penghargaan yang diterima |
BULAN November setahun silam, saya
memenangkan dua penghargaan bergengsi di ajang Kompasianival. Pertama, terpilih
sebagai reporter warga terbaik. Kedua, terpilih sebagai Kompasianer of the Year
2013. Penghargaan itu telah membawa banyak dampak besar dalam kehidupan saya. Ada
banyak keajaiban dan kebaikan yang tiba-tiba hadir, tanpa diduga. Apakah
gerangan?
***
DI tengah deru ombak Pulau Buton, saya
mendapat telepon dari admin Kompasiana, Iskandar Zulkarnaen. Ia memberitahukan
terpilihnya saya sebagai Reporter Warga Terbaik, sekaligus sebagai Kompasianer
of the Year. Tak terbersit sedikitpun dalam benak saya untuk mendapat
penghargaan itu. Saya bukan penulis yang produktif. Saya juga bukan yang
terbaik. Mengapa harus saya?
Saat itu, saya baru kembali dari studi di
Amerika Serikat. Niat saya hanyalah hidup tenang dan menjalani aktivitas sebagai
orang biasa di Pulau Buton. Menulis di Kompasiana hanyalah upaya untuk
mengatasi rasa jenuh, sekaligus menebar kisah-kisah pesisir yang senyap dan
terabaikan di tengah deru dan hiruk-pikuk kota. Sesekali saya ikut lomba, kalau
melihat hadiahnya besar. Agak terkejut juga sebab tulisan saya menang lomba
menulis esai ekonomi yang diadakan Sekretariat Kabiet RI. Rasanya sesuatu
banget, sebab saya bukan berlatar belakang ekonomi.
Namun lebih terkejut lagi ketika menerima
anguerah Kompasianer of the Year 2013. Saya mendengar ada kontroversi. Saya
juga mendapat informasi dan bisik-bisik dari sejumlah orang yang tidak puas
dengan kriteria pemberian penghargaan itu. Tapi saya mengabaikannya. Bagi saya,
ada banyak hal yang jauh lebih penting untuk ditekuni ketimbang masuk dalam
grup-grup yang berisi suara-suara negatif dan penyangkalan atas keputusan admin
dan para juri lomba.
Sejak dulu, saya beranggapan bahwa menulis
itu serupa meditasi untuk mengalirkan segala suara-suara lirih nurani atas
peristiwa yang berseliweran di hadapan kita. Menulis serupa upaya untuk membasuh
jiwa, mengalirkan segala resah dan kegelisahan agar tak mengendap dalam hati.
Menulis serupa menanam kembang pikiran agar kelak semerbak mewangi dan
menginsprasi orang lain. Takdir seorang penulis adalah takdir seorang penanam
pohon kebaikan yang berharap agar kelak pohon itu tumbuh kuat dan kokoh, lalu
berlimpah dengan buah-buah yang manis. Buah itu adalah saripati pengalaman dan
hikmah-hikmah pembelajaran.
buku yang saya terbitkan |
dua penghargaan |
Makanya, saya memperbanyak tulisan
reportase. Mengapa? Sebab melalui reportase, seseorang bisa berbagi pengalaman
di setiap tempat. Reportase adalah jembatan bagi seseorang untuk mengasah rasa,
menajamkan kepekaan dalam melihat keping kenyataan, serta menguatkan jiwa untuk
senantiasa belajar pada kenyataan apapun yang disaksikan. Alasan yang lebih
prgmatis, reportase jauh lebih mudah dibukukan, lebih aktual, menarik, serta
menghibur. Iya khan?
Sayangnya, setahun silam saya tak bisa
menerima penghargaan itu secara langsung di ajang Kompasianival sebab tiket perjalanan dari
Buton ke Jakarta terlampau mahal. Akan tetapi, saya bisa berkesempatan untuk
jalan-jalan ke Phuket, Thailand, bersama para peraih penghargaan lainnya di
Kompasianival. Saya amat bahagia bisa melakukan perjalanan dengan para sahabat
yang memiliki hobi sama untuk meramaikan dunia maya dengan banyak jejak
pemikiran.
Berbagai Keajaiban
Penghargaan itu berimbas pada berbagai
keajaiban yang seolah jatuh dari langit. Penerbit besar memublikasikan kumpulan
tulisan saya selama belajar di Amerika Serikat dengan judul Kopi Sumatera di
Amerika. Tak hanya itu, dua penerbit lain telah menghubungi untuk membukukan
berbagai catatan yang pernah dibuat. Saya bergabung dalam beberapa buku
keroyokan yang dibuat oleh teman-teman penulis. Perlahan, saya mulai melebarkan
sayap ke mana-mana.
Anugerah sebagai Kompasianer of the Year
membawa langkah kaki saya pada beberapa lembaga internasional. Di satu lembaga
yang dinaungi PBB, saya diminta menjadi editor atas berbagai modul pembelajaran
pada politisi dan masyarakat awam. Di lembaga lain, saya diminta untuk menyusun
riset dan buku yang berisi pembelajaran.
Project officer lembaga PBB itu menganggap
saya adalah kandidat paling pas untuk membumikan wacana melangit ilmu politik
menjadi lebih membumi dan sederhana sehingga dipahami siapapun. Ia mencari
seseorang yang memahami bahasa akademik, dan memiliki kemampuan untuk
mengemasnya agar dipahami masyarakat biasa.
saat berkelana di Pulau Spermonde |
Barulah saya tahu bahwa semua tulisan di
blog ibarat kertas CV yang bercerita banyak tentang diri kita. Benar kata Eric
Smidth dalam bukunya Being Dogital. Di abad ini, orang-orang lebih percaya pada
dunia maya, ketimbang lembar-lembar CV yang ditulis dan dikirimkan. Melalui
dunia maya, jejak seseorang lebih mudah dilacak, sehingga terbuka lapis
pengetahuan tentang siapa sesungguhnya orang tersebut.
Jangan salah, perusahaan dan
lembaga-lembaga besar kerap memanfaatkan web
spider atau laba-laba pencari yang mengumpulkan informasi tentang
seseorang. Pantas saja, lembaga-lembaga itu tahu banyak tentang apa saja yang
telah saya lakukan, padahal saya belum bicara apa-apa. Saya sering terkejut
ketika bertemu orang baru, yang tba-tiba menanyakan kabar anak saya Ara. Hah?
Tahu dari mana?
Tak hanya itu. Sekembali dari Phuket, Thailand,
sebuah lembaga riset di kampus Institut Pertanian Bogor (IPB) meminta saya
untuk bergabung. Mereka meminta saya untuk memimpin satu unit di lembaga itu
yang memungkinkan saya untuk mengasah intelektualitas serta pengalaman lapangan
sebagai peneliti. Saya lalu mengambil kesempatan emas itu.
Saya akhirnya bisa mengunjungi banyak
tepat yang dahulu hanya bisa saya bayangkan. Di sepanjang perjalanan itu, saya
tak henti mencatat demi mengabarkan pada banyak oang bahwa ada banyak hal
menakjubkan di sekitar kita. Perjalanan ke berbagai daerah itu semain
menebalkan keyakinan saya bahwa ada banyak hal luar biasa di sekitar kita,
hanya saja kita sering tak menyadarinya. Kita lebih mudah terpukau pada satu
keping kenyataan di negeri jauh sana, tanpa menyadari bahwa ada begitu banyak
harta karun berharga di sekitar kita.
Pengalaman bertemu banyak orang di
daerah-daerah telah menjernihkan pandangan saya untuk mengapresiasi berbagai
keragaman pengetahuan. Saya berguru pada banyak orang, mulai dari lelaki
pemetik senar sasando di Pulau Rote, seorang nakhoda phinisi di Kepulauan
Spermode, hingga memahami langir pada seorang penafsir bintang yang menjadi
panduan bagi petani di dataran tinggi Mamasa, Sulawesi Barat. Mereka adalah
guru-guru kehidupan yang menolak dipanggil guru. Pada mereka, ada keikhlasan
serta ketulusan yang serupa kristal bening, dan amat langka di tengah
perkotaan. Mereka mutiara bagi tanah air Indonesia.
saat di kampus IPB |
Kini, bersama keluarga, saya berumah di
Bogor, sebuah kota yang terletak di pegunungan. Tempat ini sungguh beda dengan
pesisir Pulau Buton yang berpasir putih dan dikelilingi laut biru. Akan tetapi
saya menemukan sisi-sisi Bogor yang jga indah, yakni pegunungan hijau yang menghampar
serta berbagai buah-buahan yang murah dan mudah ditemukan di mana-mana.
Dari sisi materi, saya tak punya apa-apa. Saya
hanya orang biasa yang ke mana-mana mengandalkan angkot. Tapi saya menjalani
hari dengan amat bahagia. Saya punya banyak pengalaman yang bisa dibagikan,
punya banyak sahabat-sahabat yang setia berbagi pengetahuan di ranah maya,
serta memiliki keluarga yang melimpahi saya dengan kasih sayang. Itulah semesta
yang selalu membuat saya tersenyum.
Bogor, 21 Oktober 2014
0 komentar:
Posting Komentar