunyi.

Polanya adalah menuturkan sesuatu seolah-olah itu adalah inside story yang lengkap alurnya, serta siapa-siapa yang bermain di belakang setiap peristiwa. Narasinya membahas orang per orang, serta kepentingan, yang lalu mengeruk keuntungan untuk kepentingan pribadi.

Sepintas, tulisan-tulisan itu membuka apa yang tersembunyi di panggung politik. Padahal, isinya sangat jauh dari fakta. Isinya berisikan syak-wasangka yang dikemas dalam bentuk artikel investigasi, lalu dibumbui dengan tudingan-tudingan. Kawan itu mudah emosi saat membaca banyak pesan, sehingga menyebarkannya ke mana-mana.

Di berbagai kanal, muncul berita seolah-olah informasi itu A1. Dia terlanjur menganggap ada setingan, sehingga semua hal dianggap setingan. Dahulu, arena untuk menyampaikan informasi rahasia dalam politik adalah melalui surat kaleng. Selanjutnya, ada juga yang menggunakan pamflet dan selebaran.

Di akhir kekuasaan Soeharto, para aktivis menyebarkan pamflet dan berbagai publikasi kritis melalui jalur bawah tanah, maksudnya bukan jalur resmi yang dikehendaki pemerintah. Pada masa itu, yang hendak disebarkan adalah fakta-fakta yang tak banyak diungkap ke publik.

Media mencatat beberapa aktivis dan intelektual yang memilih risiko dipenjarakan daripada ikut dalam lautan massa yang bungkam. Seiring dengan era internet, serta arus informasi yang kian menyebar, dinamikanya mulai berubah.

Hampir semua politisi dan kelompok kepentingan menjalin relasi dengan para spin doctors, yakni orang-orang yang bisa mempengaruhi opini atau wacana di media massa demi menaikkan citra seseorang, atau menjatuhkan citra kelompok lain.

Rekayasa informasi dipandang sebagai sesuatu yang wajib demi mengendalikan arus wacana. Persoalannya, rekayasa informasi itu sering kali dibuat dengan cara menyusun narasi yang tak berbasis fakta.

Parahnya, ada banyak orang yang mudah saja menerima semua informasi yang berseliweran di sekitarnya, tanpa mengeceknya lebih jauh.

Di media sosial, banyak orang yang dengan mudahnya diprovokasi dengan berita-berita dari berbagai situs abal-abal, lalu kehilangan daya kritis untuk mempertanyakan semua informasi itu. Publik mudah tersihir dengan berita seolah-olah inside story, setelah itu ikut menjadi clicking monkey, para penyebar informasi fitnah melalui berbagai kanal media sosial.

Fenomena ini mengingatkan pada tulisan seorang ilmuwan sosial yang mengatakan bahwa orang hanya ingin melihat apa yang ingin dilihatnya. Maksudnya, saat seseorang terlanjur punya prasangka, maka dia hanya akan melihat hal-hal sesuai dengan prasangka sebelumnya.

Biarpun banyak sumber kredibel menyatakan fakta itu keliru, ia tidak akan memercayainya. Tapi ketika satu fakta dari sumber abal-abal menyatakan dirinya benar, ia akan langsung menyebarkannya, tanpa mengeceknya lagi.

Yang saya amati, rekayasa informasi itu selalu mengandalkan dua pola: (1) menggunakan media abal-abal yang mudah dibentuk di ranah online, (2) menggunakan serial informasi di twitter dan facebook.

Di dua pola ini, kita akan menemukan informasi yang dikemas seolah-olah investigasi, seringkali dibumbui kalimat bombastis yang mudah membuat publik percaya. Di dua kanal ini, para spin doctors dan cyber army bekerja dengan cara membombardir informasi, menghasut publik agar me-like lalu men-share informasi, tanpa mengecek mana fakta dan fiksi dalam informasi tersebut.

Di dua kanal ini, posisi publik adalah pasif dan aktif sekaligus. Mereka menerima informasi yang kebetulan bersesuaian dengan prasangkanya, lalu menyebarkannya ke mana-mana, tanpa sikap kritis.

Sebenarnya, fenomena banjir dan rekayasa informasi ini bukanlah hal yang baru. Pada tahun 2001, mahaguru para jurnalis, Bill Kovach dan Tom Rosenstiel, telah menulis buku berjudul Blur: How to Know What’s True in the Age of Information Overload. 

Buku ini berisikan bagaimana seharusnya bersikap di era banjir informasi. Kovach tidak sedang menulis panduan untuk para jurnalis. Kovach menjelaskan bagaimana keriuhan informasi di era digital, yang kemudian dipelintir oleh para spin doctors. 

Ia menyasar publik, yang disebutnya tidak lagi menjadi konsumen berita, namun juga sebagai produser yang juga menyebarkan informasi. Yang perlu diwaspadai adalah pihak-pihak yang hendak memanipulasi kebenaran demi kepentingan kelompok tertentu.

Kata Kovach, fenomena banjir informasi ini bukanlah sesuatu yang baru. Sejak munculnya era komunikasi, manusia terbiasa berhadapan dengan berbagai informasi. Seiring dengan perubahan lanskap sosial dan politik, berubah pula cara-cara manusia memahami dan berinteraksi dengan informasi.

Perubahan pola komunikasi itu berjalan sering dengan perubahan pola kepemimpinan, mulai dari pemimpin spiritual ke pemimpin suku, pemimpin suku ke raja, munculnya negara-kota, serta otoritas negara. Informasi juga mengalir mengikuti otoritas, hingga era sekarang yang memungkinkan informasi bisa mengalir dari berbagai sisi.

Masih kata mahaguru jurnalistik dari Harvard University ini, terdapat sejumlah kiat bagi warga untuk “diet informasi” dengan cara menggunakan pola pikir skeptis (skeptical knowing) langkah demi langkah.

Pertama, kenali setiap jenis konten yang dihadapi. Kedua, kita harus memeriksa kelengkapan laporan media. Ketiga, kita harus menilai otoritas dan kualifikasi sumber. Keempat, kita harus menilai fakta dengan membedakan antara mengamati dan memahami, kesimpulan dan bukti, serta bagaimana berinteraksi dengan fakta.

Kelima, lakukan evaluasi terus-menerus terhadap setiap informasi. Penuturan Kovach ini memang agak jlimet. Pada intinya, ia mengatakan bahwa sebagai konsumen, kita harus berpikir kritis. Saat membaca informasi, kita harus mencari apa yang lebih, serta bisa membuat kita percaya bahwa informasi itu akurat.

Terhadap banyak informasi, kita harus meninggalkan cara berpikir lama yang seolah-olah media hendak mengatakan “percayalah apa yang saya katakan.” Kita harus menggantinya dengan cara berpikir yang melihat semua liputan dengan pertanyaan, “Apa yang harus membuat saya percaya? Tunjukkanlah bukti-bukti kuat biar saya yakin.”

Setiap orang harus menjadi editor yang mempertanyakan semua informasi. Di sini terletak daya kritis dan kemampuan analitik. Jika seseorang punya daya kritis itu, ia tidak akan mudah diseret-seret oleh berbagai informasi yang menyebar di berbagai kanal media sosial.

Namun jika orang tersebut tak menggunakan akalnya, semua informasi yang masuk akan langsung dipercayainya.

Di Indonesia, ada banyak perkembangan menarik terkait kebiasaan membaca. Yang saya lihat, orang-orang suka menyebar informasi, tanpa mengecek apakah itu hoaks ataukah fakta. Secara praktis, saya merekomendasikan beberapa kiat agar tidak menjadi obyek penderita di era internet.

Pertama, jangan mudah terpaku pada judul yang heboh. Pada beberapa media, judul-judul heboh dan bombastis berguna untuk membuat audience tertarik dan mengeklik. Biasanya, judul itu diawali dengan kata “astaga”, “luar biasa”, “wow”, dan berbagai kata-kata lain. Malah, saya sering menemukan judul yang diawali kata “masyallah”. Judul-judul ini sengaja dibuat untuk menciptakan suasana heboh, dan memaksa orang untuk membacanya.

Kedua, perhatikan media yang memberitakannya. Saat Anda melihat judul heboh, jangan langsung klik. Perhatikan, media manakah yang memuatnya. Kalau medianya sejenis pusingan.com, analisahebat.com, atau beberapa media berlabel agama yang belum pernah Anda dengar, sebaiknya jangan langsung klik.

Sekali satu media menyebar informasi yang tidak akurat, masukkan list media itu dalam daftar media yang membodohi dan tidak layak baca. Dibanding media abal-abal itu, lebih baik percaya pada media resmi. Sebab media resmi memiliki disiplin verifikasi dan standar jurnalistik yang sudah lama dibangun.

Sering ada yang bertanya, bagaimana dengan kepentingan pemilik modal di media resmi itu? Boleh jadi ada kepentingan. Tapi yakinlah, jantung utama bisnis media adalah kredibilitas. Bisnis ini punya investasi besar.

Seorang pemilik modal yang mencampuri kepentingan pemberitaan bisa berdampak pada turunnya kredibilitas media, yang akan berujung pada lesunya iklim bisnis. Jika ini terjadi, maka triliunan uang yang keluar akan percuma. Bisnis media akan bangkrut dan gulung tikar.

Pemilik media yang bijak, tak mungkin mencampuri berita untuk memuji-muji dirinya sebab akan bermuara pada kemuakan publik yang membuat medianya ditinggalkan.

Ketiga, kalaupun Anda terpaksa mengeklik, perhatikan sumber-sumber beritanya. Kalau sumber berita adalah sumber yang otoritatif, berarti itu pernyataan resmi. Dalam kasus kriminal, sumber resmi adalah polisi.

Dalam berita korupsi, sumber resmi adalah pihak KPK atau penegak hukum. Tapi kalau sumber yang Anda baca adalah seorang penggiat organisasi massa, maka ragukanlah informasinya. Ragukan pula informasi tentang korupsi, yang disampaikan oleh seorang pengamat korupsi.

Dalam banyak kasus, para pengamat sering kali menjalankan pesanan tertentu dari sejumlah pemodal.

Keempat, perhatikan keberimbangan. Saat media memuat satu sumber tertentu, periksa apakah ada pernyataan resmi dari sumber lain yang berseberangan. Mengapa? Sebagai pembaca, posisi kita serupa hakim yang akan menimbang-nimbang benar tidaknya sesuatu.

Tanpa keseimbangan informasi, kita tak akan mendapat gambaran utuh terhadap satu kejadian.  Artinya, jika informasi tak seimbang, berarti liputan itu tidak netral.

Kelima, bedakan antara fakta dan opini. Fakta adalah peristiwa yang terjadi dan disaksikan oleh jurnalis. Sementara opini adalah himpunan kesan atas peristiwa itu.  Media yang kredibel akan banyak menyajikan fakta sebab pembaca bisa mendapatkan informasi dari tangan pertama.

Media yang tidak kredibel akan menyajikan parade opini yang boleh jadi bertujuan untuk menggiring persepsi pembaca sehingga bersepakat dengan agenda isu yang dilancarkan.
Keenam, jangan langsung percaya apa yang disajikan media. Lakukan crosscheck dengan media lain. Dalam riset, ini disebut triangulasi. Lakukanlah cross-check dengan liputan media lain. Kalau banyak yang memuatnya, maka informasi itu boleh jadi valid.

Informasi adalah denyut nadi media massa. Ketinggalan satu informasi penting adalah aib bagi media itu. Makanya, setiap berita heboh, pastilah akan dimuat banyak media.

***

KIAT ini hanya sepenggal. Masih banyak yang bisa didiskusikan. Intinya, kembangkan cara berpikir skeptis saat membaca media. Seperti kata Kovach, pertanyakan setiap informasi.

Buat pertanyaan dalam diri, apa nilai lebih yang membuat Anda percaya liputan itu, apakah kekuatan informasi itu, serta siapa yang diuntungkan dan akan dirugikan dari penyebaran informasi itu.

Jika Anda hendak menyebarkannya, yakinkan diri Anda bahwa informasi itu benar dan berguna bagi publik. Sebab jika informasi itu sesat, maka Anda akan jadi penyebar fitnah. Jika informasi itu tidak benar, Anda akan jadi kambing congek yang mau-mau saja dibodohi semua orang demi agenda-agenda terkait rekayasa informasi.

Jauhkan segala prasangka terhadap seseorang atak kelompok tertentu yang kerap menjadi sasaran dari media abal-abal itu. Hadirkan sikap kritis, bahwa di balik setiap pahlawan, pasti ada celah yang menunjukkan dia manusia biasa.

Dan di balik seseorang yang dituduh sebagai penjahat, pasti ada sisi baik yang memanusiakan dirinya. Melalui keseimbangan itulah, kita bisa melihat kehidupan sebagai arena yang sangat dinamis.



0 komentar:

Posting Komentar