Idul Adha Berlalu Bagai Busway

IDUL Adha datang dengan syahdu. Tapi tidak bagiku. Berlalu biasa-biasa dan seakan kehilangan getar sebagaimana yang kurasakan saat masih kecil. Aku hanya bisa menerawang dan menautkan ulang beberapa fragmen pengalaman hidupku di masa kecil yang penuh dinamika. Maka mengalirlah seluruh pengalamanku yang lama tersimpan rapi di benakku.

Dulu, Idul Adha begitu indah dan menjadi momen tersibuk di rumahku. Kami sekeluarga berdebar-debar dan bergegas. Ibu memasak makanan yang terenak dan bikin kue. Aku merasa itu makanan terenak sebab aku jarang makan ayam gulai serta sate. Biasanya, kami makan ikan yang merupakan makanan pokok di kampungku. Jadi, makan ayam benar-benar menjadi hal yang spesial. Jangan heran kalau makanan itu sengaja disiapkan untuk menyambut Lebaran.

(Di Jakarta, makan ayam justru jadi hal yang biasa saja. Sementara ikan apalagi jenis ikan baronang --seperti yang kumakan tiap hari di kampung-- menjadi makanan mewah. Awalnya, aku heran juga).

Sementara Bapak lain lagi untuk menyambut Lebaran. Ia akan sibuk mengecat rumah kami. Ia akan membersihkan rumah. Menjelang Lebaran, ia tiba-tiba saja banyak uang dan mulai belanja macam-macam. Dulu aku pikir itu adalah utang. Belakangan kutahu kalau ia sengaja menabung untuk momen Lebaran. Kadang-kadang, Bapak mengganti perabot rumah kami dengan perabot baru. Aku sempat ingat kalau ia pernah membeli kursi sudut hingga membuat semua anak kecil di sekitar rumahku pada berdecak kagum melihat kursi sudut warna coklat yang didalamnya cuma ada ijuk itu.

“Lebaran itu adalah sesuatu yang sakral sekaligus arena karnaval yang harus disambut dengan suka cita. Saya akan melakukan apapun agar kami bisa merayakan Lebaran seperti orang lain. Saya orang paling bahagia di muka bumi ini,” katanya. Aku tercekat. Kata-kata itu adalah kata terus mengiang di telingaku kala Lebaran. Nantilah aku ceritakan kenapa terus mengiang.

Tak hanya Bapak, semua kakak dan adik akan sibuk membersihkan rumah demi menyambut tamu. Kain horden dibersihkan. Kaca rumah dilap hingga licin. Adikku Atun akan mengepel lantai dengan menggunakan ampas kelapa yang merupakan sisa membuat kue atau lapa-lapa (sejenis ketupat).

Aku sendiri juga sibuk dan mulai aktif di masjid (biar jadi panitia pemotongan kurban dan bawa pulang banyak daging sapi ke rumah ...hehehehe....). Aku juga pernah menjadi panitia acara salat di tanah lapang. Aku akan mengelilingi jamaah sambil memegang kotak sumbangan. Jamaah akan menyimpan sumbangannya di situ. Aku sempat geli ketika melihat temanku yang mengambil uang sumbangan jamaah sebesar Rp 5 ribu biar bisa nonton film ramai-ramai di bioskop kecil di kampungku. Ah, semuanya begitu semarak.

Seperti halnya malam Lebaran Idul Fitri, aku menyiapkan lilin dan menyalakannya di kuburan kakekku. Di kampungku, semua kuburan bermandikan cahaya. Mulai dari anak-anak hingga bapak-bapak, semuanya datang dan menyalakan lilin terus berdoa silih berganti. Sementara anak muda juga datang dengan motif lain yaitu membunyikan petasan, mercon, hingga dentuman meriam bambu terdengar memekakkan telinga. Yang jelas, mereka datang meramaikan hingga suasananya begitu semarak.

Biasanya, pada Lebaran Idul Adha, aku tidak dibelikan baju baru. Namun itu tidak masalah. Ibu masih menyimpankan baju Lebaranku yang dipakai saat Idul Fitri dulu. Baju itu masih disimpan rapi dan hanya dipakai untuk momen penting yaitu Lebaran. Sehari sebelum Lebaran, baju itu sudah dikeluarkan dari lemari. Dengan iseng, aku memakainya dan melihat penampilanku di depan cermin panjang di kamarku. Wah, aku begitu girang melihat penampilanku yang keren. Aku tak sabar memakainya dan dipamerkan depan teman-temanku.

Biasanya, malam Lebaran aku susah tidur. Aku sibuk mengkhayal apa yang akan kulakukan besoknya. Apakah nonton film ataukah ke masjid keraton bersama teman-teman. Aku juga tidak sabar menunggu saat-saat salat Lebaran dan ke tanah lapang untuk salat. Meski demikian, aku lelap juga dan akan terbangun karena teriakan bapakku yang menyuruh mandi untuk siap-siap ke tanah lapang. Aku mengenakan baju Lebaran itu dengan penuh suka cita. Menjelang pergi salat, ibu tak lupa menyisipkan uang di kantungku. “Yos, ini uang untuk sedekah. Ini bisa antar kamu masuk surga,” kata ibu. Ah, aku rindu Ibu.

Salat Idul Adha di kampungku digelar di sebuah tanah lapang. Sekitar tiga ribu warga akan berjejalan memenuhi lapangan seluas dua kali lapangan bola itu. Saat ke lapangan, kami berduyun-duyun sambil membawa perangkat salat. Aku suka melihat ke kiri dan ke kanan. Ada banyak temanku yang terlihat dan digandeng ibunya. Aku bangga juga karena saat itu, aku merasa lebih dewasa sebab sudah tidak digandeng ibu.

Usai salat, aku akan mencium tangan Bapak dan Ibu sembari minta maaf. Saat bercanda dengan adikku Atun, aku akan mengatakan,”Tun, saya tahu kamu banyak dosa. Tapi saya maafkan.” Mendengar itu, ia akan marah dan balik menuding. “Ah, kamu yang banyak salah. Tapi saya maafkan.”

Ah.............. kini, Idul Adha jadi kehilangan getar. Aku ingat kata Bapakku. “Saya adalah manusia paling bahagia di dunia ini.” Kata-kata itu diucapkan di saat Lebaran tahun 1997, beberapa hari sebelum ia meninggal. Lebaran menjadi ajang terakhir baginya untuk memanifestasikan seluruh cinta dan kasihnya. Ia menghamparkan kasih di ajang itu sembari tersenyum bahagia melihat aku yang mulai kuliah.

Ah, Lebaran membangkitkan seluruh memori. Bapak telah meninggal. Dua kakakku telah berkeluarga dan sibuk dengan dunianya. Adikku masih menemani Ibu merayakan Lebaran yang tidak seindah dulu. Sementara aku, harus berjuang untuk menuntaskan studi di Jakarta. Aku kehilangan indahnya Lebaran. Di kota ini, takbir tetap berkumandang. Namun bunyi itu terdengar sayup dan ditelan deru memekakkan telinga berbagai kenderaan yang lalu lalang. Idul Adha berlalu bagaikan Busway yang angkuh menerabas lalu lintas Jakarta. Tak kenal kata macet.

0 komentar:

Posting Komentar