SETIAP kali ada orang baik yang berpulang,
saya selalu merasa sangat kehilangan. Beberapa hari ini, saya kehabisan kata untuk
menggambarkan rasa duka yang dalam. Batin saya dipenuhi ingatan tentang guru
saya di Universitas Indonesia (UI), Iwan Tjitradjaja, yang berpulang ke
haribaan Yang Maha Menggenggam. Di mata saya, ia lebih dari sekadar
guru. Ia punya jejak yang amat dalam di hati ini.
***
SUATU hari di tahun 2006, saya datang ke
kampus Universitas Indonesia (UI). Saya diterima sebagai mahasiswa program
pascasarjana bidang antropologi. Saat itu, saya tak punya bayangan sedikitpun
tentang disiplin ilmu ini. Keinginan saya adalah belajar di level
pasca-sarjana. Di antara semua jurusan pada fakultas ilmu sosial di kampus UI,
antropologi adalah disiplin yang tak banyak diminati. Biaya SPP-nya pun paling
murah.
Saya datang ke kampus itu dengan membawa
segenap keluguan sebagai seorang warga kampung yang belum lama menginjakkan
ibukota. Hari pertama, saya bertemu lelaki itu. Ia menjadi moderator kuliah
umum. Penampilannya seperti mahasiswa kebanyakan. Melihat sepintas, saya tahu
kalau ada darah Tionghoa mengalir di tubuhnya. Penampilannya sederhana. Ia
memakai sandal. Celananya jeans yang udah bulukan.
Saat sesi perkenalan, ternyata ia adalah
ketua program pascasarjana. Ia menyebut namanya Iwan Tjitradjaja. Tutur katanya
lembut. Pertama mengajar, ia lebih suka mendengarkan kami, para mahasiswa, yang
lebih banyak sok tahu tentang bidang ilmu itu. Belakangan, saya tahu kalau Iwan
adalah alumnus program doktoral di Amerika. Ia murid langsung Andrew Vayda,
salah seorang pakar antropologi lingkungan.
Selama kuliah di UI, Iwan adalah mentor
bagi semua teman seangkatan. Ia mengajar mata kuliah metodologi penelitian. Ia
memberi tugas baca yang sangat banyak. Sungguh, saya kesulitan ketika harus
beradaptasi dengan teks-teks berbahasa Inggris. Saya selalu deg-degan ketika
masuk kelas. Ia akan bertanya sampai detail tentang sejauh mana kami memahami
teks.
Di mata saya, Iwan ibarat gelas kaca yang
isinya jelas terlihat. Terhadap mahasiswa yang membaca bahan ajar, ia akan
memberikan apresiasi. Namun ia akan sangat murka ketika seorang mahasiswa sok
tahu atas bahan bacaan, yang ketika ditanya lebih detail, sang mahasiswa itu
ternyata tak membaca bahan kuliah. Kalimatnya bisa sangat menohok.
Pernah, saya menyaksikan Iwan marah-marah
pada seorang mahasiswa program doktor saat ujian. Sang mahasiswa
menyebut-nyebut Pierre Bourdieu. Iwan lalu meminta kepada staf program pasca
untuk mengambil buku Outline of a Theory of Practice
karya Bourdieu. Iwan lalu berkata, “Ini buku Bourdieu. Coba tunjukkan, pada
bagian mana kalimat yang kamu kutip tadi.” Mahasiswa itu kehilangan kata.
Iwan mengajari kami bagaimana memahami
metode penelitian. Ia serupa master kungfu yang melatih kami dengan disiplin
ala murid Shaolin. Saya merasakan perubahan pikir setelah mengikuti
kuliah-kuliahnya. Dahulu, saya amat menggandrungi semua filosof barat. Setiap
kali berpendapat, saya merasa hebat ketika menyebut beberapa sosok seperti Marx,
Nietzsche, ataupun Foucault. Bahkan ketika melakukan riset, saya akan memulai
dari berbagai kutipan hebat dari para raksasa ilmu sosial itu.
Anehnya, Iwan justru membongkar cara
berpikir itu. Pernah, ketika kami turun lapangan, kami lalu presentasi di
hadapannya. Ketika menyebut banyak teoretisi itu, Iwan agak sinis. Ia tak
terkesan. Dengan suara agak meninggi, ia meminta kami menanggalkan semua
kebanggaan ketika menyebut nama para pemikir itu. Ia meminta kami menuliskan
data lapangan secara detail dan runtut. Ia ingin kami berdisiplin dalam membuat
catatan-catatan selama turun lapangan.
Makanya, ketika presentasi di kelasnya,
saya menghindari penyebutan nama pemikir. Saya lebih suka mengutip seorang
warga desa yang pernah saya temui. Ternyata, ia justru lebih suka dengan cara
berpikir demikian. Ia amat menyukai cerita-cerita tentang pengalaman lapangan
yang ditemui di lapangan. Iwan mengajak saya berpetualang pada ranah
antropologi yang sedemikian mengapresiasi semua kebudayaan. Ia mengajarkan
pesona dan indahnya penemuan pengetahuan, yang lalu dihamparkan dalam teks-teks
etnografi.
Tidak berarti dirinya anti pada semua
teori. Buktinya, kami diminta membaca semua pemikiran para raksasa ilmu sosial.
Belakangan, saya sadar bahwa terlampau terpaku pada satu teks bisa membuat
seorang peneliti kehilangan kepekaan. Yang kemudian muncul adalah pandangan
yang suka menggeneralisir sesuatu. Semua dilihat berdasarkan kerangka teori.
Padahal, kenyataan selalu lebih kompleks. Teori hanyalah satu upaya membekukan
kenyataan, yang sejatinya terus bergerak, bahkan melampaui teori itu sendiri.
Barangkali, ia ingin membiasakan agar kami
bisa membangun satu orisinalitas dalam berpikir. Ia ingin kami bisa lebih
membumi dan belajar untuk memahami satu kenyataan melalui cara berpikir warga
setempat. Iwan mengubah mindset saya
untuk memperlakukan pemikir Karl Marx dan Emile Durkheim pada posisi yang
sejajar dengan kakek saya, seorang nelayan di Pulau Buton, yang memahami
navigasi perbintangan ketika melaut.
Di luar kelas, saya berusaha mengakrabkan
diri dengannya. Ia serupa bapak yang selalu mendengarkan keluhan. Ia tahu kalau
saya kesulitan keuangan saat belajar di kampus UI. Ia men-setting agar saya beberapa kali menjadi notulen saat ujian doktor.
Sebab para notulen mendapatkan honor untuk kegiatan mencatat pertanyaan para
profesor. Dengan cara itu pula saya belajar.
Menjelang lulus, ia pernah memanggil saya
secara khusus. Ia berkata jika kelak saya berencana untuk lanjut program
doktor, maka kapanpun saya bisa meminta rekomendasi darinya. Ia lalu
menyarankan agar saya mengikuti program Asian Research Institute (ARI) di
Singapura. Ia menulis rekomendasi yang membuat saya lulus program itu. Sayang,
karena satu dan lain hal, saya batal berangkat ke Singapura.
Setahun setelah lulus, saya kembali
mengontak dirinya. Saat itu, saya butuh rekomendasi untuk ikut program beasiswa
Ford Foundation. Tanpa bertanya tentang program itu, ia menulis rekomendasi
dalam bahasa Inggris. Kembali, rekomendasinya benar-benar manjur. Saya dinyatakan
lulus program itu sehingga akhirnya berangkat studi ke Amerika Serikat, negara
yang pernah ditinggalinya selama bertahun-tahun.
***
BEBERAPA hari lalu, saya mendengar dirinya
telah berpulang. Dua bulan lalu, saya mendengar dirinya sakit keras. Wiwin, seorang
staf program pasca Antropologi UI, pernah mengajak saya untuk menjenguk Iwan.
Sayangnya, saat itu saya sedang didera kesibukan. Saya mengira bahwa Iwan akan kembali
sehat seperti sedia kala sehingga saya bisa menemuinya ke kampus UI. Minimal,
saya ingin berterimakasih atas segala bantuannya.
Sungguh sedih, sebab yang bisa saya lakukan saat ini adalah mengenang hari-hari ketika bersamanya. Ia telah pergi, sebelum saya
sempat menemuinya. Saya merasakan ada sesuatu yang mengganjal dalam diri saat mengingat
sosoknya. Ia tak saja menjadi guru, pembimbing, pendebat, dan penguji selama
saya belajar di UI. Ia juga pahlawan, penolong, serta peletak banyak konsep
yang mengendap di kepala saya. Ia adalah guru kehidupan, yang dengan segala
disiplin dan sikap sinisnya telah menempa semua muridnya untuk lebih tangguh
menelusuri rimba raya pengetahuan yang di dalamnya penuh onak dan duri-duri.
Lewat berbagai rambu dan kehati-hatian
metodologis, pencarian di rimba ilmu itu bisa berujung pada penemuan berlian
pengetahuan yang mengesankan. Namun, sebagaimana kata Iwan, tak penting apa
yang ditemukan di ujung petualangan. Yang jauh lebih penting adalah perjalanan untuk mencari berlian
pengetahuan itu. Ah, saya mulai merindukan guru Iwan.
Jika bisa bertemu dengannya, saya ingin sekali berkata:
Pak Iwan. Terimakasih atas semua kebaikannya. Terimakasih atas peta dan petunjuk untuk mengenali ilmu antropologi yang sedemikian mempesona. Selamat jalan guruku.
Bogor, Februari 2015
0 komentar:
Posting Komentar