Mereka yang Saling Menyingkirkan



DI Jakarta, orang-orang sedang mengasah pedang. Mereka saling menebas dan menyingkirkan satu sama lain. Mereka mengklaim bahwa apa yang dilakukannya adalah demi rakyat banyak, demi sesuap nasi bagi jutaan rakyat Indonesia yang sedang kelaparan. Tapi yang kulihat di sana adalah pertarungan demi gengsi yang pernah terkoyak oleh sebuah kekalahan. Duel mereka adalah duel berbalut dendam, setelah saling tebar fitnah di arena sebelumnya.

Lantas, di manakah posisi rakyat di tengah duel ini? Rakyat is nothing. Mereka hanya disebut saat kampanye. Keluguan mereka adalah alasan kuat untuk selalu dibawa-bawa dalam duel yang saling menyingkirkan itu. Rakyat hanyalah sasaran empuk yang dilempari isu, dijejali berbagai isu tentang kondisi terbaru, dijadikan suporter setia untuk bersorak, setelah itu saling tebas dengan mereka yang berbeda pendapat.

“Mereka semua bangsat!” kata Robert seorang aktivis yang kutemui di Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT), kemarin. Ia mengepalkan tinju kala melihat apa yang sedang terjadi di parlemen sana. Kali ini, ia tak tahu dengan cara apa hendak menyampaikan aspirasinya. Ruang-ruang parlemen itu terlampau jauh dan kembali menjadi tembok tebal bagi rakyat kecil sebagaimana dirinya.

Politik kita adalah sebuah arena kontestasi di mana seribu karakter dipertontonkan. Politik kita laksana lakon Mahabharata yang menampilkan duel dan adu strategi dua kekuatan besar. Di balik lakon itu, ada sosok-sosok yang sedang mencari rente untuk sembari terkekeh melihat yang lain menjadi buntung, ada sejumlah sosok yang sedang memanen keuntungan dari parade yang sedemikian memuakkan di mata publik itu.

Dan kita hanya bisa menonton sembari menggeram karena tak tahu harus berbuat apa. Kita sama-sama terdiam, kehilangan kata, lalu menarik napas sembari mengurut dada, lalu memilih untuk tidur dengan harapan agar saat bangun nantinya, smeua ingatan tentang duel itu segera lenyap. Kita hanya berjuang agar ingatan itu lenyap tak berbekas, lalu kita kembali menjadi warga biasa, membiarkan mereka yang katanya mewakili kita itu berkelahi dan saling balas dendam.

Sayang, ingatan itu tak juga lenyap. Dan kita dipaksa untuk kembali menanti-nanti seperti apakah lakon selanjutnya.


Bogor, 2 Oktober 2014


0 komentar:

Posting Komentar