Hari ini tak banyak yang berubah. Aku agak malas menuliskan berbagai pengalamanku. Nyaris seminggu, tak ada pengalamanku yang tertuang di sini. Entahlah, mungkin ada yang salah dengan diriku. Hari-hari berjalan begitu monoton. Aku seakan kehilangan getar. Sesuatu yang terus memelihara seluruh energi dan gerakku.
Kalaupun hariku berwarna, itu karena Saraswati. Ia mengalirkan nafas dan oksigen buat hari-hariku. Tak henti-hentinya aku bersyukur pada Allah atas segala rezeki dan karunia-Nya kepadaku.
Malam Minggu kemarin, aku mengajak Saraswati untuk nonton konser musik merdeka. Lagu dengan langgam dan irama keroncong kedengaran begitu syahdu. Kelompok musik I La Galigo bermain begitu kompak. Iringan musiknya terdengar begitu syahdu.
Setiap kali pemain biola menggesek biolanya, aku mendengar suara yang begitu melengking bahkan terdengar menyayat-nyayat jiwaku. Aku menggenggam tangan Sara dengan erat seakan ketakutan kalau-kalau ia akan pergi.
Lagu-lagu diperdengarkan dengan apik. Seakan-akan Makassar hadir dalam kemasan tempo dulu. Ada lagu Bugis, Makassar, bahkan Toraja. Semuanya menyatu dalam satu kesatuan. Terdengar pula lagu Cina dan barat.
Bagiku, musik ini begitu langka. Kesempatan untuk mendengarkannya sangatlah jarang. Kalau pun ada, maka biasanya itu menjelang 17 Agustus, seperti momen kini.
Padahal, bagiku, lagu tradisional dan perjuangan dalam balutan irama keroncong memiliki kekuatan. Sesuatu yang meghadirkan spirit besar untuk mengembalikan khasanah berpikir kita ke masa silam, sebuah masa yang begitu romantis ketika idealisme berkobar dan membakar.
Lepas dari itu, aku sempat merenung, kalau-kalau akan ada suatu massa di mana sebuah artefak kebudayaan akan menjadi fosil dan hanya bisa dilihat dari suatu museum. Akan ada saat ketika kebudayaan membeku dan tertahan di balik jerui ingatan atas nama masa silam.
Barangkali Arnold Toynbee benar ketika berbicara tentang kebudayaan sebagai challenge and response (tantangan dan jawaban). etika satu kebudayaan kehilangan jawaban terhadap berbagai tantangan yang ada, maka itu adalah pertanda matinya kebudayaan itu.
Dalam konteks langgam tradisional, barangkali tak benar-benar ada ikhtiar untuk terus melestarikannya ke dalam kontinuitas ruang sejarah. Mungkin tak betul-betul ada gerak untuk melakukan jawaban atas berbagai tantangan modernitas di ranah musik.
Tapi, keraguan menyeruak pula. Barangkali segala khasanah itu harus dibiarkan tetap dalam bentuknya yang asli. Upaya manusia untuk merubahnya, hanyalah upaya yang menghilangkan kadar kemurniannya.
Hanya saja, argumen ini jelas lemah. Bagaimanapun, zaman teruslah bergerak. Manusia terus berbenah. Manusia hari ini bukanlah manusia kemarin sebab melalui berbagai evolusi kebudayaan yang berimplikasi pada lahirnya berbagai produk dan artefak kebudayaan.
Mungkin, ada baiknya jika langgam itu mendapatkan sentuhan sesuai dengan zaman kini. Malah, kalau perlu langgam musik tradisional itu harus bisa menjadi instrumen untuk mengiringi band populer semacam Peterpan, Padi, ataupun Sheila On7, sejumlah grup musik yang menjadi ikon modernitas.
Jika tidak mampu beradaptasi, barangkali langgam tradisional itu kelak akan benar-benar menjadi fosil dan hanya bisa disaksikan di museum. Seperti halnay berbagai artefak kebudayaan Bugis, Buton, ataupun Makassar. Sebab dunia ini tak pernah berhenti beringsut. Sejara terus mencatat setiap ritme dalam buku putihnya.
Search
Pengunjung Blog
...
Tentang Saya
blogger l researcher l communication practitioner l lecturer l teacher l IFP Fellow l ethnographer l anthropologist l academia l historian wanna be l citizen journalist l Unhas, UI, and Ohio Mafia l an amateur photographer l traveler l a prolific author l media specialist l political consultant l writerpreneur l social and cultural analyst l influencer l ghost writer l an avid reader l father l Kompasianer of the Year 2013 l The Best Citizen Reporter at Kompasiana 2013 l The 1st Winner of XL Awards 2014 l The 1st Winner of Indonesian Economic Essay Competition 2014 l
0 komentar:
Posting Komentar