IPB Rancang Drone untuk Desa



drone (ilustrasi)

DI luar negeri, drone atau pesawat tanpa awak dikembangkan menjadi senjata penghancur untuk memusnahkan basis kekuatan musuh. Di Indonesia, drone dikembangkan untuk banyak fungsi. Beberapa bulan terakhir, Institut Pertanian Bogor (IPB) telah merancang drone desa sebagai teknologi yang banyak membantu masyarakat desa. Hebatnya, biaya drone ini termurah di dunia, yakni hanya berbiaya sekitar 5 hingga 10 juta rupiah. Hah?

***

SUATU hari di bulan Agustus 2014. beberapa tim peneliti yang bergabung pada Pusat Studi Pembangunan, Pertanian, dan Pedesaan (PSP3) Institut Pertanian Bogor (IPB) bertandang ke Leuwliang, Bogor. Dipimpin oleh Sekretaris PSP3-IPB Dr Sofyan Sjaf, para peneliti sangat antusias ketika melakukan satu misi penting yakni uji coba drone untuk membantu masyarakat desa.

Beberapa masyarakat Desa Leuwliang ikut bergabung. Mereka mereka mempersiapkan drone yang akan diterbangkan selama sejam. Drone yang dipersiapkan adalah jenis quadcopter yang memiliki empat baling-baling. Pesawat ini digerakkan oleh baterai dan akan terbang mengikuti koordinat pada GPS yang sebelumnya telah ditentukan.

Saya deg-degan ketika mengikuti proses uji coba itu. Betapa tidak, selama ini drone hanya digunakan untuk keperluan militer. Ada pula yang menggunakan teknologi ini hanya untuk merekam gambar biasa. Namun di PSP3-IPB, drone diharapkan bisa menjadi milik warga desa, yang nantinya akan digunakan untuk membantu masyarakat desa.

Ternyata, uji coba itu sukses. Drone terbang selama lebih kurang sejam dan  menghasilkan banyak gambar kawasan perdesaan. Gambar-gambar itu lalu diolah secara digital sehingga menghasilkan peta desa yang sangat akurat. Sekretaris PSP3-IPB, Dr Sofyan Sjaf, menuturkan bahwa selama ini desa tidak memiliki peta. Yang ada di kantor-kantor desa maupun Badan Pusat Statistik (BPS) hanyalah sketsa desa, yang justru tidak menggambarkan apa-apa.

Di saat bersamaan, warga desa kesulitan untuk mengakses peta satelit. Mengapa? Sebab butuh biaya mahal untuk mendapatkan peta itu. Transaksinya memakai uang dollar. Selain itu, gambar dari satelit seringkali buram sebab hanya bisa mengambil gambar dengan skala 1 banding 50.000.

Sementara drone bisa lebih akurat. Drone bisa menghasilkan gambar dengan skala 1 banding 300. “Gambar yang dihasilkan drone ini akan sangat membantu warga desa untuk menyusun peta partisipatif yang bisa menggambarkan potensi dan kekuatan desa. Warga desa bisa menyusun perencanaan pembangunan, termasuk merancang swasembada pangan. Tak hanya itu, mereka bisa menjadikan drone sebagai alat perlawanan,” katanya.

Penjelasan Sofyan sangat menarik. Ia menjelaskan satu desa di Kalimantan. Tadinya, warga desa itu kebingungan karena sumber air tiba-tiba saja mengering. Mereka terpaksa menerima keadaan yang menyedihkan itu. Setelah diperkenalkan tentang teknologi drone, mereka akhirnya tahu bahwa di kawasan desa itu terdapat satu tambang bauksit yang telah lama beroperasi.

“Setelah dipotret oleh drone, mereka akhirnya punya fakta yang kuat untuk melakukan perlawanan,” katanya. Memang, selama ini warga desa tak punya akses yang kuat pada peta, sebab seringkali peta hanya dimiliki oleh warga kota serta pihak korporasi yang kemudian semakin memperparah konflik di tingkat desa.

peneliti IPB memperlihatkan drone buatannya

Selama beberapa bulan ini, tim yang dipimpin Sofyan berusaha untuk menyempurnakan teknologi ini. Saya melihat bahwa gagasan ini sangat brilian. Membawa teknologi ini ke desa bisa menjadi solusi atas kelangkaan data di level desa. Berbagai riset menunjukkan bahwa banyak konflik ekologis di level desa justru disebabkan oleh adanya tumpang-tindihnya klaim atas lahan, yang kemudian diperparah oleh ketiadaan peta dan data yang akurat.

Melalui drone, warga desa bisa membangun basis data peta kawasan yang kuat, kemudian membangun counter discourse atas klaim yang diberikan pihak luar atas tanah yang dimilikinya. Dengan demikian, wacana konflik ekologis bisa digiring ke ruang-ruang dialogis di mana masing-masing pihak sama-sama menguji klaim dengan bukti peta.

Tentu saja, manfaatnya bukan hanya untuk memetakan kawasan ekologi desa dan hutan adat, tapi juga bisa untuk membuat basis data yang kokoh, membuat dokumentasi dan batas desa, dan mengumpulkan bahan penting menyusun perencanaan partisipatif untuk pembangunan di level desa. Drone ini bisa pula digunakan untuk membuat video dokumenter tentang pariwisata desa. Tak hanya itu, drone juga bisa digunakan untuk memantau kondisi vegetasi tanaman.

Seiring dengan penerapan Undang-Undang No 6/ 2014 tentang Desa, maka kebutuhan untuk penguatan data demi penyusunan perencanaan di tingkat desa menjadi sesuatu yang tak bisa ditawar. Maka gagasan Drone untuk Desa diharapkan bisa memberikan kontribusi bagi pemanfaatan drone sebagai metode untuk penguatan kapasitas masyarakat desa, melalui penyediaan data akurat tentang wilayah, serta penguatan perencanaan, dan pemetaan berbasis komunitas.

Rencana PSP3-IPB

Drone bisa disederhanakan sebagai pesawat tanpa awak yang dikendalikan dengan remote control dan menggunakan gelombang radio. Pada awalnya, drone hanya digunakan untuk keperluan intelijen dan memata-matai negara lain. Drone bisa membawa kamera dan peralatan perekam yang bisa merekam gambar dengan akurasi yang lebih tinggi daripada satelit.

Melalui media, kita sama tahu bahwa drone digunakan oleh tentara Amerika Serikat untuk memata-matai musuh di timur tengah. Bahkan drone juga dipemgkapi persenjataan sehingga bisa menyerang dan melumpuhkan lawan. Namun belakangan ini, teknologi bisa digunakan untuk berbagai hal yang positif. Selain bisa digunakan untuk menguatkan konsep pertaha-nan nasional serta penga-wasan illegal fishing dan illegal logging, fotografi, dan film dokumenter. Bahkan, para aktivis lingkungan juga mulai menggunakan drone untuk keperluan pemetaan wilayah dan memotret kerusakan ekologis.

Dr Sofyan Sjaf saat mempresentasikan drone

Selama ini, ada anggapan bahwa drone adalah teknologi yang mahal. Padahal, ada banyak inovasi-inovasi yang menungkinkan drone bisa diakses warga desa. Di Pontianak, lembaga Swandiri Insitute telah memublikasikan kemampuan mereka untuk membuat drone, yang akan digunakan untuk warga desa, dengan biaya tiga juta rupiah (Kaltim Pos 13/8).  Pihak PSP3-IPB juga tengah mengembangkan inovasi drone berbiaya sangat murah.

Ke depannya, PSP3 IPB memiliki obsesi agar setiap desa memiliki satu drone. Mengingat biaya murah, PSP3-IPB ingin menjalin relasi dengan beberapa SMK agar bisa memproduksi drone secara massal. Selain itu, ada pula rencana untuk mendirikan Sekolah Drone Desa (SDD) yang nantinya bisa melatih warga desa bagaimana mengoperasikan teknologi itu. Saat ini, PSP3 bekerja sama dengan beberapa lembaga, serta pemerintah daerah untuk menyusun basis data yang kuat melalui drone.

Tak hanya itu, pihak PSP3-IPB telah membentuk beberapa tim terkait drone. Mulai dari tim skuadron (beranggotakan peneliti dan warga desa yang mengoperasikan drone), tim digitasi (beranggotakan peneliti yang mengolah data-data drone menjadi peta tematik), serta tim riset sosial-ekonomi (diisi oleh peneliti yang memetakan kondisi sosial ekonomi satu kawasan perdesaan). Tim ini mulai teroranisir dan merancang tahapan untuk terjun ke masyarakat desa.

Wacana tentang drone ini mulai menjalar ke mana-mana. Selama beberapa bulan ini, PSP3 kebanjiran tamu dari pemerintah daerah dan beberapa lembaga asing yang ingin berguru mengenai drone dan pemanfaatannya. Ke depannya, terdapat banyak tantangan untuk berkreasi dengan teknologi ini. Bagi Dr Sofyan Sjaf, hal yang jauh lebih penting adalah bagaimana bisa mengembalikan kiblat wacana ke level desa.

“Saatnya desa berdaulat. Saatnya desa mandiri dan bisa menggiring semua orang kota agar kembali ke desa,” kataya. Yup, semoga segala harapan dan impian untuk penguatan desa itu bisa segera diwujudkan. Amin.


Bogor, 18 Februari 2015

0 komentar:

Posting Komentar