HARI
ini (8 Desember 2016) adalah hari lahir aktivis hak asasi manusia (HAM) Munir.
Mengenang Munir adalah mengenang bagaimana seorang aktivis yang berjuang dari
tepian hingga titik darah penghabisan. Ia bukan saja simbol dari perjuangan melawan
sistem yang korup dan menindas, tetapi juga menjadi monumen tragis bagi anak
bangsa yang tewas misterius.
Hingga
lebih 12 tahun sejak meninggalnya, Munir digambarkan sebagai pahlawan yang
berjuang di garis terdepan menghadapi rezim. Tak banyak yang menyadari kalau
Munir adalah manusia biasa yang menjalani hari-hari sebagaimana manusia biasa
lainnya. Dia seseorang yang amat suka bercanda. Dia seorang suami yang
menyayangi istri dan kedua anaknya. Dia juga seorang penakut, sesuatu yang
berlawanan dengan gambaran orang atas sosoknya.
Sisi
lain Munir itu bisa ditemukan dalam film dokumenter berjudul Bunga Dibakar,
karya Ratrikala Bhre Aditya, yang pertama ditayangkan setahun setelah Munir
meninggal. Dalam suasana yang masih berkabung atas meninggalnya Munir, film itu
diluncurkan dan membahas sisi lain sosok pembela HAM itu.
Dikisahkan
dalam film kalau di masa kecilnya, Munir dikenal sebagai anak yang suka
berkelahi layaknya anak-anak lain. Ia mudah emosi dan terlibat dalam
perkelahian dengan anak sebayanya. Ia juga bukan anak kecil yang patuh di
sekolah. Ia tercatat tidak pernah menjadi juara kelas. Prestasi akademiknya
biasa saja.
Masa
kuliah menjadi masa yang penting untuk penemuan diri. Dia menjadi aktivis
mahasiswa. Dia bergabung dengan organisasi Himpunan Mahasiswa Islam (HMI)
Cabang Malang, hingga posisi ketua komisariat. Selanjutnya ia berkiprah sebagai
Ketua Umum Senat Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Brawijaya. Ia juga
mengasah dirinya dalam sejumlah kegiatan advokasi dan pendampingan pada
masyarakat.
Dari
trackrecord itu, Munir seharusnya
menjadi sosok yang tak pernah mengenal kata takut. Namun, dirinya adalah sosok
manusia biasa yang ternyata juga mengenal rasa takut. Satu kalimatnya yang
menyentuh hati adalah: “Kita harus lebih takut kepada takut itu karena rasa
takut itu menghilangkan akal sehat dan kecerdasan kita.”
Munir
dibunuh di era demokrasi dan keterbukaan serta harapan akan hadirnya sebuah
Indonesia yang dia cita-citakan mulai berkembang. Kematiannya adalah noktah
hitam yang harus terus dikenang oleh seluruh bangsa sebagai pengingat agar
negra segera menuntaskan kasus kematiannya, serta menyeret pihak yang bersalah
ke meja hijau.
Hingga
akhir hayatnya, Munir menyuarakan perlawanan pada militerisme dan kekerasan
atas nama negara. Mereka yang mengenang Munir seyogyanya meneruskan kerja-kerja
besar yang teah dilakukan lelaki itu. Jika tidak, Munir akan menjadi monumen
yang sepi, tanpa memiliki pelanjut estafet perjuangan.
Munir
dalam Film Dokumenter
Kisah
Munir ibarat sungai yang mengalirkan banyak inspirasi. Selain film Bunga
Dibakar yang disebutkan di atas, beberapa sineas juga telah mendokumentasikan
kisah Munir dari berbagai sisi. Berbagai dokumenter itu kini bisa disaksikan
melalui kanal Youtube demi mengenali lebh mendalam kisah lelaki hebat itu.
Film
dokumenter lain yang membahas Munir adalah:
Pertama, Tuti
Koto: A Brave Women. Film ini dibuat sutradara Riri Riza yang
menokumentasikan perjuangan seorang ibu yang terus mencari anaknya, setelah
sang anak dihilangkan secata paksa pada tahun 1997. Riri, yang kondang karena
menyutradari film laris yang diantaranya adalah Ada Apa dengan Cinta 2,
menampilkan sosok Munir sebagai pendamping Tuti Koto yang menguak tabir
ketidakadilan. Film berdurasi 21 menit ini dibuat tahun 1989, sebelum Munir
meninggal.
Kedua,
Garuda’s Deadly Upgrade, yang disutradarai David O’Shea dan Lexy Rambdeta.
Film ini mereportase perjalanan pengungkapan fakta kematian Munir, muai dari pemeriksaan para saksi dan pihak maskapai
penerbangan yang mengangkut Munir ke Belanda, Garuda. Rapat di Dewan Perwakilan
Rakyat, tim pencari fakta, hingga upaya keluarga dan sahabat Munir mencari tahu
sendiri.
David O'shea dan Lexy terus mengejar narasumber yang enggan berbicara mengenai fakta di balik tewasnya Munir. Termasuk menggali keganjilan-keganjilan, seperti rekaman CCTV Munir di bandara yang tiba-tiba hilang. Film 45 menit ini dirilis pada 2005.
Ketiga, His Story. Steve Pillar Setiabudi merekam proses
pengadilan kasus pembunuhan Munir melalui film sepanjang 28 menit. His Story
yang dirilis pada 2006 itu menceritakan bahwa perkara ini melibatkan Badan
Intelijen Negara dan Garuda Indonesia. Terdakwa
Pollycarpus Budihari Priyanto diketahui mengajak Munir bertukar kelas di
pesawat yang mereka tumpangi. Pada saat kejadian, pilot senior Garuda itu tidak
sedang bertugas.
Keempat, Kiri Hijau Kanan Merah. Film yang dibuat oleh Dandhy Dwi Laksono ini menggali masa kecil Munir. Dia mewawancarai para sahabat dan keluarganya. Film pada 2009 dan berdurasi 45 menit ini juga mengisahkan sejarah pergeseran ideologi pendiri Kontras itu. Misalnya, tampak dari sejumlah advokasi yang dilakukan Munir.
Kelima, Cerita tentang Cak
Munir. Meski wafatnya Munir
telah lewat sepuluh tahun lalu, Hariwi berusaha merangkai biografi pria asal
Malang itu, yakni dengan cara merangkum kesaksian orang-orang terdekatnya. Film
berdurasi 90 menit ini diluncurkan pada 2014.
***
KISAH Munir adalah kisah yang mengusik rasa
keadilan. Lebih sepuluh tahun kematiannya, selalu saja terdapat banyak misteri.
Dua rezim pemerintahan gagal menemukan siapa sosok yang bertanggungjawab atas
kematian sosok hebat yang namanya menggetarkan para pengoyak keadilan.
Keadilan memang harus ditegakkan. Negara harus
terus digedor agar berani mengungkap siapa pelakunya. Negara harus diingatkan
kalau kematian seorang aktivis kemanusiaan adalah kematian sekeping nurani
bangsa. Negara harus ditekan agar segera menyelesaikan sebaris noktah sejarah
agar bangsa ini bisa menatap masa depan dnegan segala spirit dan nurani seluruh
anak bangsa yang mencintai kemanusiaan dan keadilan.
0 komentar:
Posting Komentar