SETIAP
orang memiliki mimpi-mimpi yang hendak digapai. Bahkan seorang aktor pun
memiliki mimpi. Aktor Jackie Chan seumur hidup memendam mimpi untuk mengenggam
Piala Oscar kehormatan yang berukir namanya. Saat piala itu dalam genggaman, ia
mengenang banyak hal. Mulai dari negara, keluarganya, hingga pencapaiannya di
dunia industri hiburan.
Dua
puluh tiga tahun silam, Jackie Chan berkunjung ke rumah actor laga Sylvester
Stallone. Di situ, ia melihat Piala Oscar. Tiba-tiba saja dirinya bermimpi
untuk mendapatkan piala yang sama. Sabtu silam, aktor kungfu asal Cina itu
menerima Piala Oscar atas dedikasinya dalam dunia film.
“Setelah
56 tahun di industri film, membuat lebih dari 200 film, setelah banyak tulang
patah, akhirnya berhasil juga,” kata Jackie di acara gala dinner. Dia mengaku
kalau ayah dan keluarganya selalu bertanya mengapa dirinya belum juga
mendapatkan Piala Oscar atas dedikasinya di dunia film. Kini, semua pertanyaan
itu terjawab.
Ia
juga menyampaikan rasa bangga pada Hong Kong yang memberinya identitas Cina,
dan berterimakasih kepada semua fans. Para fans adalah alasan baginya untuk
melakukan banyak hal. “Saya akan lanjut buat film, melompat melalui jendela,
menendang, meninju, lalu mematahkan tulang saya,” katanya.
Jackie
menerima Oscar setelah sebelumnya diperkenalkan oleh aktris Michelle Yeoh dan
Tom Hanks, sosok yang menyebutnya sebagai “Jackie ‘Chantastic’ Chan.” Hanks
merasa bangga diminta memperkenalkan kerja-kerja Jackie Chan karena seni
berkelahi dan film komedi action adaah dua genre yang sering dibedakan.
Seusai
menerima penghargaan itu, Chan menulis di kanal Facebook-nya kalau dirinya
adalah orang pertama dalam sejarah Cina yang menerima penghargaan itu. Dia tak
salah. Selama lima tahun terakhir, hanya Sembilan actor kulit berwarna yang
dinominasikan dalam kategori acting di ajang Academy Award. Setahun silam,
Chris Rock, yang memandu acara itu, membuat sindiran di Facebook tentang
kurangnya keragaman di Oscar. Dia membuat lelucon betapa sulitnya orang Asia
mendapat penghargaan itu. Postingan ini lalu memicu banyak reaksi. Tapi di
banyak sisi, Chris Tucker benar.
Filosofi
dan Disiplin
Jackie
Chan memang identik dengan film kungfu, sebagaimana aktor laga lainnya seperti
Bruce Lee dan Jet Li. Bedanya, Chan bisa mengemas beladiri menjadi sesuatu yang
tak hanya indah ditonton, tapi juga penuh gelak tawa.
Dalam
kehidupan sehari-hari, Chan adalah figur yang serius. Ia juga filosofis.
Katanya, kungfu adalah sesuatu yang tak berbentuk, namun hidup. Sebuah energi
yang mendesak keluar dari tubuh kemudian mengaum lepas ketika disalurkan dalam
pukulan atau gerak tubuh. Seorang pelukis juga pemain kungfu sebab melepaskan
energinya pada kanvas. Bahkan penyair sekalipun adalah pemain kungfu sebab
menjelmakan kata menjadi gemuruh yang menggelegar dan menyentak kesadaran kita.
Kungfu adalah seni yang lahir dari proses mengolah dan “memasak” energi dalam
tubuh manusia. Pandangan ini jelas berasal dari ajaran Buddha dan Tao yang
sangat kuat menekankan pada peran manusia dalam upaya menggapai kesempurnaan.
Suatu cahaya pencerahan yang kemudian menjadi pemandu atas nilai dan dan ziarah
melayari dunia.
Sepanjang
1960-an hingga 1970-an, Shaw Brothers menjadi pemasok utama berbagai film
kungfu dengan tokoh utamanya yaitu Bruce Lee. Kehadiran pria yang lahir di
Washington dengan nama Lee Siu Lung ini menjadi awal dari genre film martial
arts yang mengandalkan pada adegan perkelahian yang apik di mana karakter
manusia hanya dibelah ke dalam dua bahagian yaitu baik dan jahat. Kita sedih
ketika menyaksikan si baik menjadi bulan-bulanan. Dan kita langsung bersorak
ketika si baik kemudian menang dan si jahat kalah. Seakan ada naluri yang
menggerakkan kita untuk selalu memenangkan si baik atau pendekar budiman.
Dengan
kesederhanaan pandang seperti itu, kita seakan membangkitkan naluri purba dalam
diri untuk selalu memenangkan yang baik. Kaidah moral menjadi sangat penting
demi menjaga kelestarian nilai agar dunia aman dan terang benderang. Inilah
yang menjadi tema sederhana dari berbagai film kungfu klasik.
Sejak
era Bruce Lee, perfilman Cina seakan menjadi mata air dari begitu banyaknya
aktor laga di Hollywood dengan beragam ciri atau jurus masing-masing. Tokoh
yang kini paling menonjol dan sukses di bidang ini adalah Jackie Chan dan Jet
Li (kadang ditulis Jet Lee). Keduanya sukses di perfilman Cina dan kemudian
membawa gaya bertarung itu untuk merasuki Hollywood.
Beberapa
tahun silam, Majalah Time membahas Chan dan Li yang bermain
dalam film Forbidden Kingdom. Dengan hanya menjelaskan sekilas
tentang isi film, Time langsung mengajukan pertanyaan yang cukup menohok, “Is
Hongkong Movie Will Never End?”. Tampaknya Hollywood mulai resah atau
“takut kehabisan piring” seiring dengan ekspansi aktor Cina yang tak pernah
henti. Bagaimanapun, aktor Cina punya kelenturan dan kemampuan yang tidak
dimiliki aktor laga Hollywood seperti Chuck Norris ataupun Steven Seagal.
Yang
menarik dari analisis Time adalah deskripsi tentang keuletan
dan disiplin dari aktor Cina yang menempa diri sejak masih kecil demi menguasai
ilmu bela diri. Bela diri Kungfu butuh sebuah tindakan disiplin luar biasa
serta sendi dasar spiritualitas yang kokoh. Chan mulai latihan sejak masih
kanak-kanak hingga remaja –saat itu ia menjadi cameo (pendatang baru) dalam
film Bruce Lee. Sedangkan Li juga belajar wushu sejak kecil dan pernah tampil
di hadapan Presiden Nixon dalam satu eksibisi tahun 1974.
Meski
demikian, Time juga cukup jujur menyisipkan pernyataan bahwa Jackie Chan dan
Jet Li justru berguru banyak pada sejumlah komedian dan aktor pertama di
Amerika yaitu Charlie Chaplin, Buster Keaton dan Harold Lloyd. Artinya, ada
proses dialogis dan menyerap realitas yang dilakukan aktor Cina untuk
memperkaya khasanah bermain di film genre seperti ini.
Sejak
awal meniti karier di jalur film beraliran laga (wu xia), Chan memiliki ciri
khas serta jurus maut yang menggetarkan jagad film kungfu pasca kematian
legenda kungfu Bruce Lee. Chan mulai populer sejak tahun 1978 ketika
berperan sebagai Wong Fei Hung, pendekar mabuk, dalam film The Drunken
Masters. Perannya sebagai pendekar mabuk itu begitu membekas di benak
fansnya sehingga di akhir tahun 1990-an dibuat kembali sekuel film tersebut.
Selanjutnya, ia menjajal sekitar 100 film, di antaranya Rumble in The
Bronx, My Lucky Stars, Supercop, Thunderbolt, hingga film Hollywood
seperti Shanghai Noon, The Medallion, Around the Worlds in 80 Days, hingga
seri Rush Hour, bersama Chris Tucker.
Dengan
dedikasi dan disiplin yang sedemikian hebat, amatlah wajar jika Chan sukses
menggondol Piala Oscar. Selamat!
1 komentar:
Saya suka dengan akting jeki chan, tapi kebih suka lagi akting nya doni yen di If Man bang hehe
Posting Komentar