Setiap kali bencana alam terjadi, media sosial langsung ramai dengan berbagai postingan. Jika diamati, semua postingan itu akan memberikan kita gambaran tentang berbagai tipe orang serta responnya saat melihat bencana. Ada yang suka nyinyir, mencari kambing hitam, hingga relawan hebat yang berjibaku di lapangan.
Sejauh yang saya amati, pada hari ketika bencana alam terjadi, semua orang memberikan reaksi yang sama. Orang-orang akan langsung membuat meme, tagar, dan pernyataan duka-cita. Hari pertama, semua orang saling mendoakan keselamatan.
Orang-orang akan berusaha menemukan keluarganya, setelah itu mulai mengontak berbagai lembaga yang siap memberikan donasi. Ini berjalan sampai hari ketiga dan keempat. Setelah itu, orang-orang mulai tidak satu barisan.
Masyarakat mulai terpecah dalam beberapa kategori yang menunjukkan bagaimana respon dan pandangannya atas bencana. Sejauh yang saya amati, ada delapan tipe netizen terkait bencana. Anda masuk yang mana?
Pertama, tipe mendadak religius. Banyak yang langsung mengeluarkan dalil-dalil dalam kitab yang mengatakan bahwa bencana itu sebagai azab dari Tuhan. Mulai ada yang posting beberapa ritual yang dianggap jauh dari agama.
Ada yang membawa-bawa kalangan LGBT yang kian menjamur. Bahkan ada yang memposting foto yang isinya suasana bar di kota tempat terjadinya bencana. Ada juga yang mengatakan kawasan yang dihantam bencana itu sering berlangsung maksiat.
Bencana bisa menyebabkan orang-orang lebih religius. Yang bikin tidak nyaman adalah sering kali ada vonis seakan-akan mereka yang kena bencana itu adalah mereka yang mendapat hukuman. Sedang diri yang tidak kena bencana lebih religius.
Kedua, tipe rasional. Mereka yang masuk tipe ini akan berdebat dengan kelompok pertama. Beberapa orang di timeline saya membagikan peta yang isinya frekuensi gempa terjadi di mana saja dalam 10 tahun terakhir.
Di peta itu terlihat kalau Kalimantan tidak pernah terkena gempa. Seseorang mengatakan, “Jika gempa karena banyaknya maksiat, berarti Kalimantan adalah pulau yang semua penduduknya paling suci dan saleh.”
Kelompok ini berpandangan bahwa Indonesia memang berada di jalur ring of fire. Kita berpijak di atas patahan gempa, sehingga yang dibutuhkan adalah kearifan dan kesiagaan untuk menghadapi gempa. Apalagi, nenek moyang menghadapi gempa dengan teknologi rumah yang anti gempa, serta kearifan lokal agar masyarakat waspada.
Ketiga, tipe pencari kambing hitam. Mereka yang masuk dalam tipe ini adalah mereka yang setiap saat mencari kesalahan. Selain menyalahkan adanya ritual sesat sehingga gempa, mereka juga sibuk menyalahkan pemerintah.
Mereka tidak banyak menggalang solidaritas sebab terlalu sibuk mencari kesalahan orang-orang yang berjibaku di lapangan. Mereka mengecam penanganan bencana. Tapi mereka juga tidak melakukan apa pun. Bahkan ketika pemerintah menjelaskan sulitnya medan akibat infrastruktur rusak, tetap saja kelompok ini akan nyinyir.
Mereka merasa selalu benar dan merasa pemerintah telah melalaikan korban. Harus diakui kalau koordinasi bantuan terkesan amburadul.
Akan sangat bagus jika semua pihak memastikan pemerintah akan menjalankan fungsinya yakni hadir di tengah gempa, serta menggalang kerelawanan semua warga tanah air agar peduli gempa.
Akan sangat elok kalau mereka mengingatkan semua pihak untuk tetap bergerak membantu semua korban bencana. Kata seseorang, “Daripada sibuk mengutuk kegelapan, lebih baik kita menyalakan sebatang lilin.”
Keempat, tipe politisi oportunis. Nah, kelompok ini adalah kelompok yang pandai melihat momen. Begitu ada gempa dan banyak korban, mereka akan sibuk selfie dengan latar gempa. Mereka sibuk menyampaikan gambar apa yang terjadi, terus dirinya seolah-olah datang ke situ dan bersedih.
Mereka membuat video yang berisikan musik menyayat hati, kemudian ada potret dirinya di situ. Mereka yang tipe politisi oportunis yang langsung menyampaikan pernyataan duka, serta memajang foto korban bencana, serta potret diri yang sedang bersedih.
Ada himbauan untuk menyumbang, tapi sempat-sempatnya memasang foto diri dan logo partai. Mereka pandai menyelipkan pesan kampanye di tengah penderitaan banyak orang. Kelompok ini juga suka memolitisasi bencana demi senjata kritik pada pemerintah.
Kelima, tipe pengambil keuntungan. Beberapa hari setelah bencana menghantam, jalan-jalan di berbagai kota akan diramaikan oleh orang-orang yang meminta sumbangan bencana. Masalahnya, tidak ada informasi atau transparansi terhadap para penyumbang ke mana saja dana dialihkan.
Bahkan di satu kota di Jawa Barat, polisi menangkap sejumlah orang yang melumuri tubuhnya dengan cat perak demi minta sumbangan bencana. Kata polisi, orang-orang ini menipu masyarakat sebab dana sumbangan itu ternyata digunakan untuk mabuk-mabukan.
Penipuan yang mengatas-namakan bencana juga berlangsung dalam motif lain. Seorang teman membagikan pesan WA dari seseorang yang memperlihatkan struk sumbangan bencana sebesar 5.500.000. Orang itu mengaku salah transfer, yang seharusnya cuma 500 ribu.
Dia minta dikirimkan sisanya sebab dana itu adalah anggaran kantor. Teman itu mengecek tidak ada dana masuk atas nama orang itu. Tapi orang itu tetap ngotot minta dananya dikembalikan. Teman saya tak mau kalah.
Dia jelaskan mekanisme pengembalian uang, serta ajakan untuk ketemu. Si penipu itu langsung memblokir teman saya. Case closed.
Keenam, tipe penggalang solidaritas. Mereka yang masuk dalam tipe ini adalah mereka yang nuraninya tersentuh lalu mencari cara agar membantu korban bencana. Mereka menggalang bantuan secara mandiri, lalu menyalurkannya ke pihak berwenang.
Mereka tidak banyak bicara di media sosial, juga tidak banyak nyinyir, tapi punya langkah-langkahnya terukur. Mereka adalah tipe yang nuraninya tersentuh, lalu bergerak mengumpulkan bantuan. Saya mengenal beberapa orang dengan tipe ini.
Mereka tidak cuma berhenti pada duka, tapi melakukan banyak hal-hal hebat untuk membantu korban. Mereka juga tidak mau menyalahkan siapa pun. Sebab dalam setiap bencana, koordinasi selalu sulit dilakukan karena banyak hal terjadi, serta duka dan trauma yang menghadang. Tipe penggalang solidaritas selalu menemukan cara untuk membantu.
Ketujuh, tipe relawan hebat. Jika penggalang solidaritas hanya mengumpulkan bantuan dan tidak ke lokasi, para relawan hebat ini adalah mereka yang begitu mendengar gempa, langsung datang ke lokasi demi melakukan sesuatu.
Mereka meninggalkan kenyamanan demi membantu mereka yang sedang trauma. Di antara beberapa nama yang saya kenal adalah Profesor Idrus Paturusi, mantan Rektor Universitas Hasanuddin, yang juga seorang dokter senior.
Setiap gempa, dia langsung berangkat ke lokasi dan membantu pasien dalam situasi penuh keterbatasan. Di media sosial, seseorang memosting fotonya yang sedang tidur di kursi setelah kelelahan mengoperasi para pasien.
Dia adalah relawan sejati yang hadir di semua bencana dan bekerja demi kemanusiaan. Banyak pula orang yang melakukan hal-hal hebat seperti Idrus.
Mendengar gempa, seorang kawan saya di Makassar langsung sibuk membeli banyak makanan, dan pakaian bekas, kemudian membawa mobil sendiri ke Palu. Kawan itu tak cuma menggalang solidaritas, dia juga berkendara puluhan kilometer demi memastikan agar bantuan yang dibawanya tiba di sasaran.
Saya juga mengagumi seorang sahabat yang bersepeda dari kampungnya di Sulawesi barat demi membantu korban bencana. Bahkan ada pula yang sengaja berperahu demi efektivitas membawa logistik dan bantuan.
Orang-orang ini mengingatkan saya pada pentingnya kerja-kerja sosial dan nilai-nilai kebajikan sesungguhnya. Mereka bekerja keras dan menjadi malaikat-malaikat hebat di sekitar kita. Mereka meletakkan kemanusiaan sebagai tujuan dari semua gerak dan aktivitas, dan bergerak berdasarkan naluri untuk membantu orang lain yang sedang ditimpa musibah.
Pertanyaannya, Anda masuk tipe yang mana?
Jika tidak masuk satu pun, berarti kita harus menambah tipe yang baru, yakni mereka yang cuek-cuek saja dan memilih hanya jadi pengamat. Mereka menyatakan solidaritas, tapi setelah itu lebih suka diam dan mengamati semua postingan. Sepertinya, saya masuk kategori ini.
0 komentar:
Posting Komentar