Membunuh Sepi di Malam Lebaran


AKU menerima banyak SMS. Ada beberapa dari sejumlah politisi dan anggota DPR. Di antaranya adalah dari Tamsil Linrung, yang tengah berambisi untuk menjadi Gubernur Sulsel. SMS-nya berisi harapan untuk bangsa. Bunyinya,”Kami haturkan selamat Idul Adha, maaf lahir batin. Semoga di tahun 2007 Allah jadikan bangsa Indonesia, bangsa yang bermartabat, bebas dari kelaparan, wabah penyakit, bencana dan kemiskinan.”

Hingga kini, aku tak pernah percaya dengan doa politisi. Meski politisi itu dibalut seragam partai semacam PKS. Tetap saja aku tidak percaya. Bagiku, politisi adalah manusia paling hipokrit di dunia ini. Politisi adalah mahluk yang paling suka mengatasnamakan rakyat jelata untuk membangun semua argumentasinya. Dan di saat bersamaan, ia akan bergelimang dengan kekayaan dan mengambil jarak dengan semua rakyat yang disebutnya itu.

Malam Idul Adha, aku menghabiskan waktu dengan nginap di rumah sahabatku Hasanuddin Aco di kompleks Kompas Gramedia di Palmerah, Jakarta. Kami sama-sama merasakan kegamangan dan kehilangan momen indah Idul Adha. Kami tiba-tiba menjadi warga urban dari sebuah kota yang kian acuh. Menjadi bagian dari kota yang warganya kian taat pada asas efisiensi dan rasionalitas hingga kehilangan getar. Idul Adha seakan jadi ritual yang kehilangan makna.

Aku membunuh sepi dengan jalan-jalan dan nongkrong di Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta. Bersama Aco, aku sempat pula nonton film berjudul Eragon yang diangkat berdasarkan novel karya seorang remaja yaitu Christopher Paolini. Yah, special effect-nya lumayan juga sih, meskipun bagiku masih jauh lebih dahsyat film Lord of The Ring karya Peter Jackson. Bahkan, serial Harry Potter yang dibesut Chris Amstrong masih terlihat lebih baik.

Saat menuju TIM, aku memperhatikan di beberapa ruas jalan khususnya di Tanah Abang, bau kambing menyengat. Binatang itu dijual begitu saja di pinggiran jalan hingga menimbulkan bau yang menyengat. Sepanjang jalan, aku menutup hidung sambil memperhatikan suasana yang kian ramai dan disahuti bunyi takbir yang berkumandang. Warga Jakarta menyambut Lebaran ini dengan penuh suka cita. Aku cuma bisa merayakannya dengan cara nonton film dan bermalam di rumah temanku.

Setiap kali Lebaran, ingatanku terus menerawang kepada ibuku di kampung. Saat di TIM, aku coba menelepon ibu di kampung. Sial!! baru ngomong beberapa patah kata, aku lihat bill tagihan udah Rp 5 ribu. Aku lalu memaki dalam hati dan langsung keluar meninggalkan wartel itu. Aku mengumpat dan tidak habis pikir dengan kelicikan pemilik wartel itu untuk mendongkrak pemasukannya. “Apa nggak kurang ajar. Malam Lebaran masih diigunakan untuk menipu dengan cara murahan kayak gitu.” Yah, terpaksa aku cuma ngomong sesaat dengan adikku Atun.

1 komentar:

dg situru' mengatakan...

Luar biasa refleksinya. Sejak kapan ke Jakarta. Mungkin sudah tidak kenal dengan saya. Aku, Mul kita terakhir sama-sama meliput waktu kongres HMI di Makassar. Saat ini kuliah di pasca UGM.

Posting Komentar